Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Neuropolitik: Peta Politik Pilpres 2024

30 Desember 2023   20:18 Diperbarui: 1 Januari 2024   15:48 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, Sabtu, 30 Desember 2023. Berangkat dari diskusi setahun yang lalu dengan pakar ilmu komunikasi politik; Prof. Effendi Gazali, bahwa pendidikan politik di Indonesia masih sangat diperlukan. Pertanyaannya; bagaimana mau berkembang dengan baik, kalau di setiap wag (whatsapp group), atau ruang diskusi lainnya dilarang membicarakannya. Walaupun maksudnya baik; untuk menghindari potensi konflik, namun ternyata secara jangka panjang berdampak buruk bagi negara ini, yang dikenal sebagai istilah "stupidity in politics" (Dexter, 1963; Otobe, 2021).

Mungkin diskusi politik praktis yang terus menerus bersitegang itu yang perlu dihindari atau setidaknya dikurangi. Tidak dilarang secara mutlak untuk dibicarakan, namun belajar berkomunikasi politik yang baik, yang santun, elegan dan tanpa menyakiti pihak lain. Proses pembelajaran komunikasi politik positif ini yang diperlukan untuk diedukasi dan dikembangkan.

Beberapa minggu lagi pemilihan presiden dan wakilnya akan dilakukan. Tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024. Pembicaraan politik tampaknya hampir-hampir tak bisa dihindarkan. Jangan sampai apriori, anti politik, bahkan menjadi golput. Terutama generasi muda, karena tidak berjalannya proses pendidikan politik yang benar. Faktor lainnya; para pemimpin atau tokoh, dan praktisi politiknya mungkin tidak memberikan contoh yang baik. Sehingga mereka muak dan alergi terhadap barang ini. Ingat MNS (mirror neurons system) otak manusia kita sangat aktif bekerja.

Kalau kita bersabar dan mau berpikir ulang kembali dengan jernih, ternyata "politics is beautiful." Hal itu akan dirasakan ketika kita ingin "open mind," dan mencoba mempelajarinya dari berbagai sudut pandang. There is another way of doing politics.

Perbedaan signifikan dengan situasi dan kondisi masa kampanye 2 pilpres sebelumnya, adalah waktunya yang lebih panjang. Ibarat lari seperti marathon. Dampak buruknya terpolarisasi, eksesnya masih ada segelintir orang yang masih belum bisa "move on." Sedangkan pilpres 2024 ini, waktunya relatif pendek, hanya memiliki 4 bulan efektif dari penetapan nomor urut capres dan cawapres. Seperti lari sprint, jarak pendek 100 meter, gawang ke gawang lapangan sepak bola. Tidak hanya terbesit-besit, tapi tersayat-sayat pilihan kata yang lebih pas. Lebih perih rasanya, seperti luka terkena jeruk nipis, dan mungkin lebih kasar 'mainnya'. Namun, jangan sampai segala cara dihalalkan.

Neurosains, Otak dan Politik

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi dan digital, disiplin ilmu neurosains mulai berkembang pada awal abad ke-20 dengan penemuan signifikan dalam anatomi dan fisiologi saraf. Pertumbuhannya dipercepat oleh kemajuan teknologi pencitraan otak dan pendekatan interdisipliner, seperti dalam "Decade of the Brain" pada 1990-an. Perkembangan ini terus berlanjut dengan cepat, memanfaatkan kontribusi dari berbagai bidang ilmu dan menghasilkan wawasan baru tentang fungsi otak dan sistem neurons (sistem saraf).

Beberapa tokoh perintis neurosains seperti; Santiago Ramón y Cajal, Sir Charles Sherrington, Wilder Penfield, Eric Kandel, dan Rita Levi-Montalcini. Perkembangan neurosains melibatkan kolaborasi dan kontribusi dari banyak ilmuwan dan peneliti, serta tokoh-tokoh ini mewakili hanya sebagian kecil dari pantheon ilmuwan yang berperan dalam membangun dasar pengetahuan tentang sistem neurons otak kita.

Di dunia ilmiah, otak manusia tidak lagi dianalogikan sebagai "black box" yang hanya bisa direka-reka dari luar. Cara kerja dan mekanisme otak telah dapat dipelajari melalui teknologi alat-alat pemindai otak. Pikiran dan perasaan seseorang dinyatakan sama-sama diproduksi di dalam otak kita. Motivasi, kecenderungan berpikir, bersikap, mengambil keputusan serta berperilaku seseorang, jauh lebih mudah dipetakan dan dianalisis dengan bantuan kemajuan teknologi dan ilmu ini.

Beberapa alat pemindai otak yang umumnya digunakan oleh para neurosaintis dan ilmuwan melibatkan; MRI untuk struktur, fMRI untuk aktivitas fungsional, PET untuk aktivitas metabolik, CT untuk gambaran struktural, EEG untuk aktivitas listrik, MEG untuk aktivitas magnetik, NIRS untuk oksigenasi darah, dan DTI untuk konektivitas serat saraf.

Otak Politik adalah penyelidikan inovatif mengenai cara kerja pikiran, cara kerja otak, dan apa pengaruhnya terhadap alasan kandidat menang dan kalah dalam pemilu. Ilmuwan dan psikolog Drew Westen telah mengeksplorasi teori pikiran yang secara substansial berbeda dari gagasan yang tidak memihak yang dianut oleh sebagian besar psikolog kognitif, ilmuwan politik, dan ekonom. Gagasan tentang pikiran sebagai kalkulator keren yang membuat keputusan dengan mempertimbangkan bukti-bukti tidak ada hubungannya dengan cara kerja otak sebenarnya. Ketika kandidat politik menganggap pemilih tidak memihak dalam mengambil keputusan berdasarkan isu yang ada, mereka kalah.

Pemilu ditentukan di pasar emosi, pasar yang penuh dengan nilai-nilai, gambaran, analogi, sentimen moral, dan pidato yang mengharukan, di mana logika hanya memainkan peran pendukung. Banyak bukti yang menunjukan bahwa ada tiga hal yang menentukan cara masyarakat memilih, dalam urutan ini; a) perasaan mereka terhadap partai dan prinsip-prinsip mereka, b) perasaan mereka terhadap kandidat, dan c) jika mereka belum mengambil keputusan, perasaan mereka terhadap kebijakan kandidat.

