Mohon tunggu...
Bambang J. Prasetya
Bambang J. Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Media Seni Publik

Yang tak lebih dari sekedar bukan: Penggemar dolan-dolin, penikmat ngopa-ngupi, penyuka tontonan menuliskan bacaan dan pemuja Zirpong. Demi menjalani Praktik Media Seni Publik: Television Film Media Program Production Management, Creatif Director, Creatif Writer, Script Writer Screenplay. Supervisior Culture and Civilization Empowerment Movement Yayasan KalBu Kalikasih dan Fasilitator Kalikafe Storyline Philosophy. Penerima Penganugerahan Penulisan Sinematografi Televisi: Anugrah Chaidir Rahman Festival Sinetron Indonesia FSI 1996. Penghargaan Kritik Film Televisi Festival Kesenian Yogyakarta FKY 1996. Nominator Unggulan Kritik Film Televisi FSI 1996, 1997 dan 1998. Sutradara Video Dokumentari: Payung Nominator Unggulan FFI 1994, Teguh Karya Anugrah Vidia FSI 1995, Teguh Srimulat Nominator Unggulan FSI 1996, Tenun Lurik Anugerah Vidia FSI 1996. Ibu Kasur Anugerah Vidia FSI 1996. Terbitan Buku: Suluk Tanah Perdikan Pustaka Pelajar 1993, Ritus Angin Kalika Pers 2000, Kumpulan Cerpen Negeri Kunang-Kunang Kalika Pers, Adhikarya Ikapi dan Ford Foundation 2000, Dami Buku Trans Budaya Televisi terlindas Gempa 2006. Kumpulan Esai Berselancar Arus Gelombang Frekuensi Televisi Kalikafe Storyline Philosophy 2022. Beberapa tulisan termuat dalam: Antologi Puisi Jejak 1988, Antologi Esai FKY 1996, Antologi Puisi Tamansari FKY 1997, Antologi Serumpun Bambu Teater Sila 1997, Antologi Embun Tanjali FKY 2000. Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan BBY 2012, Antologi Puisi Cindera Kata: Poetry on Batik 2018 dan Trilogi Sejarah Perkembangan Teater Alam Indonesia 2019. Wajah Wajah Berbagi Kegembiraan Paguyuban Wartawan Sepuh, Tembi Rumah Budaya, Tonggak Pustaka 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Riak Buih Gelombang Dunia Maya

3 Juli 2022   23:45 Diperbarui: 11 Juli 2022   21:15 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#13

TERUSIK kisah cerita sahabat yang bertandang dan berbincang semalaman. Lama tidak berjumpa karena kesibukannya masing-masing. Tiba-tiba menghampiri dan semacam curhat sekaligus mengoreksi tak kurang dari mengkritisi.

"Ada banyak orang lain yang baik yang bisa kamu percaya. Jangan terlalu menutup diri dan tidak mau percaya. Mau tidak mau, kamu butuh orang lain di sisimu dan kamu tidak akan bisa mempertahankan mereka kalau kamu tidak percaya."

Entah dari mana muasalnya, selayaknya ingatan bertubi-tubi merundung dini hari yang basah diguyur hujan melancungkan senja. Meluncur begitu saja, menderaskan lintasan peristiwa yang dilupakan. Begini terkira katanya mengulang menikmati rokoknya, di serambi rumah depan persis dejavu. 

"Aku hanya ingin menjaga diri sendiri saja. Syukur jika sedikit bisa menularkan apa yang kupikirkan kepada keluargaku sendiri. Kalaupun harus melakukan perubahan, cukup berdamai dengan diri sendiri. Bersikap baik atas hidup ini. Tidak semena-mena pada sesama.

 Itu saja." kata-katanya terucap berat dan pelan disampaikan dengan ekspresi serius, sembari menghisap rokoknya, dan sesekali menyedu kopi yang telah dihidangkan.

"Mengapa bisa begitu bung?" tanya saya sedikit tidak mau mempercayai begitu saja ungkapannya. Bagaimana tidak, dia sejak dulu termasuk temen yang dinamis mengisi hidupnya. Kerap sejalan dalam berbagai aktifitas, menulis, bersastra, berkesenian, melakukan kerja-kerja sosial. Juga seorang aktifis politik yang teguh. Daya hidup dan energinya selalu menawar dan mempertimbangkan kegalauan absurditas eksistensial harkat kemanusiaan secara obyektif juga rasional.

"Kita tak mungkin lagi melakukan perubahan untuk menjadikan sedikitpun lebih baik. Setidaknya kekuatan dunia maya sudah tidak terkendali lagi. Kita hanya akan menjadi riak-riaknya " tegasnya.

Mungkin disebabkan cemas, setengahnya lunglai berada diantara keangkuhan yang tak juga membumi, maunya terbang tinggi melangitkan mimpi, enggan mendaratkan kenyataan. Pada mereka yang sudah pergi mendahului yang kemarin dulu sering menyambangi. 

