Tanpa menghiraukan apakah masyarakat mampu memilah dan memilih tayangan sehat informasi bermartabat. Sama saja membiarkan masyarakat berada di tengah arus tsunami tayangan informasi. Tanpa kesiapan pengamanan lebih lanjut. Â Teknologi yang sedianya bermanfaat untuk kehidupannya pada gilirannya justru menjadi sesuatu yang membahayakan.Â
Kode etik jurnalistik dan penyiaran menjadi sebatas aturan normatif yang terasa asing dan tidak berlaku karena dianggap kedaluwarsa. Pada kondisi semacam memang diperlukan keberanian melakukan diskresi sosial atau kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi masyarakat.Â
Bagaimanapun harapan  adanya SSJ dan atau hadirnya frekuensi digital, dapat mendorong setiap daerah propinsi, kabupaten dan kota menyelenggarakan penyiaran yang dibutuhkan.
Kondisi ini tentu akan menjadi mudah apabila migrasi jaringan frekuensi TV digital nantinya rampung. Meskipun persoalan lain akan segera muncul bagi pengelola televisi lokal, komunitas, pemerintah daerah, perusahaan swasta lokal dan berbagai stakeholder.Â
Mengingat ruang kompetisi akan semakin terbuka lebar dengan hadirnya stasiun televisi digital baru. Untuk itu tata kelola televisi digital setidaknya dapat mengakomodasi dan bersinergis dengan kebijakan revisi undang-undang penyiaran yang harapannya segera terselesaikan.
Dibanyak daerah, hampir bisa dipastikan sudah memiliki kesiapan tersendiri menghadapi era frekuensi digital. Hanya saja seringkali menghadapi hambatan, manakala kebijakan yang akan diberlakukan belum memiliki landasan hukum yang lebih kuat dan melindungi. Mengingat keleluasaan dan keterbukaan saluran digital. Tidak menutup kemungkinan memunculkan banyak persoalan dan kepentingan pelaku serta pemilik modal industri media.Â
Maraknya pasar media berdampak nyata pada dunia penyiaran di Indonesia, khususnya televisi. Ada lebih dari 11 televisi komersial nasional, dan ratusan televisi lokal saat ini. Setelah SK Menteri Penerangan Th. 111/1990 Â menerbitkan kebijakan udara terbuka yang memungkinkan bisnis media massa beroperasi di Indonesia (open sky policy).Â
Bisnis Media Televisi berkembang pesat setelah liberalisasi semacam. Jika tanpa dibarengi regulasi kebijakan yang kongruen. Keluhan Khalayak akan bertambah banyak  tentang rendahnya kualitas program TV.
Survei Indeks Kualitas Program Siaran yang dilakukan KPI bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi. Menunjukkan kecenderungan rendahnya siaran. Mono-kulturalisasi serta pasar (dan konten) tidak sehat akibat kepemilikan monopoli. Keluhan ini menandai kebutuhan regulasi penyiaran. Berdasarkan anggapan frekuensi sebagai milik publik (masyarakat), maka penggunaan frekuensi seharusnya lebih dikhususkan untuk mengedukasi dan melayani kebutuhan masyarakat.Â
Skeptis terhadap multiplier effect paska digitalisasi penyiaran TV pun bukan hal tabu yang mengada-ada. Pengalaman yang sudah terjadi cukup memberikan dasar argumentasi untuk bersikap lebih hati-hati. Bagaimana kondisi eksisting khalayak masyarakat yang sudah merasa ciut resah menghadapi serbuan acara televisi analog dan media sosial.Â
Apalagi nanti setelah saluran digital benar dijalankan. Akan ada berapa televisi yang bermunculan? Apakah memungkinkan semuanya saluran penyiaran dapat mempertanggungjawabkan kualitas pelayanan siarannya kepada publik?Â