Westen membalikkan analisis politik konvensional, dan penemuannya dapat mengubah aritmatika pemilu secara menyeluruh. Kita tidak dapat mengubah struktur otak, namun kita dapat mengubah cara kita memanfaatkannya. Dan... itu ternyata juga salah... Pernyataan "political attitude is hardwired in the brain" mengindikasikan bahwa sikap politik seseorang memiliki dasar atau korelasi yang kuat dengan struktur atau reaksi dalam otak mereka. Ini menyiratkan bahwa preferensi politik atau kecenderungan tertentu mungkin memiliki dasar biologis atau neurologis yang melekat, mungkin terbentuk oleh faktor genetik atau pengalaman awal dalam perkembangan individu.

Selain ingin berkuasa semata, motivasi untuk memimpin suatu negara bisa melibatkan ambisi, dorongan prestasi, empati, tanggung jawab terhadap rakyat, kebutuhan akan pengakuan, kepuasan pribadi, nilai-nilai pribadi, faktor neurosains seperti hormon dan proses otak, serta tujuan untuk mencapai perubahan sosial atau pembaruan. Kombinasi unik dari faktor-faktor ini memainkan peran dalam membentuk motivasi kepemimpinan.

Dalam konteks psikologi, istilah "haus kekuasaan" dapat merujuk pada dorongan seseorang untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan atau kontrol atas lingkungan dan interaksi sosialnya. Dari sudut pandang neurosains, dorongan ini dapat terkait dengan aktivitas otak dan neurotransmiter yang memainkan peran dalam regulasi motivasi dan perilaku manusia terkait kekuasaan. Jika dorongan tersebut mengarah pada perilaku manipulatif, otoriter, atau merugikan orang lain, maka menjadi sangat berbahaya. Penting untuk memahami dan mengelola dorongan kekuasaan dengan bijak untuk meminimalkan dampak negatifnya.

Dari segi neurosains, keinginan untuk berkuasa dapat melibatkan berbagai aspek aktivitas otak dan neurotransmiter. Studi neuroimaging telah mengidentifikasi bahwa beberapa area otak, seperti prefrontal cortex (PFC), amygdala, dan nucleus accumbens, terlibat dalam pengambilan keputusan terkait kekuasaan dan pengalaman emosional terkait keberhasilan atau kegagalan dalam meraih kekuasaan.

Zat kimia otak seperti dopamin, serotonin, dan norepinefrin memiliki peran dalam mengatur motivasi, emosi, dan perilaku. Perubahan dalam keseimbangan neurotransmiter ini dapat memengaruhi dorongan seseorang terhadap kekuasaan. Hormon stres seperti kortisol juga dapat memainkan peran. Situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atau interaksi sosial yang melibatkan kekuasaan dapat memicu respons stres dan memengaruhi fungsi kognitif.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetika juga dapat memainkan peran dalam menentukan sejauh mana seseorang cenderung mencari atau menahan diri dari kekuasaan. Ada beberapa pertanyaan yang mengkhawatirkan pembaca, seperti apakah hal ini mengarah pada gangguan kejiwaan, bila dibiarkan dan berlanjut terus. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya sudah bisa terjawab dan dapat dijelaskan secara ilmiah. Perlu dicatat bahwa bidang neurosains masih terus berkembang, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami dengan lebih mendalam kaitan antara aspek neurobiologis dan perilaku keinginan berkuasa.

Penyebab haus kekuasaan diindikasikan dapat berasal dari berbagai faktor, termasuk kombinasi antara faktor genetik, pengalaman hidup, dan lingkungan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa predisposisi genetika dapat memainkan peran dalam menentukan sejauh mana seseorang memiliki kecenderungan terhadap keinginan untuk berkuasa. Pengalaman masa kecil, seperti hubungan dengan orang tua atau pengalaman sosial, dapat memengaruhi perkembangan karakteristik kepribadian, termasuk kecenderungan terhadap kekuasaan.

Orang yang mengalami trauma atau merasa terbatas dalam kehidupan mereka mungkin cenderung mencari kekuasaan sebagai cara untuk mengatasi rasa tidak aman atau kurangnya kontrol. Beberapa kondisi psikologis, seperti gangguan kepribadian tertentu, dapat berkontribusi pada dorongan kekuasaan yang berlebihan. Lingkungan sosial dan budaya tempat seseorang tumbuh dapat memainkan peran dalam membentuk nilai-nilai dan norma yang memengaruhi keinginan untuk berkuasa. Penting untuk diingat bahwa keinginan untuk berkuasa bersifat kompleks dan multifaktorial, dan setiap individu dapat memiliki kombinasi faktor yang berbeda. Faktor-faktor ini saling berinteraksi dan membentuk pola perilaku seseorang terkait kekuasaan.

Beberapa solusi untuk mengelola dorongan kekuasaan yang berlebihan melibatkan kombinasi pendekatan psikologis, sosial, dan pribadi. Seperti; pertama, refleksi pribadi; individu yang merasa haus kekuasaan dapat memulai dengan merenung tentang motivasi mereka dan mencari pemahaman mendalam tentang diri mereka sendiri. Proses refleksi ini dapat membantu mereka mengidentifikasi akar dorongan mereka. Kedua, pembelajaran empati; meningkatkan kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain dapat membantu mengurangi perilaku yang dominan atau kurang empati. Ketiga, pencarian dukungan psikologis; konseling atau terapi psikologis dapat memberikan wadah yang aman untuk mengeksplorasi masalah kekuasaan dan mengembangkan strategi untuk mengelolanya.

Keempat, pendidikan dan kesadaran; kesadaran akan dampak negatif dari perilaku haus kekuasaan dapat membantu individu mengambil langkah-langkah untuk mengubah pola tersebut. Kelima, pengembangan keterampilan kepemimpinan positif; mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang positif dan memotivasi orang lain dapat membantu mengarahkan dorongan kekuasaan ke arah yang konstruktif. Keenam, bersedia menerima umpan balik; bersedia menerima umpan balik dari orang-orang di sekitarnya dapat membantu individu menyadari dampak perilaku mereka dan memotivasi perubahan.

Terakhir, ketujuh, keseimbangan kehidupan pribadi; mencari keseimbangan dalam kehidupan pribadi dengan fokus pada hubungan interpersonal, kebahagiaan, dan kepuasan dapat membantu mengurangi ketergantungan pada kekuasaan sebagai sumber utama kepuasan. Harap dicatat bahwa solusi yang efektif dapat bervariasi tergantung pada situasi dan karakteristik individu. Jika seseorang merasa kesulitan mengelola dorongan kekuasaan mereka, berkonsultasilah dengan profesional kesehatan mental untuk panduan yang lebih khusus dan mendalam.