Kesendirian adalah hening wening. Manembah tansah lembah manah. Trimah mawi pasrah. Selalu sadar diri pada ikhlas, sabar, syukur, bahwa sejatinya "aku" tak mampu apa-apa, tak punya apa-apa, yang punya bisa dan kuasa hanya Tuhan Gusti Allah.

"Hidup itu seperti berada di hutan belantara, ada berbagai macam tanaman, kalau mau tumbuh menjadi pohon yang besar menjulang tinggi maka harus memiliki akar yang kuat, batang yang kokoh, sehingga tak mudah ditumbangkan cuaca alam dan dirinya sendiri. Rawat dan galilah hakekat makna dari balik semua peristiwa yang ada." Lanjut kalimatnya seperti biasanya datar penuh tekanan. 

KESIMPULAN percakapan malam itupun usai dengan menyisakan pertanyaan pilihan. Memilih bermain medsos hidup bersama dunia maya atau tetap move on dengan mengabaikan dunia maya?

Kawan yang bertandang itupun telah menentukan sikapnya, memilih move on, mungkin karena itu lebih kongkrit dan nyata baginya, selain dinamis tentunya. Meskipun memilih bermedsos adalah hal yang paling realistis.

Yahhh, kerap kali memang begitu.

Pilihan selalu bertumpu pada kebutuhan, apalagi ketika 'Rezim Tubuh', sedang berkuasa, maka medsos-lah teman setia. Menemani tubuh yang mau tidak harus tetap terbaring, selayaknya bedrest saja. Bukan karena sakit, tetapi lebih daripada dominasi kemalasan. 

Medsos pada galibnya menjadi sarana efektif untuk melihat dunia yang tak terbatas. Membunuh waktu, menjangkarkan sepi, dengan menjelajah informasi dari segala arah. Meskipun tetap memiliki resiko tersendiri.

Setidaknya ketika melihat, membaca dan mendengar postingan yang bermunculan dari berbagai ragam gaya itu. Sedikit banyak menyusup secara laten dalam pikiran dan perasaan. 

Keterlibatan emosional itu pastilah. Bukan sok sentimentil, impulsif, baper ato kepo, tapi lebih pada kesadaran responsif yang sungguh luar biasa dasyatnya menggedor-gedor nalar. Semisal semenjak pilpres 2014 dilanjut Pilgub DKI 2017 lalu. Ketika posisi sosial menjadi frontal head to head. Masing-masing memiliki semangat kebenarannya sendiri diantara para pengusung kepentingan yang saling berebut pengaruh. 

Bujuk rayu dengan beraneka macam retorika. Begitulah pranata Medsos yang terbuka dan sepenuhnya belum secara tegas berkode etik. Saling mempengaruhi, saling menyandera, saling membangun aksi yang pasti memunculkan reaksi. Dan yang tak kalah serunya adalah multiple efek domino yang menjadi mata rantai yang tidak bisa diputus begitu saja. 

Persis seperti permainan kartu (playing cards)  remi dan domino. Lawan main mengeluarkan suatu kartu yang lain harus mengikuti sekaligus merubah arah permainan. Saling memancing, mengintai, menimblas dan sebagainya. Yang tidak lain saling bertujuan memenangkan permainan. Tetapi justru dari situlah sementara waktu terjadi proses katarsis, pelepasan kegelisahan, galau, ketidak puasan, kebenciaan ataupun kesenangan, stress, marah, tentang apapun. Dunia sudah sedemikian terbuka ketika orang ingin mengetahui dan diketahui orang lain. Meskipun semua itu bisa jadi semu namun nyata. 

Semenjak kehadiran medsos, pola, gaya hidup dan relasi manusia memang bergeser. Terkadang pengadilan sosmed mengabaikan presumtion of innocenct, terlalu cepat menetapkan status terduga, tersangka, terdakwa dan terpidana. 

Respon Medsos itu lebih kejam daripada kritik. Maka harap maklum jika kini, tradisi kritik mulai kendur. Selain lebih enakan berceloteh, ngenet. Sebagaimana medsos telah menjadikan permisif sekaligus submisif diyakini penghuninya. 

Jika waktu dapat diputar, sepertinya ingin kembali memulai dari awal, memperbaiki kesalahan yang pernah dibuat. Waktu yang mensejarah, berada dalam siklus hidup manusia. 

Untuk lebih hati-hati menemukan jelajah sepektrum yang lebih luas. Mencari kedalaman horizon sampai pada dasar dimensi yang subtil. Kesadaran manusiawi yang esensial. Bahwa sebaik apapun kemajuan teknologi subtansinya adalah untuk memudahkan kehidupan. Sedangkan manusianya selama masih sama, tetap saja berada dalam konstruksi nilai-nilai sosial yang diciptakannya sendiri. Sebagai kelengkapaan naluri genetis yang dudah dimandatkan secara alami dan Ilahiah. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun