Dalam sejarahnya, kepopuleran kopi Jawa terus melesat hingga akhir abad 19. Sehingga dalam kurun waktu 2 abad, Jawa berkembang menjadi produsen ko-pi terbesar di dunia. Dari kesunyian kebun-kebun kopi di tanah air, aroma dan cita rasa kopi Jawa telah sampai ke gerai-gerai kopi di seluruh dunia.
Ada sebuah buku yang cukup menarik yang mengupas tentang kopi Jawa, yaitu The Road to Java Coffe yang ditulis oleh Prawoto Indarto. Buku tersebut bercerita tentang perjalanan kopi dari pulau Jawa sampai pada distribusi ke seluruh dunia pada akhir abad ke-18. Sebagai produk, kopi Jawa adalah brand yang sangat populer sampai-sampai kata “jawa” dapat menggantikan kata “kopi”. Buku ini mendokumenta-sikan bagaimana bangsa Indonesia seharusnya bangga pada kopinya sendiri.
Pada tahun 1726, kopi Jawa telah menguasai pasar Eropa. Hal ini terjadi jauh sebelum masyarakat dunia mengenal kopi Brazil, Guetemala, dan India. Namun pada akhir abad-18 banyak perkebunan kopi di Jawa diserang hama yang cukup merontokkan produksi kopi Jawa saat itu. Sebagai akibatnya persediaan kopi di Jawa hampir habis dan kekosongan ini dimanfaat-kan oleh kopi dari negara lain untuk mengisi pasar Eropa dan Amerika Serikat.
Keunggulan rasa kopi Jawa terletak pada aroma hutan yang dimilikinya, rasanya yang manis dan lembut. Beberapa diantara kopi Jawa yang sudah ter-kenal seperti Mocha Java, Kopi Java Prime, Kopi Java Preanger, dan Kopi Javaco. Saat ini kebanyakan perke-bunan kopi di Jawa dikuasai oleh PTPN yang mene-ruskan tradisi kopi Jawa yang sudah mendunia.
Kopi Jawa dulu menjadi primadona yang diang-kut dari perkebunan dataran tinggi melalui jalan Raya Pos (De Grote Postweg) untuk diekspor ke Eropa. Kopi Jawa saat itu adalah salah satu primadona seperti kina, tebu, teh, dan karet yang kini justru semakin surut pamornya karena sistem budidaya pertanian yang coba sana-sini sehingga kehilangan fokus.
Bermula dari Tanam Paksa
Kejayaan kopi Jawa bermula dari penerapan tanam paksa (Cultuurstelsel) pada masa Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833). Dalam sistem tanam paksa pemerintah kolonial mewajibkan petani mengalokasikan seperlima lahan tanaman untuk pasar Eropa, yaitu kopi, tebu, nila, teh, dan tembakau.
Tak ayal, eksotisme Jawa telah lama dike-nal di dunia Barat terutama lewat hasil buminya yang terkenal yakni, kopi. Telah dakui bahwa kopi Jawa dari jenis Arabica atau pun Robusta memiliki kualitas premium di dunia. Tidak sembarangan memang untuk dapat memperoleh kopi Jawa dengan kualitas premium. Biji kopi harus disimpan lima tahun untuk jenis Robusta dan delapan tahun untuk kopi Arabica untuk selanjunya diproses demi mendapatkan cita rasa terbaik. Dari proses tersebut, dari 100 kg biji kopi (berry) kering, akan didapat sekitar 80 kg bubuk kopi yang bebas dari rasa masam.
Untuk memperoleh kualitas terbaik, dalam memasak kopi Jawa pun tidak boleh menggunakan sembarangan kayu, tapi harus menggunakan kayu po-hon karet dan disangrai dalam sebuah adah berbentuk globe. Namun, saat ini banyak pengusaha kopi yang tidak mematuhi kaidah teraebut yang hanya mengejar omzet.
Dewasa ini memang pamor kopi Jawa tidak semoncer di masa lalu. Berbagai pihak kini sedang berupaya mengembalikan pamor dan citra kopi Jawa dengan berbagai cara.