Analisis Peta Ilmiah Politik 

Dari pengamatan penulis dan diskusi di beberapa wag, setidaknya membuahkan hasil yang memunculkan kecenderungan-kecenderungan konklusif. Walaupun memiliki banyak keterbatasannya; selain menggunakan asumsi-asumsi pribadi yang masih sangat subyektif, juga masih banyak faktor di luar pengamatan yang sangat mungkin berbeda dengan realitanya. Kabar baiknya; penulis bukan pelaku, bukan praktisi politik, dan bukan pendukung, serta bukan timses atau tim pemenangan salah satu paslon (pasangan calon). Penulis hanyalah salah seorang calon pemilih seperti kebanyakan para pembaca budiman di sini. Sehingga dapat meminimalis bias yang mungkin terjadi.

Melalui teori-teori, temuan-temuan dan kajian-kajian neurosains yang ada sebelumnya, kita dapat memadukan serta mengintegrasikannya menjadi latar belakang dalam membuat pemetaan semacam “political neuroscientific mapping analysis.” Kita dapat mengadopsi terutama teori-teori seperti; kecenderungan fungsi otak kiri dan kanan dari Roger Wolcott Sperry (1913-1994), konsep triune brain oleh Paul Donald MacLean (1913-2007), pendekatan sistem 1 fast thinking dan sistem 2 slow thinking dari Daniel Kahneman (1934-now), dan konsep the whole brain yang ditemukan oleh Ned Herrmann (1922-1999), serta konsep emergenetics dari Geil Browning (1942-2023).

Melalui pemetaan yang menggunakan basis pengetahuan tersebut, dari ketiga paslon, kita dapat mencoba membuat semacam analisis sederhana yang menggali masing-masing kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Serta ketiganya sama-sama memiliki kans untuk menang. Kemudian kita dapat memberikan semacam strategi implikasinya untuk masing-masing ‘kubu’ ketiga paslon tersebut, minimal program-program pelatihan dengan 3 konsep yang berbeda untuk masing-masing implementasinya.

Dari hasil pengamatan sementara, pendekatan konsep yang diusulkan menggunakan alat analisis dimaksud adalah dengan membaginya ke dalam 3 daerah (three analysis area) dalam pemetaan. Penulis memberikan nama ketiga area analisis tersebut dengan istilah; a) HOTS position, b) MOTS position, dan c) LOTS position. Kita mampu merancang masing-masing modul itu untuk membedakannya. Posisi HOTS adalah proses berpikir yang didominasi dengan keterampilan higher order thinking skills, dan LOTS lebih banyak melibatkan lower order thinking skills. Sedangkan posisi MOTS middle order thinking skills merupakan interplay dari keduanya. Ketiga sistem berpikir sama baiknya, dan sama-sama penting (the whole brain approach).

Rincian pengamatan subyektif yang dimaksud sebagai berikut; paslon nomor 1 lebih cenderung pada posisi HOTS, paslon nomor 2 lebih antagonis dari paslon sebelumnya dengan kedudukannya di posisi LOTS. Sedangkan paslon nomor 3 sebaiknya memilih posisi di antaranya atau posisi MOTS. The best performance, yaitu mereka yang menggunakan masing-masing strategi dengan benar sesuai masing-masing SWOT analysis-nya. Mereka yang memainkan perannya (rule and role play) dengan tepat sasaran. The worst performance, adalah mereka yang salah memainkan peran dan keliru dalam menerapkan strateginya. The great performance, bila mereka akhirnya bersatu dan berkolaborasi saat pasca pilpres nanti.

Dampak yang paling buruk (the worst-case scenario) ketika masing-masing kelompok semakin solid. Karena 'kecerdasan bersama' (kolektif atau kolegial) menimbulkan 'keegoisan bersama'. Hal tersebut yang diindikasikan terjadi selama ini. Contoh kasus; seperti program IKN yang seharusnya bukan milik sekelompok orang, tapi merupakan proyek nasional – proyek bersama. Semua rakyat Indonesia harusnya punya rasa memiliki yang sama (KUMBA 25/11/2023). Oleh karena itu, di penulisan-penulisan sebelumnya, penulis selalu menawarkan untuk meningkatkan 'kecerdasan kolaboratif' sebagai penggantinya. Tepatnya melalui pendekatan collaborative intelligence 1.0 (human to human).

HOTS lebih banyak melibatkan organ otak PFC kita yang banyak berfungsi dalam pengambilan keputusan (executive function). Tiga besar fungsi utamanya, yaitu; working memory, inhibitory control, dan cognitive flexibility. Sehingga HOTS cenderung lebih rasional dan berkesadaran tinggi, yang melibatkan jejaring central executive network (CEN). CEN berperan dalam mengoordinasikan dan mengelola sumber daya kognitif saat melibatkan diri dalam tugas-tugas berpikir tingkat tinggi. CEN umumnya terkait dengan model kognitif yang dikenal sebagai Model Komponen Bekerja Memori Alan Baddeley. Profesor Alan Baddeley, seorang psikolog Inggris, memperkenalkan model ini pada tahun 1974 bersama dengan rekan-rekannya, Graham Hitch dan Sue Gathercole. Hubungan CEN dan HOTS ini, seperti; a) pengaturan sumber daya kognitif, b) pemrosesan informasi kompleks, c) perencanaan dan pengawasan, serta d) pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.

Kekuatan posisi HOTS yang slow thinking ini berkecenderungan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan pemecahan masalah, kontrol diri dan pengelolaan emosi, kemampuan perencanaan yang baik, fleksibilitas kognitif, kepekaan sosial dan empati, efisiensi pemrosesan informasi, motivasi untuk pembelajaran, serta kedisiplinan dan ketekunan.

Di sisi lain, bila HOTS tidak kelola dengan baik akan berpotensi memiliki kelemahan, seperti: overthinking, ketidakmampuan untuk beradaptasi, kecenderungan perfeksionisme, kurang fleksibilitas dalam berpikir, keterbatasan kreativitas, risiko stres dan kecemasan, tidak efisien dalam tugas rutin, serta ketidakseimbangan dalam hidup.

Sedangkan LOTS itu kan lower brain, reptilian brain, lizard brain, old brain, crocodile brain atau croc brain, dan masih banyak lagi nama lainnya termasuk survival brain. Pilihannya hanya; “hit or run,” atau bertempur atau mati, dan 'harus menang.' "We have no choice anymore !" Secara tidak langsung bisa dianalogikan begitulah default-nya (default mode network).

LOTS itu dengan didominasi fungsi organ amigdala, sistem limbik dan batang otak, yang kecenderungannya lebih mengutamakan “fast thinking” dan aksi cepat, tindakan jangka pendek bukan konsep awang-awang. Lebih banyak memberikan bukti jangka pendek bukan janji-janji muluk jangka panjang. Hal ini terefleksikan dari usulan-usulan programnya, seperti; a) bagi-bagi bansos atau bantuan sosial, sembako dan uang, serta b) program makan siang gratis. Jangka pendek efektif dan nyata sekali, namun belum tentu dengan jangka panjang, bisa jadi Indonesia malah berpotensi dijajah kembali. Namun hal itu bukan berarti tidak diperhatikan, tetapi akan dipikirkan di kemudian hari.

