Benar. Hampir tidak mungkin negara agar dapat terhindar dari skema global ini. Apalagi jika diwilayahnya benar terdapat kasus. Untuk itulah Pandemi bekerja, yang tidak memungkinkan negara punya otoritas penuh terhadap kebijakan penanganannya. Indonesia pun baru 'ribut' setelah WHO mendesak. Sebelumnya kayak gak ada masalah dengan sebaran Corona, biasa-biasa saja. Meskipun beberapa titik kerawanan bisa diatasi.
Sampai saat ini, bukankah begitu repotnya mengelola ekses mobilisasi kecemasan yang ada. Lebih repot dari mengatasi kasus per kasusnya. Larangan melakukan aktivitas kegiatan diperkirakan tingkat capaian keberhasilannya tidak akan sepenuhnya optimal-maksimal. Betapapun aparat bertugas siang malam mengawasi 24 jam moda transportasi disetiap jalan-jalan keluar masuk lintas daerah. Â
Bagaimanapun manusia itu makhluk sosial. Mereka akan melawan setiap ada yang mencoba membatasi berada di satu tempat saja. Kemerdaan dan kebebasan itu mutlak. Entah bagaimana upaya usahanya agar dapat terbebas dari kungkungan keterasingan. Apalagi jika ada yang mencoba memisahkan mereka dengan kerabat, saudara, teman dan keluarga. Daya dorong naluriahnya akan bertambah kuat jika itu tidak dikehendaki.
Melokalisir Transmisi Virus Corona dari manusia ke manusia secara berkelanjutan, dengan cara menjauhkan semacam ternyata kurang sepenuhnya efektif. Jika, tanpa disertai supporting sistem deliberatif plus menumbuhkan kesadaran warga. Tanpa akar pengertian bersama semacam, semuanya akan sia-sia. Jaga jarak, Social Distance, Physical Distance, Work From Home, Karantina, Isolasi, hanyalah bagian dari upaya preventif meminimalisir penularan, lewat cara memotong mata rantai penyebarannya.
Seringkali tanpa disadari, langkah kita tersandera oleh sejarah. Waktu terus berjalan maju yang tak lagi bisa kita ikuti, karena tak mampu melepaskan bilitan ketakutan. Percampuran egoisme, individualisme, harapan, keinginan dan kepentingan sendiri yang kesemuanya berlawanan dengan kenyataan.Â
Manusia memiliki insting yang berkecenderungan menutupi kekurangan sekaligus keterhubungan yang terpisahkan. Keburukannya, ketidakmampuan, keterbatasannya, apakah itu disebut carrier, OTG, ODP, PDP, jika masih bisa disembunyikan dalam diam, pada konteks Pandemi Covid-19 ini.
Demikian sarana yang menyambungkan relasi antara insani apabila terputus atau diputuskan, maka akibat yang lebih parah pasti terjadi; masifikasi chaos stress. Oleh karenanya dibeberapa negara ketika memberlakukan Lockdown disuatu wilayah pun disertai pemberlakukan pembebasan kuota gratis internet untuk sarana komunikasi warganya.
Mungkin ini menjadi penting membangun kesadaran bersama lintas masyarakat. Tak kalah penting implementasi problem solving keseharian: manajemen interkoneksi komunikasi. Kebijakan deliberatif bukan semata JADUP, BLT, PKH, PHK, atau dispensasi pajak dan listrik, tetapi juga ketersediaan relasi media komunikasi informasi digital gratis. Barangkali inilah bagian dari urgensi, representasi, manifestasi, pelayanan publik (public service) yang berbasis kebutuhan publik (publik need) itu.Â
Mengisi Kemerdekaan Menempuh Kebebasan
Pada situasi seperti ini, sebagai warganegara sejatinya kita tidak bisa diam saja, apalagi lalu tinggal dirumah. Bikin salting. Ini akan justru membuat 'sakit kolektif' yang berdampak pada Corporate Image kita. Bahaya Covid itu nyata, tapi bisa dihadapi dengan protokol kerja yg benar seperti jaga jarak fisik, pakai masker dan cuci tangan pakai sabun. Yang lebih sulit dihadapi adalah kepanikan, ketakutan dan hilangnya akal sehat.
Sejarah sesungguhnya milik mereka yang hadir mengalir menjalani bersama, meskipun terkadang tak sempat dituliskan dan dilupakan. Bukan jejak yang bisa dipenggal sesuka sendiri dan tak perlu diamini. Seperti serpihan peristiwa sementara di panggung pentas sandiwara. Gebyarnya sesaat, kenyataan dilupakan atas nama kenikmatan juga kepentingan. Melupakan masa lalu yang punah entah oleh sebab jaman sudah melesat mendesak.