Begitulah pengalaman bergumul dengan banyak teman dari etnis suku Tionghoa. Kebetulan masa kecil sampai tumbuh dewasa, rumah orang tua berada di kampung yang banyak dihuni warga Tionghoa. Hampir sepanjang jalan rumah orang tua bersebelahan dengan keluarga Tionghoa. Maka bisa bayangkan bagaimana kecemasan itu kembali terlibat pada situasi semacam. Ketika bayang-bayang kerusuhan sedikit saja menunjukkan tanda-tandanya. Seperti dahulu tahun 80-an ketika di Surakarta terjadi kerusuhan rasial. Ketakutannya pun merebak sampai ke daerah lain. Demikian peristiwa kerusuhan 1998 di Jakarta pun tak pelak wilayah lain ikut terdampak.
Sejarah kelam kerusuhan rasial semacam menjadi memori episodik yang sewaktu-waktu hadir kembali menyertai peristiwa aktual yang ada. Sebagian masyarakat yang memiliki reasioning empiris akan mengerutkan kening. Merasa menjadi bagian dari kelompok terdampak yang pasti akan tertimpa akibat langsung. Wajarlah jika kemudian merasa lebih kawatir dibandingkan masyarakat pada umumnya.Â
Tak pelak apabila kemudian genderang 'perang' sempat dilontarkan salah satu kelompok, maka perlawanan dari kelompok lainnya pun tak kalah sengitnya. Pada saat seperti itulah sertamerta ingatan lama pun menyembul: 'Gajah sama Gajah bertarung, Pelanduk mati di tengah-tengah'. Pelanduk itulah warga masyarakat pada umumnya yang berdomisili di seputaran lokasi kerusuhan.Â
Lengkap sudahlah persepsi, tafsir, imajinasi yang merujuk pada sesuatu yang bersifat banal. Sewajarnya pula jika sebagian besar masyarakat mengalami perasaan was-was. Cemas jika bentrokan yang mulanya hanya dipicu satu dua orang kemudian menjadi tak terkendali. Saling mengerahkan kelompoknya dan memicu kelompok lainnya lagi terseret dalam pertikaian. Efek mata rantai itulah yang memantik rasa fobia tak berkesudahan. Saling menyimpan dendam untuk dibalaskan pada waktu dan tempat yang berbeda. Kerugian terbesarnya pastilah retaknya ikatan kultural, relasi sosial dan keutuhan nilai kebangsaan.
Menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai "orang Indonesia" adalah cita-cita sosial. Upaya merekatkan untuk menjadi suatu bangsa di seluruh wilayah Indonesia. Suatu sarana mengakui dan menghargai bahwa seseorang bagian integral dari sebuah bangsa tanpa perlakuan diskriminatif. Mengokohkan jiwa-jiwa kebangsaan merupakan proses yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mendayagunakan seluruh potensinya demi pemajuan diri dan lingkungannya.
Menjaga perasaan dan sikap "Damai Sejak Dalam Pikiran" merupakan usaha mendukung gerakan moral untuk mewujudkan kedamaian di bumi untuk sesama dan bersama. Dengan cara memperebutkan kebaikan dan memenangkannya berdasar hukum yang berlaku equal setara.Â
Disadari Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damai diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar. Termasuk membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan. Dari sinilah pikiran dan pemahaman kedamaian itu bermula. Sebagaimana quotes Si Vis Pacem Para Bellum "Jika kau mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi perang". Jika semua warga masyarakat memerangi dirinya untuk tidak melakukan keonaran, maka kedamaian dengan sendirinya mewujud. Sebagaimana amanat leluhur menasehatkan: "Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung". ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H