Langkah-langkah LOTS dalam upaya-upaya memperbaiki dan meningkatkan ekonomi juga terlihat, yang diprioritaskan terutama jalan pintas yang paling efektif dan cepat adalah menaikan pajak. Alibinya; tidak membidik di dalam kebun binatang yang sama, namun kebun binatangnya yang dibesarkan. Berbeda dengan HOTS, yang memprioritaskan kepentingan rakyat untuk didahulukan dan dimuliakan. Bagi mereka rakyat tidak bisa dianalogikan bahkan lebih ekstrim tidak boleh disamakan dengan binatang. Padahal cara memburu dan membidiknya lah yang harus ditingkatkan. Masalah seperti underground economy dan penegakan hukum menjadi prioritas yang harus diperbaiki. Bagaimana cara mengoleksi pajak dan kepengurusan pengelolaannya yang dibenahi, jangan malah menjadi sarang koruptor. Bukan besar prosentasi pajaknya yang dinaikan dan seterusnya.

LOTS memiliki kharateristik dengan kekuatan-kekuatannya, seperti; introspeksi yang mendalam, emosionalitas yang kuat, empati yang tinggi, kreativitas dan imajinasi yang kuat, daya resiliensi emosional yang baik, pemikiran intuitif, pentingnya hubungan sosial, serta kecenderungan refleksi dan kontemplatif.

Sebaliknya LOTS mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti; ketidakmampuan untuk fokus pada tugas spesifik, tingkat kecemasan yang tinggi, keputusan yang terlalu dipengaruhi oleh emosi, kesulitan dalam menanggapi perubahan, kurangnya analisis mendalam, tidak efektif dalam menangani tugas kompleks, ketergantungan pada kreativitas tanpa implementasi, dan potensi untuk merasa terlalu berat.

Berbeda dengan MOTS yang memanfaatkan sirkuit listrik otak yang lebih dikenal dengan istilah “salience network” (SN). Konsep SN dalam otak pertama kali diperkenalkan oleh dua peneliti bernama Seeley dan koleganya pada tahun 2007. Dalam penelitian mereka yang diterbitkan di jurnal ilmiah "Neuron," mereka membahas tentang jaringan otak yang terlibat dalam mendeteksi dan mengarahkan perhatian terhadap stimulus yang signifikan atau salient. Jaringan ini kemudian dikenal sebagai SN dan pemahaman terhadap perannya dalam mengarahkan perhatian dan mengelola respons emosional terus berkembang sejak saat itu.

Jaringan saliens ini melibatkan beberapa struktur otak yang bekerja bersama untuk mendeteksi dan mengarahkan perhatian terhadap stimulus yang signifikan. Komponen utama jaringan ini biasanya melibatkan; pertama, insula yang terletak di dalam otak dan terlibat dalam pemrosesan informasi sensorik dan pengaturan emosi. Kedua, gyrus cinguli anterior merupakan sebuah bagian dari korteks serebral yang terlibat dalam pengaturan perhatian dan respons emosional. Ketiga, amigdala yang terlibat dalam pemrosesan emosi, terutama respon terhadap stimulus yang dianggap penting atau berpotensi berbahaya. Pekerjaan bersama dari struktur-struktur ini membentuk SN dan memainkan peran penting dalam mengarahkan perhatian dan mengelola respons terhadap stimulus yang dianggap penting atau salient dalam lingkungan.

Beberapa sifat atau karakteristik yang mungkin terkait dengan kecenderungan SN yang tinggi melibatkan; a) perhatian yang kuat pada stimulus penting, b) respons emosional yang intens, c) sensitivitas yang tinggi terhadap ancaman, d) kesulitan mengalihkan perhatian, dan e) perilaku respon cepat.

Agar dapat memperbesar peluang untuk menang, paslon nomor urut 3 sebenarnya bisa memilih 'strategi tengah,’ yaitu dengan mengoptimalkan fungsi otak lobus insula (OLI). OLI terlibat dalam pengolahan informasi emosional dan pengambilan keputusan. Pemilihan antara perubahan atau melanjutkan program yang ada dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk konteks organisasi, kondisi eksternal, dan kebijakan yang ada. Pemanfaatan positioning OLI dapat membantu pemimpin merespons secara emosional dan merenungkan implikasi keputusan pada hubungan sosial dan tim. Namun, keputusan akhir akan dipengaruhi oleh kombinasi logika, nilai-nilai, dan keterampilan kepemimpinan pemimpin tersebut.

Jadi kalau kita rangkum dari rincian penjelasan di atas, masing-masing memiliki kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangannya. Strategi implikasi dan implementasi taktikalnya dapat menyesuaikan masing-masing SWOT tersebut. Kegagalan atau kekalahan, serta hasilnya tidak sesuai, dikarenakan salah menerapkan strategi dan tidak memaknainya dengan baik. Kelemahan pada umumnya; biasanya penerapan strategi implikasi ini tidak konsisten pada implementasinya. Sehingga para penasihat timses dan tim pendukungnya justru memberikan advis yang keliru. Mereka malah memainkan peranan kubu lain, dengan mencoba memperbaiki positioningnya. Bereksperimen dan mencoba-coba menggeser positioningnya, terlihat ‘wanna be others.’ Akhirnya karakternya gagal terbentuk.

Sebagai komparasi, kita dapat melihat pengalaman empiris dua kali pilpres sebelumnya di AS. Beberapa bulan sebelumnya, banyak pengamat politik handal AS (pilpres kedua sebelumnya) telah memprediksi justru memang Donald Trump (DT) yang menang. Posisi DT ini dipertajam menjadi "si bad guy". Dalam meruncingkan positioningnya, timnya bekerja secara konsisten, persisten, dan penuh komitmen dalam menjalankan program-program kampanye dan woro-woronya. Simpangan bandul semakin lebar, maka energi potensialnya semakin besar.

Last minute, dekat-dekat pemilihan, pihak DT membongkar keburukan-keburukan serta membuka satu per satu kartu trufnya Clinton yang sebelumnya tidak pernah mereka ungkapkan. Memang itu strategi jitu yang cocok dengan positioningnya. Sehingga tidak hanya potential swing vooters, pemilih AS yang umumnya didominasi rasional banyak yang banting setir untuk memilih DT. Strategi ini memanfaatkan "working memory" di kehandalan otak PFC para pemilihnya. Sehingga DT lah keluar menjadi pemenangnya. Tentunya, hal ini di luar isu proses penghitungan suara yang curang atau tidaknya.

Karenanya, implikasi untuk paslon nomor 2, memang harus menggenjot program jenaka, jogedan yang menghibur hati pelipur lara rakyat. Mempertajam positioning agar peluangnya menjadi lebih besar untuk menang. Kubu lain salah melihatnya hanya sebagai strategi perangkulan generasi yang notabenenya jumlah populasi terbesar. Namun, ternyata secara distribusi normal, umumnya tatanan masyarakat kita memang seperti itu. Program lucu-lucuan ini menjadi efektif untuk menjadikan paslonnya sebagai ‘favorable candidate.’ Bagi calon pemilihnya menyenangkan, selain program kampanye dengan membagi-bagi uang, bansos dan sembako.

Sebaliknya, paslon nomor 1 sebaiknya jangan latah dengan membuat program taktikal agar juga terlihat sebagai paslon yang imut dan kocak. Hal ini justru melemahkan karakternya. Dengan positioning sekarang sudah sangat baik, sebagai paslon yang kredibel dengan integritas yang tinggi. Biar saja mengandalkan track record dan prestasi-prestasi nyata sebelumnya. Tantanggannya; jangan sampai ada isu negatif (bukan hoax, harus data sesungguhnya) informasi yang melemahkan positioning, terutama pada detik-detik injury time seperti yang diterapkan langkah strategi oleh timsesnya DT tadi di AS.

Demikian pula dengan paslon nomor urut 2. Jangan malah ikutan dengan “bermain data.” Karena akan terlihat ‘culun’ dan tidak konsisten. Masyarakat semakin pintar sekarang, tidak mudah menerima hasil-hasil survai yang menurut subyektif pribadi mereka umumnya menilai penyedia survai akan membela yang bayar. Sesungguhnya tidak hanya di bidang politik saja. Kelemahan riset industri (bukan penelitian akademisi) telah banyak dipersepsikan sebagai penelitian yang menyesuaikan dengan kebutuhan klien. Upaya klien untuk menguatkan intuisi dalam pengambilan keputusan. Sehingga informasi-informasi yang dihasilkan dari hasil studi diharapkan menguatkan pendapat mereka. Kelemahan lainnya, di Indonesia belum berjalan optimal bahkan mungkin belum ada lembaga yang mengawasi, yang pada umumnya di negara-negara maju merupakan fungsi perguruan tinggi dan badan pengawasan yang independen (independence research auditor).

Resiko lain terbesar dari paslon kedua yaitu; karena tidak ada pilihan selain harus menang, dan bila tidak terealisir akan dikenang selamanya atas keburukan-keburukannya. Dia akan dikenang sebagai “si buruk” selamanya. DT memang mengungguli Hillary Clinton, namun kalah dengan Joe Biden yang dipersepsikan sesama senior yang bad guy. Begitu pula dengan paslon pertama, karena popularitas dan elektabilitasnya tidak menjadi prioritas andalan programnya, sementara masyarakat kita cenderung hanyut dengan ketidaksadarannya. Ingat politik adalah pasar emosi. Masyarakat yang lapar cenderung emosional (amygdala hijack).

Kelemahan HOTS lainnya; di balik kecanggihan otak PFC, memiliki limitasi pula, yaitu keterbatasan kapasitas berpikirnya sehingga mensyaratkan aliran listrik yang membawa informasi-informasi keputusan mengharuskan mengantri berurutan atau sekuensial, tidak secara paralel. Oleh karena itu daya tahan banjir informasi akan menjadi keterbatasannya (cognitive overload), walaupun sekaligus menjadi kekuatan loyalitas pendukungnya, karena otak akan subyektif memfilter informasi-informasi yang masuk yang hanya disukai dan mendukung saja. Tiga filter utama pengolahan informasi proses berpikir; RAS (reticular activating system) di batang otak, thalamus – transceiver otak kita yang berfungsi sebagai “traffic manager”, dan terakhir working memory yang banyak mengandalkan bagian organ PFC otak kita terutama di dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC). DLPFC adalah area PFC yang berperan penting dalam pemeliharaan, manipulasi, dan pemrosesan informasi sementara dalam bekerja, yang memainkan peran kunci dalam pengelolaan informasi sementara.

Sementara MOTS, paslon nomor urut 3 dapat membesarkan peluangnya untuk keluar menjadi pemenang dengan mengoptimalkan strategi tengah yang disebutkan di atas sebelumnya. Strategi yang diterapkan seperti para surfer yang asyik berselancar di atas riak ombak kedua paslon lainnya. Dengan cerdiknya memanfaatkan hal-hal yang baik (saja) dari apa-apa yang telah dijalankan kedua palson yang ada – memodulasi kekuatan paslon nomor 3. Gampang-gampang susah. Karena bila salah melangkah, justru malah mem-boosting paslon lainnya. Kubu ini hanya menyempurnakan dari kekurangan dan kelemahan program kedua paslon lainnya.

Seharusnya effort-nya tidak terlalu besar, apalagi didukung oleh mesin partai pemenang kedua pilpres sebelumnya berturut-turut. Kesulitannya adalah bagaimana ‘menyetel’ keseimbangan atas penyempurnaan tadi, namun tidak secara berlebihan. Jangan sampai latah dan berubah posisinya, sehingga ‘wanna be others’ juga dan melemahkan karakternya. Sebaliknya, tantangan terbesar lainnya adalah berselancar di atas ombak tadi atau mati tergulung ombak dan tenggelam ke dasar lautan. Bisa diprediksi (sambil menguji konsep ini), di putaran pertama kecenderunganya akan menjadi peraih suara terbanyak, atau malah ekstrim tersisihkan. Sangat kecil kemungkinannya untuk menjadi ‘runner up’.

Limitasi, Kontekstual, dan Peluang Pengembangan Penelitian ke Depan

Pada akhirnya, penjabaran analisis di atas, walaupun menarik untuk digali lebih dalam dan dipraktikan serta diaplikasikan, namun masih memiliki beberapa keterbatasan. Setidaknya ada beberapa limitasi utamanya; a) perlu dilakukan studi-studi penelitian empiris agar dapat memperkuat hasil analisis tersebut, b) teori dan pendekatan konsep ini mungkin perlu kontekstual penyesuaian-penyesuainnya terutama adanya diversity, yaitu; perbedaan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, c) dampak pengaruh kemajuan teknologi, d) lintas generasi yang berbeda, dan e) perbedaan gender laki-laki dan perempuan.

