Televisi merupakan salah satu media yang mampu menghadirkan kembali jejak, rekaman, gambar dan arsip. Televisi membentuk sejarah menjadi ingatan sebagai sebuah bangsa dan warga negara yang merdeka dibulan Agustus ini. Di sisi lain, Agustus adalah bulan penting untuk mengingat hubungan antara sebagai warga negara dengan sebuah bangsa, sebagai pemilik sah frekuensi publik beserta televisi publik. Namun apakah televisi publik membuat ingatan yang sama demikian?
Sejatinya televisi memiliki hubungan yang panjang dengan apa yang biasa kita sebut "Agustusan", bahkan sejak siaran pertama televisi di Indonesia. Anehnya, sepanjang ingatan memori, tak ada satupun stasiun televisi yang menyisipkan cerita siaran pertama televisi di Indonesia dalam tayangan pesta Agustusan. Benarkah hal yang demikian adalah juga memori ingatan yang terabaikan?
Apa yang kita sebut memori hari ini adalah sejarah, tulis Pierre Nora. Manusia modern, menurut Nora, tak punya lagi "ingatan" yang spontan dan menubuh (embodied). "Ingatan" telah digantikan sejarah yang saintifik, rasional tapi hanya menempel (embedded). "Sejarah" hanya menempel sebab bergantung pada lembaga yang menampilkan "rekaman sejarah" sebagai "ingatan"; upacara-upacara, buku-buku sejarah dan tentu saja televisi. Jika demikian, bagaimana memori sejarah itu, tidak diulang terus menerus sehingga menjadi ingatan kolektif sebagai warga bangsa.Â
Tanpa ingatan sejarah yang baik, kita akan gagal mengenali dan membayangkan masa depan secara lebih baik. Di ranah inilah media televisi berperan penting menjadi semacam literatur, lecture, literasi Kebudayaan untuk mempersepsikan peradaban secara lebih jernih, melalui programing informasi maupun tontonan yang berperspektif dan visioner.
Berdiri Paling Depan Di Belakang Tayangan
Tontonan merupakan produksi utama masyarakat kekinian. Tontonan, tidak hanya dipahami sekedar sekumpulan gambar-gambar. Melainkan yang lebih dari pada itu, tontonan dipahami sebagai sebuah relasi sosial diantara masyarakat modern yang dimediasi oleh citra. Ketika manusia modern menjadikan semua hal di dalam hidupnya sebagai komoditas. Kemudian komoditas pun disulap menjadi "tontonan" (spectacle) yang ditampilkan melalui dan disebar oleh media massa. Setidaknya begitulah Guy Debord menyebutkan tesisnya "Masyarakat Tontonan" - The Society of Spectacle.Â
Begitupun dunia penyiaran saat ini tengah mengalami perubahan mendasar. Bukan soal platform atau infrastruktur yang akan mengemuka dan menjadi perhatian, melainkan lebih mengerucut fokus pada "Manajemen Konten". Bagaimana pun mengidealkan penyiaran yang sehat tidak dapat dipisahkan dari kualitas industri teknologi dan akan berkaitan erat dengan konten.
Soal yang tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 2.700 lembaga penyiaran, sebanyak 1.100 lembaga siaran televisi dan 1.600 siaran radio. Data Komisi Penyiaran Indonesia menyebutkan, saat ini ada sedikitnya 374 stasiun televisi bersiaran di seluruh Indonesia, baik yang nasional maupun lokal. Juga ada kurang lebih 8.760 jam penayangan materi setiap tahunnya.Â
Belum lagi pengguna internet Indonesia mencapai 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi penduduk. Namun demikian, berdasarkan hasil riset Trust Barometer yang dilansir Menkominfo, terdapat penurunan signifikan kepercayaan publik terhadap keberadaan media sosial dan media daring. Kesempatan tersebut menjadi peluang media mainstream umum penyiaran untuk tampil lebih menawan.
Diakui atau tidak, di balik tontonan, tayangan, dan penyiaran, termasuk media televisi. Ada pihak-pihak yang patut diapresiasi, karena usaha, kerja keras, maupun karya mereka dapat diterima oleh masyarakat luas. Merekalah yang berdiri paling depan di belakang tayangan. Profesi yang semakin dituntut tanggung jawab sosial dan kerja profesionalisme-nya. Apalagi sejak memasuki dunia yang terbuka, "Revolusi Industri 4.0": nama trend otomasi digital dan pertukaran data teknologi, sistem siber-fisik, internet dan komputasi kognitif.Â
"Abad Disruption" yang juga memunculkan sebuah keterpecahan dan membawa dampak amat besar, terhadap perubahan dua arah: gangguan serta inovasi. Sebuah gangguan terhadap tata sosial, sekaligus peluang inovasi yang membawa kemajuan. Sebuah era baru, era disruption. Era yang membutuhkan "disruptive regulation, disruptive culture, disruptive mindset, dan disruptive marketing." Inovasi akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Tidak hanya sistemnya, melainkan juga pelakunya-manusianya.Â