Tulisan ini barangkali akan terasa melompat-lompat, tidak mengalir terstruktur alfabetis, smooth. Mungkin ini kesengajaan atau bisa juga ketidak mampuan menyusun kalimat demi paragraf yang lebih runtut kronologis. Tapi entahlah, tiba-tiba kepingin membiarkan itu semua pada posisi demikian. Melompati dari premis satu ke yang lain tanpa diberi jeda penghubung.
Sikap terkadang bisa menjadi pertanda dari alam-semesta, kata Kanjeng Toekin. Kalau lisan tulisannya baik, pasti itu tanda-tanda sedang akan mendapatkan hidayah kebaikan. Barokah sedang diantar semesta kepada dirinya. Jika lisan tulisannya buruk, bisa diduga kemalangan sedang mendekatinya. Sesuatu yang jahat diam-diam merapat dan seketika akan menyergapnya.
Bisa jadi semua itu suodzon, atawa anggap saja gugon tuhon, sebuah mitos keyakinan irrasional. Kebetulan terjadi saja, penyebar hoax, pengunggah ujaran kebencian, pelontar semburan kebohongan-kepalsuan, pemfitnahan yang samar dan anonim itu, pada akhirnya terjerembab kasus hukum atau masalah lainnya.
Nah apakah peristiwa semacam memang terjadi sebagai mana mestinya? Â Apakah kira-kira mereka bisa merasakan hal yang sama. Misalnya, sedikit berkaca pada beberapa kasus yang akhir-akhir ini marak hangat terjadi. Atau, memang sebuah kesengajaan untuk menutupi sesuatu yang harus disembunyikan?
Disadari, disaat seperti ini segenap panca indera kadang menjadi tumpul. Saraf yang luntur kepekaannya karena dipenuhi nafsu dan amarah. Ambisius, disebabkan ambisi yang berlebihan. Hasrat menang sendiri itulah kejahatan paling paripurna.
Mungkin benar yang dikatakan Alvin Tofler "Mereka yang disebut buta huruf (illiterate) di abad ke-21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, namun mereka yang tidak bisa mempelajari (to learn), menanggalkan pelajaran sebelumnya (un-learn), dan belajar kembali  (re-learn)."
Tetapi ngapain juga belajar, semuanya kan untuk kepentingan politik.
Rasionalitas itu wilayahnya. Kecerdasan itu bekalnya. Tidak ada urusannya dengan rasa atau pertanda yang tergolong impresi impulsif spiritual. Biarkan semuanya mengalir apa adanya. Toh di dunia ini hanya terbagi dari kelas mahluk, kata Abu'lAla al Ma'arri:
Pertama, Terkadang orang pintar nampaknya seakan-akan tak beragama.
Kedua, Kerapkali orang beragama menunjukkan seolah-olah paling pintar.
Ketenangan dialah jiwa yang pandai bersyukur. Seperti diam yang mampu menyembunyikan gaduh. Hening. Meredam gejolak amarah, kecewa hati yang patah. Nikmati saja hangatnya hidup dalam setiap jengkal langkah pada setiap hirupan nafasi. Sembari memastikan: "Bukan kesabaran jika masih mempunyai batas dan bukan keikhlasan jika masih merasakan sakit."
Bahwa sehat alami menyangkut kesatuan sistemik yang terstruktur, massif holistik dan arif. Semua orang pernah mengalami kegagalan, bahkan beberapa mungkin sedang berkutat dengannya saat ini. Tetapi pada akhirnya kita semua akan dan harus bangkit. Tidak mudah untuk dilakukan memang. Tetapi tenggelam dalam kegagalan atau memutuskan untuk berjuang kembali sebenarnya cuma masalah pola pikir.
Alam kehidupan tidak selamanya mendapatkan apa yang diinginkan. Ada kalanya merasa gagal dan hancur. Tidak sedikit orang yang merasa insecure dan kecewa dengan kegagalan yang mereka rasakan, bahkan akhirnya merasa insecure dengan kekurangan yang dimiliki.
Seni ini tidak bertujuan menutupi kerusakan yang ada pada benda pecah belah yang diperbaiki, kintsugi justru ingin menonjolkan ketidaksempurnaan yang ada.