Dalam pengambilan sampel untuk penelitian ke depan, baik secara kuantitatif dan kualitatif, perlu dipilih unit analisisnya. Baik level individu calon pemilih dan dipilih, level kelompok timses dan tim pemenangannya, level organisasi dan institusi partai serta koalisi partai pendukung. Jumlah sampel juga harus dipertimbangkan sehingga dapat digeneralisasi hasilnya. Selanjutnya disiapkan metodologi dan instrumen pengukurannya, agar validitas dan reliabilitasnya dapat dipertanggunjawabkan, sehingga diperoleh uji robustness yang baik yang dilakukan untuk mengetahui kekuatan dari suatu metode analisis agar dapat mempertahankan hasil analisa dengan adanya perubahan kecil pada kondisi pengujian.

Selain penelitian yang empiris, juga bisa dilakukan studi-studi evidence-based menggunakan alat pemindai dan pengukuran otak seperti; EEG, fMRI dan alat-alat neurosaintifik lainnya yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian eksperimental di labaratorium dan pengamatan fenomena di lapangan juga dapat memperkuat alur logika dan asumsi-asumsi subyektif, baik uji hipotesis maupun uji teori-teori yang ada.

Penerapan konsep neuropolitik di negara-negara berkembang memerlukan pertimbangan secara hati-hati. Sementara pemahaman neurosains dapat memberikan wawasan tentang aspek-aspek psikologis dan neurologis dalam pengambilan keputusan politik, harus diingat bahwa faktor-faktor lain, seperti konteks sosial, budaya, dan ekonomi, juga sangat penting.

Penting untuk memastikan bahwa pendekatan ini diintegrasikan dengan mempertimbangkan keberagaman masyarakat dan konteks lokal. Penekanan hanya pada aspek neurosains bisa mengabaikan realitas kompleks di negara-negara berkembang yang melibatkan masalah-masalah seperti ketidaksetaraan, akses terhadap pendidikan, dan isu-isu ekonomi.

Penerapan konsep neuropolitik perlu disesuaikan dengan konteks spesifik masing-masing negara, dengan memperhatikan perbedaan budaya, sosial, dan ekonomi untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya. Menariknya di negeri yang kita cintai ini, bila bingung (ambiguity) - baik pemain panggung politik maupun audiens penontonnya - karena belum mampu lagi berpikir secara rasional, emosional dan spiritual, maka berbondong-bondong mereka akan mengandalkan hal-hal mistis. Faktanya masih seperti itu, walau negara kita negara yang beragama dan pancasilais. Sehingga akan semakin jauh bila ingin dibuktikan secara ilmiah.

Masyarakat Indonesia memang memiliki kecenderungan untuk mempercayai hal-hal mistis dan spiritual. Kepercayaan pada hal-hal seperti dukun, kejawen, atau kepercayaan lokal dapat tetap kuat di tengah modernisasi dan perkembangan teknologi. Faktor ini dapat memengaruhi dinamika politik dan sosial di negara kita.

Penting untuk memahami bahwa kepercayaan pada hal-hal mistis sering kali menjadi bagian integral dari budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Dalam konteks politik, hal ini dapat memengaruhi pemilihan pemimpin, persepsi terhadap kebijakan, dan interaksi antara warga dan pemerintah. Penerapan konsep neuropolitik, jika dilakukan di Indonesia, perlu mempertimbangkan keberagaman ini dan mencakup pemahaman tentang nilai-nilai spiritual dan mistis yang melekat dalam masyarakat. Sensitivitas terhadap kepercayaan lokal dapat membantu membangun pendekatan yang lebih komprehensif dan dapat diterima oleh masyarakat.

Sebagai ekses dua pilpres sebelumnya, masalah terbelahnya dan polarisasi politik tidak dapat ditangani secara dangkal. Penelitian menunjukan bahwa keyakinan yang terpolarisasi ini sangat mengakar, dan berdampak pada cara orang memandang kata-kata politik. Memahami hal ini akan memengaruhi cara peneliti berpikir tentang intervensi potensial.

Seperti konservatisme, tidak ingin perubahan, hanya ingin meneruskan yang ada, terkait dengan rasa takut di otak (fearness). Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa mereka yang memiliki pandangan politik konservatif memiliki area otak yang lebih luas yang berhubungan dengan ketakutan dan kecemasan dibandingkan mereka yang berpandangan ingin perubahan yang berkelanjutan (continuous improvement).

Sebuah penelitian di University College London pada tahun 2010 menemukan bahwa mereka yang konservatif secara politik memiliki amigdala yang lebih besar, yaitu area otak yang terhubung dengan emosi, dan anterior cingulate yang lebih kecil – area otak yang terkait dengan keberanian dan memiliki pandangan positif. Penelitian yang awalnya dilakukan oleh aktor Colin Firth ini menemukan bahwa perbedaan politik dapat tertanam dalam struktur otak seseorang. Sebuah studi pada tahun 2013 juga menemukan bahwa pemilih konservatif (comfort zone) memiliki amigdala kanan yang lebih aktif, yaitu wilayah yang terlibat dalam respons defensif “lawan atau lari.” Sementara pemilih yang menginginkan perubahan menunjukan aktivitas yang jauh lebih besar di insula kiri, wilayah otak yang terkait dengan kesadaran sosial dan diri.

Sementara istilah "hard-wired brain" dalam konteks politik dapat merujuk pada kecenderungan bawaan atau pola pikir yang sudah tertanam kuat dalam otak seorang politisi. Hal ini bisa mencakup kecenderungan ideologis, kebijakan tertentu, atau cara pandang tertentu yang sulit diubah. Sudah banyak penelitian dan tulisan yang mengkaji konsep ini. Di antaranya; "The Neurobiology of Political Behavior: Neural Correlates and Implications,"  "Political Decision Making: Insights from Neuroeconomics and Cognitive Neuroscience,"  dan "The Influence of Neurobiology on Political Beliefs and Behavior."

Weton, Human Design dan Emergenetics

Fakta di Indonesia, selain hal-hal mistis, beberapa alternatif yang memperkaya wacana dan bahkan memengaruhi pengambilan keputusan, seperti kepercayaan (weton), pendekatan pseudosains (human design), dan pendekatan sains murni (emergenetics) dapat melengkapi dan mewarnai analisis profil ketiga paslon. Pertama, weton dalam kejawen merujuk pada hari kelahiran seseorang dalam kalender Jawa. Ini terbentuk dari kombinasi dua unsur: Pasaran (siklus lima hari) dan Wuku (siklus 30 hari). Weton dianggap memiliki pengaruh terhadap karakter dan nasib seseorang dalam kepercayaan tradisional Jawa.

