Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, Senin, 1 Mei 2023. Sesuai dengan judulnya, kata 'menyikapi' memiliki makna yang luas sebenarnya. Tidak sekedar merespon secara pasif, namun bukan juga terlalu berlebihan (overreactive). Kecenderungan masyarakat sudah semakin cerdas, terutama dengan kemajuan teknologi informasi yang mengijinkan mereka memiliki akses informasi yang sama.
Namun, selain permasalahan literasi baca kita yang masih perlu ditingkatkan, banjir informasi juga mengakibatkan ketidakmampuan otak pfc (prefrontal cortex) kita untuk bisa memprosesnya dengan baik (cognitive overload). Sehingga mereka akan cenderung mengijinkan otaknya untuk hanya menyaring informasi-informasi yang menurutnya baik saja, atau hanya yang mereka 'sukai'. Terdengar memang agak sangat subyektif, begitulah kenyataannya. Belum lagi sebagian masyarakat yang tanpa disadari dengan mudah terwabah badai amygdala hijack, yang mungkin sebelumnya dikenal dengan sumbu pendek. Low road order thinking, bukan high road order thinking.Â
Kecederungan otak kita secara alami juga memiliki sifat asimetri dalam mengolah informasi yang masuk ke dalam otaknya. Sebagai analogi kasar; 95 informasi berita positif yang diterima bisa luluh lantah dengan 5 informasi negatif yang masuk ke otaknya. Otak kita juga berkecenderungan untuk menyederhanakan pikirannya atas nama efisiensi (simplicity), walau kenyataannya sangat kompleks dengan ratusan milyar neurons yang saling berhubungan memiliki kapasitas menjalin triliunan sinap-sinap hubungan antar sel-sel otak yang berlistrik. Belum termasuk neuroglia (sel-sel otak pendukung).
Brain kita ini juga menyukai suatu yang dikenal (familiarity), dan dapat diprediksi (predictability), tapi juga menyukai sesuatu hal yang baru (novelty). Dia bosan dengan suatu yang monoton, tapi juga dia akan stress dengan sesuatu yang terus menerus berubah dan terlalu cepat perubahannya. Otak aslinya netral dan malas. Kecenderungannya juga meniru, MNS (mirror neurons system) otak sosial bangsa kita bekerja aktif pada umumnya. Seperti kita sering mendengar sebelumnya istilah; 'emotion is contagious'. Didukung dengan kemajuan teknologi informasi yang menyemarakkan media sosial sebagai alat pemviralan berita (baik yang benar maupun yang tidak) yang terus menerus beredar, sampai pada akhirnya akan mereda jua.
Seperti kita ketahui bersama baru-baru ini (21/3/2023) DPR secara resmi menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang baru ini menimbulkan polemik, berasal dari Pengesahan Rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang menjadi sorotan banyak kalangan. DPR sebelumnya telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, yang kemudian menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkahmah Konstitusi (MK). Kemudian Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU Cipta Kerja 2020.
Tahan dulu, rem dan berpikir jernih kembali, sebelum kita terburu-buru untuk merespon atau mengomentari suatu berita, begitu menurut Agustus Gea, SH - Konsultan Hukum GNB, Alumnus Universitas Pancasila ini. Menurutnya, dari kacamata hukum, di dalam konstitusi kita; setiap warga negara Indonesia wajib mengetahui hukum. Artinya bukan hanya sarjana hukum atau orang-orang yang berpendidikan hukum saja yang wajib mengetahui hukum. Begitu ujarnya di kanal youtube media Nawacitapolitik TV (https://youtube.com/@nawacitapolitik). Sehingga sebelum kita mempermasalahkan suatu produk hukum, apakah kita telah membaca dan mengerti isi seluruh undang-undang tersebut dan mempelajarinya secara sesakma. Bila perlu, untuk memahaminya, kita bisa tanyakan atau konsultasikan kepada orang-orang yang lebih paham terkait permasalahan ini. Tentunya para pakar yang berkompeten.
Selain dilihat dari sudut pandang hukum, masih banyak perspektif lainnya yang bisa kita gunakan untuk melihatnya secara bijak dan holisitik (the whole brain). Seperti menggunakan pendekatan disiplin ilmu Organisasi Industri atau dikenal dengan 'IO' (Industrial Organization) yang tidak hanya membahas dari 3C stakeholders saja dan biasa digunakan oleh para marketer melakukan analisis pemasaran strategik (customer, competitor, dan company). Namun IO menyentuh hampir seluruh para pemangku kebijakan lainnya yang mungkin terlibat.
Melalui industrial organization, kita harus lebih berhati-hati dalam menganalisis dan menyimpulkan suatu fenomena yang terjadi, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja ini. Keputusan-keputusan strategik tidak lagi hanya sekedar alasan nasional yang rasional dan emosional. Kita tidak bisa lagi hanya menggunakan pendekatan teori-teori pengambilan keputusan saja dalam hal ini (decision making theory). Salah satu alternatifnya; menggunakan pendekatan game theory yang diformulasikan oleh John Forbes Nash, Jr. yang terkenal dengan teori nash equilibrium-nya menyatakan; 'keseimbangan yang tercapai apabila di mana setiap pemain dalam sebuah permainan tidak bisa lagi memperbaiki posisinya untuk merespon apa yang dilakukan kompetitor atau stakeholder lainnya'.
Di dalam teori ini juga melahirkan strategi-strategi seperti kooperatif, dan non-kooperatif. Dilema tahanan kooperatif atau kolusif. Salah satu pilihan terbaiknya disebut 'socially optimal solution', di mana kondisi paling terbaik yang bisa dicapai oleh para pihak yang seharusnya bersaing atau berselisih namun mereka memutuskan untuk berkolaborasi. Coopetition terjadi di mana kolaborasi atau kerjasama perusahaan-perusahaan atau para pemangku kebijakan yang saling berselisih.
Bisa juga menganalisis situasi kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja ini di dalam Organisasi Industri tadi dengan kaca mata 'behavioral economics', perpaduan ekonomi, psikologi dan sosiologi (bahkan sekarang dengan neuroeconomics yang juga memadukan applied neuroscience atau neuropsychology). Beberapa pendekatan dimaksud di antarannya seperti teori Adam Smith (1776); the wealth of nations, the theory of moral sentiments. Pentingnya aspek moralitas dalam pengambilan keputusan manusia (1759). John Maynard Keynes yang membahas 'animal spirits' di mana manusia cenderung mengambil keputusan tidak rasional karena ikut-ikutan atau meniru yang lain.
Kemudian, teori lainnya seperti teori 'herd instinct' atau naluri kerumunan, di mana dorongan manusia untuk berperilaku mengikuti mayoritas dan tidak ingin dianggap berbeda. Serta teori 'irrational exuburance' atau irasionalitas gila-gilaan. Berbeda lagi dengan teori Richard H. Thaler, professor - behavioral science and economics university of chicago (terkenal dengan nudge theory-nya atau teori dorongan halus), di mana pada teori ini yang menjelaskan bagaimana kita bisa memengaruhi orang lain melalui dorongan atau sugesti tidak secara  langsung.
Teori-teori lainnya seperti; cognitive bias; pola sistematis yang menjelaskan terjadinya penyimpangan rasionalitas kita dalam menilai sesuatu, contoh; harga saset shampoo vs botol, atau maunya membayar pajak saat periode tax amnesty saja. Teori bias jangkar atau anchoring bias, di mana kecenderungan kita untuk menilai sesuatu berdasarkan asumsi yang kita miliki sebelumnya. Serta loss aversion atau risk aversion, di mana kecenderungan manusia untuk menghindari resiko (Amos Tversky & Daniel Kahneman, 2008 yang terkenal dengan bias thinking theory yang menjelaskan kerja otak, dibagi 2 bagian besar, yaitu system 1; fast thinking dan system 2; slow thinking). Orang lebih cenderung untuk menghindari sesuatu yang tidak pasti.
Dari perspektif strategic management, menurut Hoskinsson, Hitt, Wan, dan Yiu di dalam 'teori ayunan pendulum' memberikan tinjauan kritis tentang keadaan penelitian dan teori manajemen strategik pada tahun 1999. Menurut mereka teori IO (industrial organization), teori OE (organizational economics), dan teori RBV (research based view), serta teori SE (strategic entrepreneurship) merupakan turunan dari teori SM (strategic management). Lanjutnya, menurut mereka telah terjadi ayunan dalam bidang penelitian manajemen strategik, karena para ilmuwan telah bergerak di antara perspektif teoretis dan metode penelitian yang berbeda. Para penulis tersebut memberikan ringkasan yang jelas dan ringkas tentang asumsi utama dan temuan penelitian masing-masing perspektif, serta kritik mereka.
Menurut Tirole (2014), intervensi pemerintah mungkin diperlukan dalam industri yang tidak terlalu kompetitif, karena kurangnya persaingan ini memperluas cakupan intervensi publik yang menguntungkan. Teori regulasi dan kebijakan persaingan bertujuan untuk mempromosikan persaingan dan mencegah monopoli, yang dapat menyebabkan harga yang lebih tinggi dan kualitas produk atau jasa yang lebih rendah. Intervensi pemerintah yang berhasil di pasar dapat mencakup undang-undang antimonopoli, pengendalian harga, subsidi, dan peraturan yang mempromosikan persaingan dan melindungi konsumen. Namun, efektivitas intervensi ini dapat bervariasi tergantung pada industri tertentu dan kondisi pasar (cognitive flexibility).
Tulisan tersebut dikompilasi oleh the Economic Sciences Prize Committee of the Royal Swedish Academy of Sciences berjudul "Market Power and Regulation" dari Jean Tirole ini memperoleh Alfred Nobel (2014). Ada beberapa alasan mendasar mengapa artikel ini memperoleh hadiah nobel. Pertama, Tirole telah menetapkan standar ketelitian baru di bidang IO dan regulasi. Kedua, ketelitiannya telah memfasilitasi realisme. Ketiga, beliau telah menertibkan literatur yang berat. Keempat, model Tirole mempertajam analisis kebijakan.
Penulis ini berpendapat bahwa kekuatan pasar dapat muncul dari beberapa sumber, yaitu; skala ekonomi (economic of scale), efek jaringan, dan hambatan masuk (entry barrier). Sumber kekuatan pasar (market power) mampu menciptakan inefisiensi dan merugikan kesejahteraan konsumen serta sosial. Akan tetapi penulis mengingatkan juga kekuatan pasar (market power) dapat memberikan efek yang menguntungkan, seperti memberikan insentif bagi perusahaan untuk berinovasi dan berinvestasi dalam teknologi baru. Beliau memaparkan market power terjadi apabila satu perusahaan atau lebih mempunyai kekuatan memengaruhi harga atau output pasar, terlepas dari persaingan yang sehat atau tidak. Pemain besar dengan ukuran market size atau market share secara tidak langsung berpotensi menjadikan atau menciptakan entry barrier yang tinggi. Menurutnya, melalui strategi pricing atau non-pricing dapat mempertahankan. Serta peranan pemerintah sebagai regulator diperlukan di sini, dapat mengatasi isu problematika market power tersebut, walaupun bila menerapkan dengan tidak benar regulasi juga memiliki konsekuensi negatif.
Sementara pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja baru tersebut ditentang oleh banyak kalangan, terutama terkait dengan persoalan buruh dan lingkungan. Kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, dan buruh menilai UU Cipta Kerja baru ini tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga tidak akan berbuah baik untuk masyarakat. Kontroversi ini berpotensi memunculkan berbagai protes dan demonstrasi di Indonesia.
Demonstrasi nampaknya akan berjalan terus, sampai mereka benar-benar 'merasakan' terpenuhi keadilannya (atau keinginannya semata?). Beberapa demonstrasi berpotensi diwarnai dengan aksi kekerasan dan kerusuhan, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Maksud baik pemerintah bisa saja diterima dan 'dipersepsikan' yang berbeda oleh masyarakat dan stakeholder lainnya.Â
Menjadi tantangan yang berat, tidak cukup hanya mengumumkan pengesahan undang-undang, atau terbatas pemberitaan saja. Namun, benar-benar harus ada program sosialisasi dan edukasi terkait isi undang-undang secara berkelanjutan terus menerus kepada masyarakat kita yang sangat majemuk dan beragam (every brain is unique). Perlu ruang dialog terbuka yang sehat dan mendidik antar stakeholders. Kemajuan teknologi informasi menimbulkan diversity yang semakin kompleks. Literasi baca dan literasi digital di sini memainkan peranan penting.
Sementara Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia pada Oktober 2020 telah menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan masyarakat, walaupun maksud dan tujuannya baik, yaitu; untuk memperbaiki (menghapus, menambah, dan menyempurnakan) UU sebelumnya (UU Ketenagakerjaan). Secara filosofi kata 'Cipta Kerja' lebih mulia maknanya dibanding 'Ketenagakerjaan'. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses pemaknaan kata terutama terjadi di area korteks temporal superior dan inferior di otak kiri, yang juga terlibat dalam pemrosesan bahasa. Sehingga posisi SDM (Sumber Daya Manusia) tidak lagi dimaknai hanya sebagai 'tenaga kerja'. Bukan sekedar objek, tetapi telah menjadi subjek.
Menurut salinan Perppu Ciptaker tersebut yang dimaksud "Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional". Salah satu tujuannya tersirat di dalamnya; "bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional".
Ada beberapa poin yang menjadi sorotan publik. Terutama yang berkaitan dengan urusan ketenagakerjaan, di antaranya; pemahaman perubahan penentuan batas upah minimum, aturan cuti (khususnya bagi perempuan), hubungan kerja (kontrak), pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, jaminan sosial, status kerja, outsourcing, dan lain sebagainya yang belum dirincikan di sini. Seperti dijelaskan pada artikel Tirole sebelumnya; regulasi dapat mengurangi market power, menstimulasi para pengusaha dan investor lainnya membuka lapangan kerja (neural mechanism of goal-directed behavior), karena alasan rasional biaya SDM di Indonesia yang efisien, atau relatif lebih murah. Sehingga berpotensi meningkatkan keuntungan perusahaan.
Namun, keputusan itu akan berdampak sebaliknya bila kurang diperhitungkan dan dipertimbangkan secara masak. Pertama, regulasi ini secara jelas akan dipersepsikan menurunkan kesejahteraan sosial, di sini konteksnya para buruh dan karyawan yang berkerja serta yang berdampak. Kedua, produktivitas akan menurun, karena semangat dan motivasi berkerjanya turun (low motivated employee). Ketiga, yang pada akhirnya akan berdampak pada mutu kualitas layanan dan kualitas produk yang dihasilkan perusahaan akan menjadi lebih buruk, bukan lebih baik. Keempat, sehingga berpotensi merugikan hak pelanggan atau konsumen.
Kelima, secara keseluruhan pada akhirnya memengaruhi kinerja pasar dan industri. Keenam, yang pada akhirnya merugikan para perusahaan atau produsen itu sendiri, karena tingkat permintaan dapat menurun (misal; memilih jasa dan produk luar negeri). Ketujuh, dikarenakan entry barrier menjadi lebih mudah karena biaya SDM di Indonesia lebih murah, sehingga menaikkan jumlah pemain (konsetrat tinggi) dan meningkatkan tingkat persaingan, perang harga, murah-murahan untuk berebut pelanggan (yang pada awalnya bermaksud menurunkan market power). Atau mengharap sebaliknya (yang belum tentu juga terjadi) sampai ke titik tertentu akan berlomba mahal-mahalan (siklus Edgeworth).
Kedelapan, pada akhirnya banyak perusahaan yang tidak mampu atau terpental keluar (kembali meningkatkan market power). Kesembilan, sehingga regulasi ini justru terkesan menghasilkan dan memperkuat posisi para oligarki atau pada kompetisi yang tidak sempurna (imperfect competition). Begitulah contoh pada perspektif analisis IO, menurut Tirole, di mana perilaku strategik (strategic behavior) dalam industri persaingan yang tidak sempurna (imperfectly competitive industry).
Pada aspek perizinan investasi, Perppu Ciptaker ini juga berusaha untuk mempermudah perizinan investasi (simplicity), namun beberapa pihak mengkhawatirkan hal ini akan membuka peluang perilaku korupsi dan oligarki. Teori oligopoli adalah topik yang paling sentral dalam IO, banyak kontribusi Tirole yang signifikan terkait transformasi teori oligopoli ini. Selain itu, beberapa pihak juga khawatir (banjir kortisol) dengan efek lingkungan yang akan dihasilkan oleh industri baru yang akan dibuka. Stakeholder tenaga kerja (buruh, karyawan, dll.) juga dirugikan karena pemerintah melalui undang-undang tersebut juga menimbulkan kontroversi terkait dengan hak mereka untuk melakukan demonstrasi. Perppu Ciptaker ini membatasi hak untuk melakukan demonstrasi dengan mengharuskan izin dari kepolisian dan pembatasan lokasi demonstrasi.
Hal tersebut dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai pembatasan kebebasan berekspresi dalam menyampaikan pendapat. Sementara dalam paradigma baru yang modern, pemerintah bukan lagi sekedar pemegang kekuasaan, namun 'today, government is public service provider'.
Pada konteks artikel Tirole ini yang dimaksud, penulis membahas lebih lanjut mengenai bagaimana regulasi dapat memengaruhi market power perusahaan, bila dihubungi dengan konteks UU Cipta Kerja. Menurut artikel tersebut, secara historis, regulator sering mengandalkan aturan praktis yang sederhana. Di bawah asumsi realistis tentang tujuan pemerintah (the government's objectives) dan asimetri informasi (informational asymmetries), regulator harus menyeimbangkan efisiensi perusahaan yang diatur terhadap nilai sosial. Jadi dalam mengambil kebijakan ataupun merancang dan membuat undang-undang harus lebih berhati-hati lagi (too good to be true).
Di dalam perspektif model principal-agent theory, Laffont & Tirole memperlakukan regulasi sebagai masalah prinsipal-agen, dengan pemerintah atau "regulator" sebagai prinsipalnya, dan perusahaan-perusahaan yang diatur sebagai agen, bukan sebaliknya! Regulator mengamati biaya produksi yang direalisasikan, tetapi tidak seberapa banyak upaya yang telah dilakukan perusahaan untuk pengurangan biaya. Tirole telah mempelajari penangkapan regulasi (regulatory capture)Â dengan asumsi bahwa regulator mematuhi aksioma keegoisan standar dan dengan demikian memaksimalkan kesejahteraan pribadi mereka sendiri (daripada kesejahteraan sosial). Kercedasan bersama, kecerdasan kelompok, kecerdasan kolektif, kecerdasan kolegial, swarm intelligence, dan kecerdasan kolaboratif, tanpa disadari sering kali berujung pada 'keegoisan bersama'.Â
Merujuk artikel Tirole ini, salah satu opsi solusi dapat menggunakan perspektif game theory, namun bukan sesama pemain atau sesama perusahaan yang berkompetisi. Akan tetapi dengan para stakeholder yang terlibat, misalkan; a) pemerintah sebagai regulator, b) para perusahaan atau pengusaha atau investor, c) konsumen, dan juga d) para buruh atau karyawan atau tenaga kerja, serta e) masyarakat secara umum.
Para pihak termasuk pemerintah sebagai regulator pembuat kebijakan (undang-undang) tidak akan bisa memenuhi keinginan pihaknya saja untuk memperoleh 'keuntungan' yang optimal. Bukan pula murni 'win-win solution', namun yang sering disebut dengan istilah 'socially optimal solution' di dalam titik keseimbangan (Nash equilibrium yang telah dibahas di atas). Atau mengaplikasikan keseimbangan lainnya yang menyesuaikan situasi dan kondisinya (subgame-perfect equilibrium), termasuk untuk kepentingan jangka pendek dan jangka panjang (short-term & long-term competition), serta keseimbangan MPE (Markov Perfect Equilibrium), maupun PBE (Perfect Bayesian Equilibrium).
Selain game theory, Tirole juga telah melakukan penelitian terkait desain mekanisme (mechanism design). Misalkan, pemerintah sebagai regulator mungkin memiliki informasi penting (semacam rahasia negara) tentang permintaan barang atau jasa yang diatur (demand). Ketika prinsipal (pemerintah) mengusulkan kontrak kepada agen (perusahaan-perusahaan yang diatur/mengikuti regulasi), proposal tersebut dapat menandakan informasi penting prinsipal tadi. Di lain sisi, para SDM harus telah menyiapkan diri di dalam persaingan global yang ketat pada era Digital ini, melalui inovasi dan adopsi teknologi baru yang dapat didukung oleh pemerintah sebagai regulator, pada kebijakannya dalam persaingan (competition policy). Termasuk di dalamnya masalah aturan paten, open-source software, co-marketing, standarisasi atau pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara perusahaan dan sumber daya manusia dengan kedua pihaknya dilakukan secara adil (network competition and two-sided markets).
Menurut Prof. Alexander W. Cappelen dari Norwegian School of Economics and FAIR (Centre for Experimental Research on Fairness, Inequality and Rationality)Â bahwa otak menghargai penghargaan dan keadilan sendiri, the brain appreciates both own reward and fairness, keduanya memengaruhi aktivasi striatum otak. Â
Artikel Tirole tadi sangat baik menjadi panduan ilmiah yang berguna untuk intervensi pemerintah tersebut sebagai regulator. Sekali lagi, dokumen artikel tersebut menunjukkan bahwa intervensi pemerintah mungkin diperlukan dalam industri yang tidak terlalu kompetitif (mengundang invesor asing dan dalam negeri), karena kurangnya persaingan ini memperluas cakupan intervensi publik yang menguntungkan. Tantangannya pada proses komunikasi publik; sosialisasi dan edukasi yang baik. Teori regulasi dan kebijakan persaingan diperlukan untuk mempromosikan persaingan dan mencegah monopoli, yang dapat menyebabkan harga lebih tinggi dan kualitas produk atau jasa lebih rendah (seperti telah dijelaskan di atas sebelumnya). Efektivitas intervensi pemerintah dapat bervariasi tergantung pada industri tertentu dan kondisi pasar. Tirole juga mengakui potensi trade-off antara pendekatan peraturan yang berbeda dan menyoroti pentingnya mempertimbangkan karakteristik spesifik dari pasar yang berbeda. (BIS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H