Karena tugasnya sudah selesai, maka koalisi Adil Makmur telah dibubarkan beberapa hari lalu. Setelah bubar, ke mana para parpol mantan anggota koalisi memposisikan dirinya? Tampaknya, ada  parpol yang tetap ingin beroposisi. Tapi ada juga yang ingin bergabung (atau diajak bergabung) ke koalisi pemerintahan presiden terpilih.
Memang, setelah ditetapkan oleh KPU sebagai presiden terpilih, Jokowi mengajak Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno untuk bersama-sama membangun bangsa.
Ajakan itu, tidak bisa serta merta diartikan sebagai tawaran agar Gerindra mau bergabung ke koalisinya pemerintah. Karena membangun bangsa itu bukan semata-mata tanggungjawab pemerintah beserta partai-partai koalisinya. Melainkan pihak oposisi pun berkewajiban ikut membangun dan membesarkan bangsa. Bahkan juga tanggung jawab dari semua elemen masyarakat Indonesia.
Negeri ini sangatlah besar. Karenanya, tidak bisa tugas mulia yang akbar itu dikerjakan hanya oleh satu atau dua tokoh bangsa saja. Indonesia ini tidak mungkin bisa dibangun hanya oleh partai-partai koalisi pendukung pemerintah saja. Negeri ini pun sangat membutuhkan kehadiran partai-partai di luar pemerintahan. Yaitu partai-partai oposisi.
Tafsir saya, dari sekarang sampai pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih 20 Oktober 2019 nanti, partai-partai mantan anggota koalisi Adil Makmur tak lama lagi akan segera menentukan sikap dan posisinya.
Misalnya saja PAN. Partai politik berlambang matahari putih yang bersinar itu, akan menentukan arah koalisinya pada Rakernas PAN dalam waktu dekat ini. Ada banyak wacana yang mengatakan bahwa partai tersebut akan kembali berkoalisi dengan pemerintahan Pak Jokowi. Tetapi politisi Partai Nasdem, M. Taufiqqulhadi tidak menghendaki hal itu terjadi.
Di hadapan wartawan yang menanyainya, Taufiq mengatakan -- boleh saja parpol pendukung Prabowo-Sandi, kalau ada niatan gabung ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Namun harus diingat, bahwa pemerintahan Jokowi sebelumnya sudah punya pengalaman soal parpol yang tak ikhlas ketika menyatakan diri bergabung.
Dia memberi contoh, bergabungnya Golkar dan PPP ke koalisi pemerintahan Jokowi adalah contoh parpol yang ikhlas dan total.
"Tetapi ketika PAN bergabung, menurut saya setengah-setengah. Kita menghitung sebagai teman tidak bisa, menghitung sebagai lawan tidak bisa," kata Taufiq, Senin (1/7/2019).
Untuk diketahui, di pertengahan pemerintahan periode 2014-2019, PAN memang bergabung ke koalisi pemerintahan Jokowi-JK. Hasilnya, kader PAN Asman Abnur pun menjadi menteri di kabinet Jokowi. Namun, pada Pemilu 2019, PAN tak mendukung Jokowi di Pilpres. Konsekuensinya, Asman Abnur pun tahu diri dan mundur dari kabinet.
Bagi Nasdem, hal seperti itu tidak elok. Artinya, harus ada kejelasan sikap sejak awal dari parpol yang ingin pindah ke koalisi Jokowi. Sama seperti kejelasan sikap Golkar dan PPP. Taufiq menyerukan, agar parpol nonpendukung Jokowi-Ma'ruf, agar tetap berada di luar pemerintahan saja.
Partai Demokrat juga banyak disebut-sebut akan merapat masuk ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Bahkan ada yang memprediksi Agus Harimurti Yudhoyono akan mendapat jatah jabatan menteri. Yaitu Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Menurut Hinca Panjaitan, Sekjen Partai Demokrat, partainya dalam waktu dekat ini akan menentukan apakah berada di jalur oposisi atau masuk dalam koalisi pemerintah. Waktu yang dimaksudkan, ialah waktu setelah peringatan 40 hari meninggalnya Bu Ani Yudhoyono, 10 Juli 2019. Dan penentuan tersebut akan dilakukan oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Sedangkan Partai Gerindra dan PKS tampaknya akan tetap konsisten berdiri sebagai partai oposisi. Tapi untuk kontestasi politik di pilkada-pilkada, mereka bisa terbuka untuk berkoalisi dengan parpol mana pun.
Sama-Sama Punya Peran Mulia
Untuk demokrasi yang sehat di negara yang beradab, sangat dibutuhkan kekuatan oposisi sebagai mekanisme penyeimbang terhadap berjalannya pemerintahan. Maka justru sungguh kurang sehat, jika semua parpol mau bergabung ke dalam koalisi pemerintahan. Bagaimana pun, untuk kehidupan demokrasi Indonesia modern, sangat memerlukan keduanya.
Diperlukan koalisi yang kuat, agar roda pemerintahan bisa berjalan dengan lancar, efektif dan produktif. Tapi diperlukan juga peran oposisi yang berfungsi untuk mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Juga untuk bisa menawarkan gagasan-gagasan alternatif dalam rangka membangun bangsa.
Cuma yang perlu terus dibangun adalah etika dan budaya politik masing-masing pihak. Maksud saya, kalau jadi anggota koalisi, ya jadilah anggota yang kooperatif dan kompak. Jangan ngakunya bagian koalisi, tapi sikapnya di fraksinya di parlemen sangat menyusahkan. Bahkan lebih liar dari kelompok oposisi.
Sebaliknya, jika sudah mentahbiskan diri menjadi partai oposisi, ya jadilah oposan yang kritis tapi konstruktif. Yang korektif tapi obyektif. Jangan asal beda, asal nyinyir, apalagi asal bunyi. Â Sikap selalu menuding, seolah-olah semua yang dikerjakan oleh presiden pasti salah. Sikap seperti itu, jelas sangat kurang beretika dan beadab.
Dengan spirit dan attitude berpolitik seperti itu, maka berkoalisi mendukung pemerintah, atau beroposisi secara kritis dan konstruktif, sejatinya adalah sama-sama pilihan yang mulia. Sama-sama berkontribusi dalam membangun dan membesarkan bangsa. Semoga saja!
==000==
Bambang Suwarno-Palangkaraya, 03 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H