Weton paslon nomor 1, Anies Baswedan, adalah Rabu Kliwon, lahir pada hari Rabu pasaran Kliwon, neptu 15, dan wuku Sinta. Menurut primbon Jawa, karakternya berwibawa, pemberani, pandai bicara, setia janji, dan beruntung dalam karir, bisnis, serta politik. Khodam pelindungnya adalah Kyai Ageng Selo, tokoh legendaris Mataram, yang memiliki ilmu kebal dan kesaktian tinggi. Weton Cak Imin adalah Senin Legi, lahir pada hari Senin pasaran Legi, neptu 9, dan wuku Sungsang. Karakternya cerdas, inovatif, kreatif, namun bisa keras kepala dan sulit menerima kritik. Anies dan Cak Imin memiliki persamaan dan perbedaan dalam weton, seperti neptu ganjil, wuku genap, pasaran Kliwon dan Legi. Anies memiliki khodam Kyai Ageng Selo, sementara Cak Imin tidak. Meski cocok berdasarkan weton, keberhasilan tetap bergantung pada niat, usaha, dan doa keduanya dalam memimpin Indonesia.

(sumber: https://intisari.grid.id/read/033938324/primbon-jawa-ungkap-makna-weton-anies-baswedan-dan-cak-imin-cocokkah-mereka-berpasangan?page=all).

Sedangkan weton paslon nomor 2, Prabowo dan Gibran Rakabuming, keduanya memiliki watak Kamarokan. Prabowo Subianto memiliki Kamarokan Sinaroja yang baik, berwibawa, dan cenderung bahagia. Orang dengan watak ini memiliki keberuntungan dalam perencanaan tindakan, keterbukaan terhadap peluang, dan keterampilan sosial tinggi. Meski demikian, mereka suka pamer dan ingin membuat orang kagum dengan kehebatan mereka. Meskipun terpaut umur banyak, Prabowo yang mudah bergaul bisa berkomunikasi baik dengan Gibran. Gibran, yang bijaksana dan mengayomi, bisa menyesuaikan diri dengan pengalaman luas Prabowo dalam berpolitik, militer, dan kehidupan. Gibran dapat belajar dari sosok yang telah mengalami berbagai pergolakan sejak Orde Baru.

(sumber: https://www.suara.com/lifestyle/2023/10/23/105036/hitung-hitungan-weton-gibran-rakabuming-dan-prabowo-subianto-cocok-enggak-ya).

Sementara untuk weton paslon nomor 3, Ganjar Pranowo, dengan Weton Senin Wage, yang merupakan weton langka dengan neptu 8. Orang dengan weton ini cenderung berapi-api dan memiliki karakter lakuning geni. Karakter harinya dipengaruhi oleh Senin, menunjukan sifat ikhlas, kebenaran, keadilan, dan gaya bicara tegas. Mahfud MD memiliki weton Senin Pon dengan neptu 11, masuk dalam kategori Sumur Sinaba yang menggambarkan sifat pengayom dan teduh.

(sumber: https://kabar24.bisnis.com/read/20231025/79/1707756/mengulik-weton-capres-cawapres-serta-perhitungan-dalam-kalender-jawa).

Kemudian, kedua, software Human Design, software yang sering digunakan di dalam acara serial webinar KUMBA (Kumpul Bahagia Alumni MMUI) untuk memprofilkan narasumber dan sekaligus menjadi ajang ice breaking pembuka acara. Software ini menggabungkan database astrologi, I Ching, Kabbalah, dan Chakra, menciptakan profil individual dengan elemen Tipe, Strategi, Otoritas, dan Pusat Energi. Ada 4 tipe utama manusia dalam Human Design: Generator dengan energi konsisten, Projector yang melihat dan memahami energi orang lain, Manifestor dengan energi langsung dan proaktif, dan Reflector yang sangat responsif terhadap energi sekitar. Manifesting Generator adalah tipe tambahan yang merupakan kombinasi Generator dan Manifestor. Human Design bersifat spiritual dan metafisika tanpa dasar ilmiah empiris, dan penerimaannya tergantung pada keyakinan dan pemahaman individu.

Analisis Human Design untuk Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo memberikan wawasan mendalam tentang karakteristik unik mereka dalam konteks pemilihan presiden 2024. Anies, seorang Generator, memiliki potensi sebagai pemimpin visioner dengan profil 4/6 Opportunist Role Model, memanfaatkan peluang dan menjadi panutan. Prabowo, Projector Advisor dan Orchestrator, memiliki potensi pandangan strategis dengan strategi yang sama, profil 3/5 Martyr Heretic, menunjukan sifat pemimpin dan pemberontak yang dapat menginspirasi. Ganjar, seorang Projector, menonjol sebagai Penasehat dengan strategi "Dikenali" dan "Diundang," profil 4/6 Opportunist Role Model, dan Incarnation Cross Right Angle Cross of The Unexpected. Analisis ini mempertimbangkan keunikan dan potensi masing-masing capres. (sumber: https://youtu.be/9hO3xvmvot0?si=SfsGr-JaY0Isadri).

Dengan adanya tersedia data weton dan human design ketiga paslon, serta tidak tersedianya profil emergenetics mereka, mengindikasikan bahwa secara umum Indonesia cenderung lebih irasional. Atau dengan kata lain, pendekatan ilmiah tidak serta merta menjadi suatu acuan utama dalam menganalisis dan proses pengambilan keputusan, konteksnya dalam memprofilkan ketiga paslon tersebut. Ketiga, Emergenetics dikembangkan oleh Dr. Geil Browning dan Dr. Wendell Williams. Mereka adalah pendiri Emergenetics International, sebuah perusahaan yang fokus pada pengembangan individu dan tim berdasarkan model Emergenetics. Sistem ini pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1990-an dan telah berkembang menjadi alat evaluasi kepribadian dan kecerdasan yang digunakan dalam berbagai konteks, termasuk pengembangan organisasi dan manajemen sumber daya manusia.

Emergenetics adalah model profil kepribadian dan kecerdasan yang mengintegrasikan neurosains, genetika, dan teori perkembangan manusia. Dibagi menjadi Behavioral and Thinking Attributes, profil ini membantu memahami cara individu memproses informasi dan berkomunikasi. Empat atribut preferensi kecenderungan berpikir, yaitu; analitikal, struktural, sosial, dan konseptual, serta tiga atribut preferensi kecenderungan berperilaku, yaitu; ekspresif, asertif, dan fleksibilitas. Setiap manusia memiliki 4 atribut berpikir dan 3 atribut berperilaku tersebut, namun porsi prosentase dan persentilnya berbeda-beda. Profil berpikir dan berperilaku ini memfasilitasi pemahaman preferensi dan kekuatan individu untuk kolaborasi efektif serta pengembangan diri yang optimal.

Kinerja ketiga paslon secara nalar akan lebih baik dan optimal ketika masing-masing pasangan mengetahui profil mereka, baik atribut berpikir maupun atribut berperilaku. Urutannya, mengetahui profil pribadi, mengetahui profil orang lain terutama paslonnya, terakhir bagaimana orang lain mengerti tentang kita. Sehingga akan mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif. Di dalam konsep pendekatan neuroleadership (Rock dan Ringleb, 2013), selain pemimpin menjadi fasilitator perubahan, juga harus mampu memimpin secara inklusif atau menyeluruh. Bila terpilih menjadi presiden dan wakil presiden harus bisa memimpin seluruh anak bangsa tanpa melihat apakah mereka sebelumnya menjadi pendukung atau memilih yang lain. Ketrampilan berkomunikasi sangat penting dalam kepemimpinan, dan meskipun tidak ada persentase pasti, banyak ahli setuju bahwa sekitar 80% dari waktu seorang pemimpin dihabiskan untuk berkomunikasi (Harvard Business Review). Kemampuan berkomunikasi yang baik membantu membentuk hubungan, menyampaikan visi, dan memotivasi tim, sehingga menjadi faktor kunci dalam keberhasilan kepemimpinan.

Ekonomi Bawah Tanah, Transformasi Digital, dan Indonesia Emas 2045

Kesuksesan pilpres dan pemilu dalam menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa ini menjadi penting dan sangat krusial. Begitu kesimpulan intinya, hasil diskusi salemba di acara “CEO Talks” MM FEB UI yang diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 2023 yang lalu. Pembicara utama adalah alumnus MMUI; Dr. Hariyadi Sukamdani dan alumnus FEB UI; Dr. Fithra Faisal Hastiadi, S.E., MSE., M.A.

Pemilihan Umum untuk Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD adalah solusi terbaik dalam menempatkan penyelenggara negara yang memiliki rekam jejak baik, dengan syarat Pemilu yang transparan dan bebas kecurangan. Pemilu seharusnya menjadi ajang adu gagasan untuk kemajuan negara, bukan adu kekuasaan. Pentingnya masyarakat mengawal Pemilu 2024 untuk menghindari potensi kecurangan dan memilah informasi yang akurat. Pemilihan anggota Kabinet oleh Presiden harus berdasarkan kompetensi dan meritokrasi, serta menghindari pola penempatan berdasarkan power sharing.

Penegakan hukum harus melibatkan semua sektor, termasuk penyelenggara lembaga peradilan, aparat penegak hukum, dan sektor swasta. Pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan intensif dengan menempatkan individu yang kredibel, berintegritas, dan kompeten. Reformasi di institusi penegak hukum dan lembaga peradilan harus dilaksanakan segera, termasuk pengundangan RUU Perampasan Aset Koruptor. Pengawasan terhadap sistem hukum dan aparatnya perlu ditingkatkan, serta menempatkan personil terbaik dan berintegritas di KPK, dengan menjaga independensinya dari intervensi penguasa.

Regulasi perlu diperbaiki dengan mengubah KPI APBN menjadi Output Performance Based, mempertimbangkan ICOR sebagai KPI, dan menerapkan Risk Impact Analysis dalam setiap kebijakan. Pemilihan pejabat publik harus didasarkan pada profesionalisme, transparansi, meritokrasi, dan kompetensi. Kebijakan ketenagakerjaan harus berbasis supply dan demand, fokus pada peningkatan kualitas, kompetensi, dan produktivitas. Kebijakan investasi harus menciptakan lapangan kerja formal dan menormalisasi net interest margin perbankan. BUMN diarahkan sebagai agen pembangunan, bukan bersaing dengan swasta. Kebijakan perpajakan ditujukan untuk mengatasi underground economy dan meningkatkan fungsi stimulan ekonomi. Swasembada pangan perlu diupayakan secara berkelanjutan, dan kebijakan hilirisasi industri harus mengutamakan substitusi produk impor dan peningkatan nilai tambah. Kebijakan energi harus fokus pada transformasi ke energi terbarukan. UU Cipta Kerja perlu dievaluasi dan disempurnakan, terutama terkait perijinan.

Outlook 2024 Indonesia menjanjikan pertumbuhan ekonomi pesat tergantung pada kepemimpinan terpilih, dengan peluang investasi yang luas di semua sektor, termasuk green economy (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan) dan blue economy (perikanan, pariwisata pantai, wisata bahari). Tantangannya adalah menerapkan regulasi investasi yang efektif. Indonesia, dengan populasi besar dan kekayaan SDA, menarik bagi investor. Sektor pariwisata, industri kreatif, pertambangan, energi terbarukan, elektronik, dan kesehatan memiliki potensi pengembangan yang tinggi.

Akar permasalahan dari stunting, gizi buruk, de-industrilisasi, pengangguran, kemiskinan dan lain-lain berasal dari keadaan ekonomi kita. Salah satu penyebab signifikan adalah besarnya underground economy, di dalamnya termasuk korupsi. Berdasarkan penelitian Kharisma dan Khoirunurrofik (2019), besar Underground Economy Indonesia adalah Rp 1.968 T atau 11.6% terhadap PDB berdasarkan harga berlaku tahun 2021. Estimasi BPS underground economy 8,3–10% PDB. Menurut Feige (1990), underground economy terdiri dari; illegal economy, unreported economy, unrecorded economy, dan informal economy.

Tantangan dan peluang ke depan agar kita dapat keluar dari perangkap “middle income trap,” salah satunya meningkatkan industri terutama di teknologi informasi dan digital. Namun Indonesia belum merumuskan dan mensosialisasikan cetak biru konsep dan standar transformasi digital seperti negara-negara maju, contoh: Industrial Internet untuk Amerika Utara, Industry 4.0 & 5.0 (Eropa), Smart Cities (Asia), Society 5.0 (Jepang), dan Made in China 2025 untuk China (Fukuyama, 2018).

Untuk menuju Indonesia Emas 2045, selain hal-hal di atas yang telah dijabarkan semua sebelumnya, program lainnya yang terintegrasi dan secara komprehensif harus dijalankan menjadi prioritas utama untuk para pemimpin nanti. Untuk meningkatkan ekonomi selain underground economy dibenahi, juga meggunakan pendekatan-pendekatan termasuk behavioral economics dan neuroeconomics. Tidak cukup pendekatan makro dan mikro saja, namun termasuk microfoundation (brain science dan neuroscience), yakni; untuk memintarkan semua sumber daya manusianya, seperti cita-cita bangsa ini yang tertuang di dalam Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, salah satunya adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” (BIS)

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun