Cinta itu terbit secara alamiah. Itu mengalir begitu saja dari hati yang merindu. Itu tak bisa direkayasa atau diperintahkan. Tak boleh dialihkan apalagi dipaksakan. Tapi juga tak boleh semena-mena dihentikan. Setiap usaha dari luar yang mengintervensinya, adalah penghinaan terhadap hakekat cinta itu sendiri. Karenanya, biarlah rasa itu tetap bersifat privat. Tetap independen dan merdeka.
Jika anda setuju dengan pandangan seperti itu, silahkan saja. Tapi jika ada yang punya pendapat yang lain lagi, Â ya monggo-monggo saja. Semuanya sah-sah saja. Di negeri yang demokratis ini, siapa pun boleh merumuskan konsep cintanya masing-masing.
"Kalau kamu sendiri bagaimana?" tanya Ranti (teman sekantorku), di suatu sore.
"Aku dulu juga berpendapat seperti itu," jawabku. "Khusus dalam hal asmara, aku kudu merdeka. Aku tak mau diatur-atur. Aku tak sudi diarah-arahkan oleh siapa pun. Siapa yang harus kucintai? Karakternya harus yang bagaimana? Dari suku apa dan apa kerjanya? Bahkan sampai seberapa tebal kantongnya dan yang lain-lainnya pun; semuanya harus aku sendiri yang mutlak menentukannya..."
"Terus.....?"
"Apanya yang terus?"
"Terus hasilnya bagaimana?" kejar Ranti.
"Sudah empat kali aku berusaha untuk menggapai cintaku. Semuanya murni terbit dari hatiku sendiri. Artinya bebas dari intervensi siapa pun. Tapi nyatanya, semuanya itu kandas di tengah jalan...."
"Boleh agak lebih diperjelas lagi, Non?" pintanya selanjutnya.
"Hubungan spesialku dengan pria yang kedua sampai keempat, boleh dikata belum sampai pada tingkat saling mencintai. Masih sebatas saling tertarik. Masih saling menjajaki pribadi masing-masing. Atau masih saling menimbang dan menguji perasaan saja. Tapi ujungnya, keempat-empatnya ternyata pada mundur teratur satu-persatu. Tanpa penjelasan apa pun..."
"Wouw...wouw.....! Terus kalau dengan lelaki pertama, ceritanya gimana?"