Dalam jurnalisme modern, teori tanggung jawab sosial menjadi madzhab meanstream di berbagai media massa belahan dunia. Ciri umum madzhab ini adalah siapapun bisa-boleh memiliki pendapat. Sebab, media sebenarnya dikendalikan oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, dan etika profesional. Namun demikian, media juga tetap mengemban tugas tanggung jawab sosial dan bila tidak mencerminkan realitas sosial.
Suatu pihak tertentu harus mengingatkan atau memaksanya, agar kembali berjalan sesuai fungsi utamanya berdasar pada kepentingan pelayanan publik (public service). Oleh karenanya, partisipasi adalah salah satu cara dalam rangka berperan serta dalam berbagai aktifitas sosial. Keikutsertaan secara langsung, mengamati, mendengarkan dan terlibat dengan dinamika yang terjadi dilingkungan pergaulan sosial.Â
Pergumulan itu pada gilirannya akan menjadi tabungan pengalaman kreatif yang berkait erat dengan mandat tugas profesi. Semacam methode grounded, menurut bang Ashadi Siregar. Sebab menekuni profesi sebagai pekerja televisi atau menempuh jalan broadcasting televisi publik, mau tidak memang harus memiliki kecenderungan untuk mengangkat potensi-potensi yang ada dilingkungan komunitas. Untuk itulah dibutuhkan sarana untuk dapat merasakan denyut nadi masyarakat yang berkembang secara positif, netral, obyektif, dan Independen.Â
Jurnalis-Broadcaster sedapat mungkin menghindari posisi, informasi, dan otoritas yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi. Tekanan ini juga dapat dijelaskan bahwa, pelaku media harus mampu mendorong pertumbuhan, pembangunan beserta kemajuan komunitas yang beragam. Namun tetap berpendirian dalam jarak obyektif, agar tetap menghargai pluralisme masyarakat yang sedang tumbuh berkembang secara evolutif-revolutif-progresif-dinamis.
Merayakan Penyiaran Partisipatoris
Jurnalisme partisipatoris pada galibnya menjadi sarana menentukan berbagai pilihan berdasar obyektifitas, sekaligus untuk membatasi koridor subyektifitas agar tidak terlalu dominan. Tahapan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat hadirnya ide gagasan kreatif juga bukan tiba-tiba turun dari langit begitu saja. Seakan sulapan, bin salabim abrakedabra lalu sertamerta jadilah. Meskipun terkadang kehadirannya tidak dapat diduga sebelumnya.
Untuk sampai pada penerima, kreator, bukan berarti tanpa proses. Sebuah perjalanan nir prediksi yang melewati bentangan fase, dan terkadang bisa saja disadari ataupun tidak. Mengalir begitu saja di alam bawah sadar ataupun pikiran. Namun semuanya akan selalu berkaitan dengan keterlibatan berbagai pergesekan sumber pemahaman. Apakah bersifat referensial pengetahuan, pengalaman, atau pergumulan dalam menghayati kehidupan yang dipengaruhi oleh orientasi maksud tujuan, hasrat keinginan, harapan dan kenyataan, baik secara internal maupun eksternal dalam lokus personal ataupun institusional. Kesemuanya bertemu secara koherensial yang kemudian bisa disebut pengalaman empiris.
Jika ditarik hubungkan di tataran kebijakan, baik ketika harus menentukan program atau menginisiasi paket acara, menjadi semirip proses "Evidence Based Policy" keputusan yang diambil berdasarkan data, fakta dan realitas pengalaman. Dari sanalah kebutuhan-kebutuhan dasar dapat dipetakan untuk dijadikan pertimbangan kebijakan dalam membuat keputusan. Memilah antara yang diperlukan, dibutuhkan ataupun tidak, bersanding dengan bermacam rambu-rambu baku, perundangan, aturan hukum, mandatori, konsideran, yang tersalurkan lewat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), serta berbagai macamnya yang sejenis.
Pastinya kesemuanya didasarkan pada harapan mulia, supaya setiap pilihan programing yang menjadi tanggung jawab tidak tumbuh dan berdiri di atas alas 'kesemena-menaan' personal yang dikarenakan khilaf memahami otoritas kewenangan yang diberikan. Sehingga terasa menyengat aroma hasrat subyektifitas, apakah berupa selera, taste, kepentingan: motif, maksud, tujuan, dan sasaran. Sebab esensi dan subtansinya, sesungguhnya secara personal, kami tidaklah ada, karena yang ada adalah kami petugas dan alat representasi institusi negara, ketika menjalankan otoritas tugas pekerjaan didalam melaksanakan mandatori kepublikan.
Agustusan, begitulah kiranya semangat yang tercermin dari histeria serta euforia dalam merayakan suasana di bulan ini. Spirit mereproduksi memori sejarah kejuangan yang tak hentinya diekspresikan untuk meneguhkan ke-Indonesia-an. Kesadaran akan tanggung jawab sosial, Sense of responsibility, sebagai anak bangsa yang mensyukuri warisan nilai-nilai kemerdekaan secara utuh. Bahwa ukuran kredibilitas seseorang terukur dari kemampuan mengembangkan perasaan bertanggung jawab atas profesionalisme yang dijalankan. Tidak saja sekedar menghadirkan sesuatu yang semu enak dipandang tetapi menipu, selayaknya 'doktrin' Good Looking, Good Listening, Good Performing yang bisa saja disalah tafsirkan.
Di era keterbukaan informasi dan demokratisasi media seperti saat ini banyak bisa saja terjadi. Distorsi komunikasi-informasi hadir bersama dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan relasi-relasi sosial. Dari sanalah kesadaran kritis itu menjadi prasyarat utamanya. Ketika keharusan memahami realitas yang tidak sepenuhnya transparan. Media telah hadir ditengah-tengah masyarakat, tidak saja sebagai institusi, melainkan juga sebagai pribadi. Setiap orang sudah memiliki media ditangannya sendiri yang berupa handphone, gadget.