BULAN AGUSTUS bukan saja menjadi momentum penting perayaan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia. Bulan Agustus juga menyimpan peristiwa lahirnya Hari Pertelevisian Nasional (HPN) Indonesia. Sejarah mencatat, 60 tahun lalu, seminggu sebelum perayaan Asian Games, 17 Agustus 1962, atas mandat Presiden Soekarno, stasiun televisi pertama di Indonesia TVRI memulai diujicobakan untuk memancarkan acara peringatan proklamasi ke-17. Sementara pembukaan penyelenggaran Asian Games ke-IV, 24 Agustus, kemudian ditabalkan sebagai Hari Pertelevisian Nasional (HPN), sekaligus dijadikan hari lahirnya TVRI Nasional.
Latar kedua peristiwa bersejarah itu, --kelahiran TVRI Nasional dan Hari Pertelevisian Nasional (HPN)--, tidak dapat dilepaskan begitu saja dari jasa Presiden Soekarno dan Maladi almarhum. Salah dua tokoh utama yang membidani kelahiran televisi di republik ini. Presiden Soekarno yang berkehendak mendirikan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO). Memandatkan pelaksanaannya kepada Maladi yang seorang pecinta olahraga dan penyiar radio. Ia pernah menjadi Kepala Radio Republik Indonesia (1946-1959), Ketua PSSI (1950-1959), Menteri Penerangan (1959-1962), juga Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (1964-1966).
Di awal tahun 1952, ketika Republik Indonesia masih berusia tujuh tahun, Presiden Soekarno dan Maladi menggagas berdirinya Televisi Republik Indonesia. Meski didukung Presiden Soekarno, usulan Maladi ditolak kabinet. Alasannya, televisi terlalu mahal. Upaya meyakinkan pemerintah terus dilakukan Maladi. Menurutnya televisi dapat berperan membentuk kesatuan nasional. Sebagaimana RRI telah menunjukkan kiprahnya dalam menyatukan bangsa Indonesia dimasa kolonialisme  menghadapi penjajah. Maka, Maladi pun mengadopsi peran kesejarahan tersebut dalam upaya menghadirkan televisi bagi masyarakat Indonesia. Rancangan pendirian media penyiaran pandang dengar itu, barulah kemudian disetujui pada tahun 1959.
Memaknai Keindonesiaan Pertelevisian Nasional
Bulan Agustus, adalah saat yang tepat bagi seluruh bangsa Indonesia untuk selalu merefleksikan dan merayakan pentingnya Kemerdekaan. Berbagai cara banyak ditempuh dalam rangka mengisi hari yang bersejarah  kelahiran bangsa Indonesia ini. Termasuk salah satunya bagaimana memaknai ulang Televisi Republik Indonesia (TVRI).Â
Bagaimanapun kerja media, termasuk didalamnya televisi dan atau TVRI adalah menjalankan fungsi jurnalisme. Setidaknya kaidah asas dan etik dasarnya patut dianut. Media massa merupakan bagian integral komunikasi sosial yang tidak mungkin dicerabut dari akar filosofi jurnalisme. Apalagi dalam perkembangannya, TVRI sejak dikeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, dan Peraturan Pemerintah Nomor 11, 12 dan 13 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik, RRI dan TVRI (LPP RRI TVRI). Berdasarkan ketiga peraturan tersebut, RRI dan TVRI berada di bawah kewenangan langsung Presiden RI.Â
Mendahulukan pendekatan komunikasi perubahan perilaku --Behavioral Change Communication-- yang berbasis pada pendekatan afeksi untuk mengerucutkan dampak-impact reflektif bagi masyarakat lebih merupakan arus keutamaan. Semirip memediasi kebutuhan masyarakat dalam menyalurkan potensi aspirasi kultural yang tentu saja memiliki nilai kemanfaatan, inspiratif, mencerahkan, bagi masyarakat penerima manfaat. Sejalan tugas pokok fungsi yang lebih mendahulukan untuk menyasar program pengembangan masyarakat lewat sarana hiburan atau community development base entertainment.
Posisioning semacam ini mungkin diperlukan, apalagi jika menilik era sistem pers terkini yang berkencederungan liberal. Pada pertautan tersebut, sesadarnya dipahami bahwa media merupakan sarana yang paling ampuh digunakan menyebarkan ideologi dan budaya melalui hegemoni kelompok-kelompok tertentu, terhadap kelompok-kelompok lain yang menjadi target hegemoninya. Serupa gagasan Antonio Gramsci menyoal hegemoni. Mereka menyebarkan ideologi dan budaya tertentu melalui media dengan menggusur gagasan kelompok lain.
Ekesistensi dan posisi media yang seharusnya berada pada posisi netral dan berkerja berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas kerap mengalami distorsi. Lazimnya, program acara yang disuguhkan oleh media dapat memberikan gambaran realitas yang sebenarnya sehingga publik dapat mengerti dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi secara interpretatif yang 'menghibur'.
Diakui realitas sosial tidaklah sepenuhnya transparan, maka dibutuhkan kejernihan juga kritis dalam memahaminya. Persoalannya apakah Broadcaster mencerminkan pendekatan tanggung jawab sosial semacam? Bukankah sebuah ungkapan menyebutkan: "Good news is bad news. Bad news is bad newsnews". Kabar baik adalah berita buruk, berita buruk adalah kabar baik.