Akuntabilitas pelayanan publik selayaknya dimaksudkan untuk membangun nilai-nilai kebersamaan dengan menumbuhkan kepercayaan dan kolaborasi. Antara pemangku kepentingan dengan stakeholders bersama warga negara. Untuk memenuhi semua kebutuhan publik: Pemerintah (birokrat) harus membangun pemahaman bersama tentang kepentingan publik, menciptakan tanggungjawab dan kepentingan bersama.
Lazimnya kebijakan yang berbasis pada peraturan perundangan akan menempatkan perlindungan masyarakat sebagai warga negara menjadi hal utama. Tidak bisa selamanya membiarkan masyarakat hanyut dalam keprihatinannya dengan banyaknya saluran tayangan televisi digital dan medsos yang bertambah banal.Â
Ekses literasi media yang sumir. Tapi, mau bagaimana lagi, itulah semangat zaman (zeitgeist) dari era 'carut marut' yang dicirikan respon reflek atas kondisi sosialnya (reflexive modernity), berkecenderungan ekspresif, dibanding reflektif, untuk menginternalisasikan diri kedalam spiritualitas yang subtil.
Harapannya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) bersama DPR-RI beserta lembaga yang berkompeten bolehlah berkomitmen mempercepat regulasi di sektor penyiaran. Khususnya Perubahan Undang-undang Penyiaran dan RTRI untuk mengantisipasi ASO yang akan berakhir November 2022 nanti.Â
Memfasilitasi digitalisasi penyiaran tentu tidak cukup dengan memberikan bantuan Set Top Box TV Digital (STB) secara cuma-cuma, gratis.Â
Tapi lebih daripada itu, perlindungan terhadap semburan konten sekaligus dampaknya, adalah hal yang lebih serius dan urgent untuk disikapi. Tentu tidak ada yang menginginkan bahwa nantinya, saluran frekuensi penyiaran hanya dipenuhi Sampah Visual Televisi dan Virus virtual. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H