Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain generasi lama dengan generasi baru. Kenyataan terkini ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif, karena merupakan sebuah inovasi dinamis. Sederhananya, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources). Jikalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi demikian. Era kekinian yang justru disikapi oleh banyak kalangan untuk saling berbagi peran.
Apabila dahulu semaunya ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Orientasi mendahulukan "Income" atau pendapatan pribadi sudah dianggap usang dan mulai ditinggalkan. Digantikan kepentingan "Outcome" atau dampak, manfaat, harapan perubahan dari sebuah kegiatan atau pelayanan suatu program. Begitulah eranya sekarang: bekerja bersama-sama, kolaborasi, bergotong-royong, saling membantu, bahu-membahu. Golong Gilig, sebisa mungkin untuk kemanfaatan bersama yang lebih luas.Â
Bagi kalangan pelaku Produksi Program yang populer bisa disebut juga 'Konten Kreator' Hiburan atau broadcaster --berbeda dengan Divisi Pemberitaan atau Jurnalistik--. Tidaklah bergelut dengan soal-soal, Straight News, Hard News, dan Soft News, atau keharusan mentransmisikan informasi secara verbal melalui berita informasi. Mungkin bisa jadi menterengnya sebut saja, mediator atau komunikator persuasi media.
Pelakon Generasi Baru Televisi Publik 4.0
Dari sinilah Generasi Baru Televisi Publik 4.0 itu lahir bersama perubahan esensi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang tentu berbeda dengan institusi penyiaran komersil yang profit oriented. Penganut market model economic determinism, masyarakat hanya dipandang sebagai struktur kelas ekonomi, bukan sebagai publik warganegara (citizens). Padahal Lembaga Penyiaran Publik diharapkan mampu menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik secara terbuka dan transparan.
Generasi Baru Televisi Publik 4.0 tak ubahnya representasi warga dalam negara demokrasi yang memiliki civics virtues atau kebajikan-kebajikan kewarganegaraan. Di era keterbukaan informasi, media bisa saja berubah menjadi sarana represif yang banal. Ketika secara sengaja mengabaikan kaidah etika dan asas civility. Kesopanan individu sebagai warga negara penting di kedepankan. Manakala manusia berinteraksi lewat sarana komunikasi bermedia.
Demikian juga sebagai warga internet (warganet) memiliki tanggung jawab sama, yaitu menciptakan jagat maya yang tentram dengan menjaga netiket. Netiket adalah tata krama dalam  internet. Sehingga warganet sekalipun saat berada di dunia digital, tetap harus mengikuti aturan seperti di dunia nyata. Ada beberapa kompetensi literasi digital terkait netiket, termasuk etika normatif mengakses informasi sesuai netiket di platform digital.
Interkoneksi media mainstream dengan dunia maya platform digital inilah yang melahirkan dan mengasuh Generasi Baru Televisi Publik 4.0. Pertemuan dua ranah akan melahirkan mazhab dan gramatika baru yang meretas proses mimikri, hibriditas dan ambivalensi, semirip kajian post kolonialisme. Maka ada benarnya ungkapan quote Scrates yang termasyur: "Gnothi Seauton" - Â "Kenalilah Dirimu Sendiri" itu, seakan menjadi keyword pelaku televisi publik. Sekoci kecil dari sistem bernama Revolusi Industri Digital 4.0.
Transformasi Digital setidaknya dapat memberi gambaran situasi hari ini yang tidak lagi sesederhana kemarin dahulu. Akselerasi teknologi informasi tengah menciptakan gelombang perubahan pesat yang melompat. Diaspora arus siaran informasi yang massif tak lagi terbendung. Betapapun maha dahsyatnya hiperrealitas memaksa Generasi Baru Televisi Publik 4.0 agar mau belajar menjadi lebih arif, bijak, adil, independen, netral dan objektif dalam mengelola informasi. Apalagi bagi pelaku media penyiaran yang lebih kerap berada dibelakang layar. Sebutlah itu kemudian sebagai pelakon, aktor, kreator dan atau aparatur di balik tontonan. Pertanggungjawaban profesionalisme adalah kata kuncinya.***
*) Tulisan serupa pernah dimuat jayakartanews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H