Sejatinya Tuhan manjakan negeri ini dengan limpahan hari-hari indah sarat makna bertabur berkah. Sampai langit manis tersenyum. Mentari lembut belai bumi dengan sentuhannya yang bersahabat. Malamnya, rembulan persolek diri berpartisipasi marakkan gelaran silaturahmi anak-anak negeri. Dan gemintang pun bisikkan  harmoni cinta ke setiap hati.
Maka meski berlumur dosa sekalipun, selalu cukup syair-syair maaf untuk memfitrahkannya.
Tetapi engkau di mana dan mengapa?
Mengapa kau kerat sayat sendiri kebesaranmu? Mengapa kau pasung sendiri patriotismemu?Â
Sejatinya para sahabatmu melambaimu untuk bergabung dalam kegembiraan fitri di  momen sakral di astana graha. Guna merajut kembali ornamen-ornamen konstitusi yang sempat tercabik oleh aksi-aksi anarki. Untuk menyulam kembali jalinan sila ketiga yang terkoyak oleh kekanak-kanaanmu berdemokrasi.
Tapi kenapa sampai kau abai kedangkan hati dan tanganmu? Mengapa kenegarawananmu kau renggut sendiri dan kau benamkan dalam lumpur? Kecamuk apakah yang memberangus akal sehatmu?
Bukankah ini waktu terbaik untuk saling berangkulan? Bukankah ini peluang cantik memahat kembali komitmen suci bersama-sama besarkan negari? Bukankah katamu sendiri, inilah saat kemenangan hakiki tiap insani?
Tetapi engkau di mana dan mengapa?
Sadarlah, kematangan jiwamu sedang diuji. Â Kebayangkaraanmu juga tengah dikaji. Â Bahkan keteladananmu sangat dinanti.
Sayang sekali, di dua kedipkan fajar ini,    kau sia-siakan  momentum-momentum emasmu itu lewat tuna makna.
== Maka sekarang berhentilah! Jangan terus kerdilkan ketokohanmu sendiri! ==Â
==000==
Bambang Suwarno-Palangkaraya, 7 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H