"Belajar dari Filosofi Kintsugi: Tetap Percaya Diri dan Say No To Insecure".Â
Filosofi ini pada akhirnya tidak hanya menjadi sebuah seni untuk memperbaiki mangkuk yang rusak saja akan tetapi filosofi ini juga bisa untuk manusia yang sedang patah secara personal. Akan selalu ada cara meskipun sudah hancur berantakan, bisa kembali lagi dengan wujud lain yang lebih indah. Meskipun tidak serupa dengan wujud awal.
Bonsai  pohon dalam pot dangkal, dan apresiasi keindahan bentuk dahan, daun, batang, dan akar pohon, serta pot dangkal yang menjadi wadah, atau keseluruhan bentuk tanaman atau pohon. Rock balancing atau stone balancing merupakan suatu teknik menyusun batu dengan posisi tertentu tanpa alat perekat, kawat atau bantuan lainnya. Batu-batu diberdirikan tegak murni dengan ketepatan peletakan antara satu batu dengan lainnya. Kebanyakan orang mengkategorikannya sebagai bentuk seni. Suiseki berasal dari Cina, yang disebut sebagai "Gongshi" atau batu cendekia, dan sampai batas tertentu juga dipengaruhi Korea, yang disebut "Suseok".
Dalam hal etika, Kleanthes menyatakan bahwa kebahagiaan jelas-jelas berpusat pada diri sendiri, bukan pada kemurah-hatian orang lain atau segala sesuatu yang memainkan peran di luar diri. Kebahagiaan manusia diperoleh ketika orang itu memiliki perilaku yang benar, memilih tindakan yang benar, dan tujuan yang benar.
Jika Anda pernah ingin menjadi orang yang tetap tenang dalam semua jenis situasi, maka filosofi stoa atau stoikisme dapat Anda jadikan panutan. Kenapa stoikisme? Filsafat stoikisme mengajak kita untuk hidup realistis, membaca diri, antisipasi diri, dan mengevaluasi diri. Hidup manusia harus siap dengan berbagai tantangan dan hambatan.
Prinsip dalam stokisme ini adalah Dikotomi Kendali. Yaitu ada hal-hal dalam hidup ini yang bisa kendalikan (Faktor Internal) dan yang tidak bisa kita kendalikan (Faktor Eksternal). Hal apa saja yang termasuk ke dalam prinsip ini menurut stoikisme? Tiga eksistensi yang populer disebut hati (heart) kemudian head lalu hand. Ada yang menyebutnya soul, mind, body, atau ungkapan serupa yaitu iman, ilmu, amal; ada juga rohani, fiqri, jasmani".
Dari apa yang dilakukan oleh Zeno ini membuatnya menjadi pedagang kaya, namun suatu hari di tengah perjalanannya menuju Piraeus kapal kapal yang ia naiki karam, beruntung Zeno masih bisa selamat dan sampai di Athena.
"Perasaan buruk adalah kekacauan pikiran akibat menolak akal dan melawan alam," (Kutipan dari quotes Zeno). Di Indonesia, filosofi Stoicism dikenal dengan nama Stoikisme, Stoisisme, dan filosofi teras.
Demikian, ada begitu banyak cara yang tersedia untuk menemukan kebahagiaan. Mulai dari religi, spiritual, agama, filsafat, budaya, seni dan nilai-nilai lain yang mengajarkan tentang banyak hal tentang manusia dengan kehidupannya. Lalu pertanyaannya sudah manusia menemukan apa yang dicarinya? Jawabannya bisa "ya" dan "tidak" serta "mungkin".
Hidup bukanlah untuk dicari melainkan dijalani. Sebab kehidupan benar-benar Ada dan Nyata untuk kita Saat Ini. Bukan dari bayangan masa lalu maupun mengkhawatirkan masa mendatang yang belum lagi Tiba. Sedangkan kebahagiaan yang dicari berada di dalam diri sendiri, bukan di dan dari luar. Begitulah 'Pemenang kehidupan' adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas. Yang tetap manis di tempat yang sangat pahit. Yang tetap rendah hati meskipun telah menjadi tinggi dan besar. Berketetapan untuk tenang di tengah badai persoalan seiring waktu berjalan. BAHAGIA adalah hak prerogatif dan kewajibannya adalah berbagi.Â
Selamat menghayati hidup. Semoga tetap sehat agar dapat menikmati kebahagiaan dari hal terkecil dan sederhana. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI