Mohon tunggu...
Bambang J. Prasetya
Bambang J. Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Media Seni Publik

Yang tak lebih dari sekedar bukan: Penggemar dolan-dolin, penikmat ngopa-ngupi, penyuka tontonan menuliskan bacaan dan pemuja Zirpong. Demi menjalani Praktik Media Seni Publik: Television Film Media Program Production Management, Creatif Director, Creatif Writer, Script Writer Screenplay. Supervisior Culture and Civilization Empowerment Movement Yayasan KalBu Kalikasih dan Fasilitator Kalikafe Storyline Philosophy. Penerima Penganugerahan Penulisan Sinematografi Televisi: Anugrah Chaidir Rahman Festival Sinetron Indonesia FSI 1996. Penghargaan Kritik Film Televisi Festival Kesenian Yogyakarta FKY 1996. Nominator Unggulan Kritik Film Televisi FSI 1996, 1997 dan 1998. Sutradara Video Dokumentari: Payung Nominator Unggulan FFI 1994, Teguh Karya Anugrah Vidia FSI 1995, Teguh Srimulat Nominator Unggulan FSI 1996, Tenun Lurik Anugerah Vidia FSI 1996. Ibu Kasur Anugerah Vidia FSI 1996. Terbitan Buku: Suluk Tanah Perdikan Pustaka Pelajar 1993, Ritus Angin Kalika Pers 2000, Kumpulan Cerpen Negeri Kunang-Kunang Kalika Pers, Adhikarya Ikapi dan Ford Foundation 2000, Dami Buku Trans Budaya Televisi terlindas Gempa 2006. Kumpulan Esai Berselancar Arus Gelombang Frekuensi Televisi Kalikafe Storyline Philosophy 2022. Beberapa tulisan termuat dalam: Antologi Puisi Jejak 1988, Antologi Esai FKY 1996, Antologi Puisi Tamansari FKY 1997, Antologi Serumpun Bambu Teater Sila 1997, Antologi Embun Tanjali FKY 2000. Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan BBY 2012, Antologi Puisi Cindera Kata: Poetry on Batik 2018 dan Trilogi Sejarah Perkembangan Teater Alam Indonesia 2019. Wajah Wajah Berbagi Kegembiraan Paguyuban Wartawan Sepuh, Tembi Rumah Budaya, Tonggak Pustaka 2020.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Meretas Generasi Transformatif Televisi Publik Era Revolusi Industri 4.0

3 Agustus 2022   09:33 Diperbarui: 3 Agustus 2022   09:35 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain generasi lama dengan generasi baru. Kenyataan terkini ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif, karena merupakan sebuah inovasi dinamis. Sederhananya, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources). Jikalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi demikian. Era kekinian yang justru disikapi oleh banyak kalangan untuk saling berbagi peran.

Apabila dahulu semaunya ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Orientasi mendahulukan "Income" atau pendapatan pribadi sudah dianggap usang dan mulai ditinggalkan. Digantikan kepentingan "Outcome" atau dampak, manfaat, harapan perubahan dari sebuah kegiatan atau pelayanan suatu program. Begitulah eranya sekarang: bekerja bersama-sama, kolaborasi, bergotong-royong, saling membantu, bahu-membahu. Golong Gilig, sebisa mungkin untuk kemanfaatan bersama yang lebih luas. 

Bagi kalangan pelaku Produksi Program yang populer bisa disebut juga 'Konten Kreator' Hiburan atau broadcaster --berbeda dengan Divisi Pemberitaan atau Jurnalistik--. Tidaklah bergelut dengan soal-soal, Straight News, Hard News, dan Soft News, atau keharusan mentransmisikan informasi secara verbal melalui berita informasi. Mungkin bisa jadi menterengnya sebut saja, mediator atau komunikator persuasi media.

Pelakon Generasi Baru Televisi Publik 4.0

Dari sinilah Generasi Baru Televisi Publik 4.0 itu lahir bersama perubahan esensi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang tentu berbeda dengan institusi penyiaran komersil yang profit oriented. Penganut market model economic determinism, masyarakat hanya dipandang sebagai struktur kelas ekonomi, bukan sebagai publik warganegara (citizens). Padahal Lembaga Penyiaran Publik diharapkan mampu menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik secara terbuka dan transparan.

Generasi Baru Televisi Publik 4.0 tak ubahnya representasi warga dalam negara demokrasi yang memiliki civics virtues atau kebajikan-kebajikan kewarganegaraan. Di era keterbukaan informasi, media bisa saja berubah menjadi sarana represif yang banal. Ketika secara sengaja mengabaikan kaidah etika dan asas civility. Kesopanan individu sebagai warga negara penting di kedepankan. Manakala manusia berinteraksi lewat sarana komunikasi bermedia.

Demikian juga sebagai warga internet (warganet) memiliki tanggung jawab sama, yaitu menciptakan jagat maya yang tentram dengan menjaga netiket. Netiket adalah tata krama dalam  internet. Sehingga warganet sekalipun saat berada di dunia digital, tetap harus mengikuti aturan seperti di dunia nyata. Ada beberapa kompetensi literasi digital terkait netiket, termasuk etika normatif mengakses informasi sesuai netiket di platform digital.

Interkoneksi media mainstream dengan dunia maya platform digital inilah yang melahirkan dan mengasuh Generasi Baru Televisi Publik 4.0. Pertemuan dua ranah akan melahirkan mazhab dan gramatika baru yang meretas proses mimikri, hibriditas dan ambivalensi, semirip kajian post kolonialisme. Maka ada benarnya ungkapan quote Scrates yang termasyur: "Gnothi Seauton" -  "Kenalilah Dirimu Sendiri" itu, seakan menjadi keyword pelaku televisi publik. Sekoci kecil dari sistem bernama Revolusi Industri Digital 4.0.

Transformasi Digital setidaknya dapat memberi gambaran situasi hari ini yang tidak lagi sesederhana kemarin dahulu. Akselerasi teknologi informasi tengah menciptakan gelombang perubahan pesat yang melompat. Diaspora arus siaran informasi yang massif tak lagi terbendung. Betapapun maha dahsyatnya hiperrealitas memaksa Generasi Baru Televisi Publik 4.0 agar mau belajar menjadi lebih arif, bijak, adil, independen, netral dan objektif dalam mengelola informasi. Apalagi bagi pelaku media penyiaran yang lebih kerap berada dibelakang layar. Sebutlah itu kemudian sebagai pelakon, aktor, kreator dan atau aparatur di balik tontonan. Pertanggungjawaban profesionalisme adalah kata kuncinya.***

*) Tulisan serupa pernah dimuat jayakartanews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun