Menurut salinan Perppu Ciptaker tersebut yang dimaksud "Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional". Salah satu tujuannya tersirat di dalamnya; "bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional".
Ada beberapa poin yang menjadi sorotan publik. Terutama yang berkaitan dengan urusan ketenagakerjaan, di antaranya; pemahaman perubahan penentuan batas upah minimum, aturan cuti (khususnya bagi perempuan), hubungan kerja (kontrak), pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, jaminan sosial, status kerja, outsourcing, dan lain sebagainya yang belum dirincikan di sini. Seperti dijelaskan pada artikel Tirole sebelumnya; regulasi dapat mengurangi market power, menstimulasi para pengusaha dan investor lainnya membuka lapangan kerja (neural mechanism of goal-directed behavior), karena alasan rasional biaya SDM di Indonesia yang efisien, atau relatif lebih murah. Sehingga berpotensi meningkatkan keuntungan perusahaan.
Namun, keputusan itu akan berdampak sebaliknya bila kurang diperhitungkan dan dipertimbangkan secara masak. Pertama, regulasi ini secara jelas akan dipersepsikan menurunkan kesejahteraan sosial, di sini konteksnya para buruh dan karyawan yang berkerja serta yang berdampak. Kedua, produktivitas akan menurun, karena semangat dan motivasi berkerjanya turun (low motivated employee). Ketiga, yang pada akhirnya akan berdampak pada mutu kualitas layanan dan kualitas produk yang dihasilkan perusahaan akan menjadi lebih buruk, bukan lebih baik. Keempat, sehingga berpotensi merugikan hak pelanggan atau konsumen.
Kelima, secara keseluruhan pada akhirnya memengaruhi kinerja pasar dan industri. Keenam, yang pada akhirnya merugikan para perusahaan atau produsen itu sendiri, karena tingkat permintaan dapat menurun (misal; memilih jasa dan produk luar negeri). Ketujuh, dikarenakan entry barrier menjadi lebih mudah karena biaya SDM di Indonesia lebih murah, sehingga menaikkan jumlah pemain (konsetrat tinggi) dan meningkatkan tingkat persaingan, perang harga, murah-murahan untuk berebut pelanggan (yang pada awalnya bermaksud menurunkan market power). Atau mengharap sebaliknya (yang belum tentu juga terjadi) sampai ke titik tertentu akan berlomba mahal-mahalan (siklus Edgeworth).
Kedelapan, pada akhirnya banyak perusahaan yang tidak mampu atau terpental keluar (kembali meningkatkan market power). Kesembilan, sehingga regulasi ini justru terkesan menghasilkan dan memperkuat posisi para oligarki atau pada kompetisi yang tidak sempurna (imperfect competition). Begitulah contoh pada perspektif analisis IO, menurut Tirole, di mana perilaku strategik (strategic behavior) dalam industri persaingan yang tidak sempurna (imperfectly competitive industry).
Pada aspek perizinan investasi, Perppu Ciptaker ini juga berusaha untuk mempermudah perizinan investasi (simplicity), namun beberapa pihak mengkhawatirkan hal ini akan membuka peluang perilaku korupsi dan oligarki. Teori oligopoli adalah topik yang paling sentral dalam IO, banyak kontribusi Tirole yang signifikan terkait transformasi teori oligopoli ini. Selain itu, beberapa pihak juga khawatir (banjir kortisol) dengan efek lingkungan yang akan dihasilkan oleh industri baru yang akan dibuka. Stakeholder tenaga kerja (buruh, karyawan, dll.) juga dirugikan karena pemerintah melalui undang-undang tersebut juga menimbulkan kontroversi terkait dengan hak mereka untuk melakukan demonstrasi. Perppu Ciptaker ini membatasi hak untuk melakukan demonstrasi dengan mengharuskan izin dari kepolisian dan pembatasan lokasi demonstrasi.
Hal tersebut dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai pembatasan kebebasan berekspresi dalam menyampaikan pendapat. Sementara dalam paradigma baru yang modern, pemerintah bukan lagi sekedar pemegang kekuasaan, namun 'today, government is public service provider'.
Pada konteks artikel Tirole ini yang dimaksud, penulis membahas lebih lanjut mengenai bagaimana regulasi dapat memengaruhi market power perusahaan, bila dihubungi dengan konteks UU Cipta Kerja. Menurut artikel tersebut, secara historis, regulator sering mengandalkan aturan praktis yang sederhana. Di bawah asumsi realistis tentang tujuan pemerintah (the government's objectives) dan asimetri informasi (informational asymmetries), regulator harus menyeimbangkan efisiensi perusahaan yang diatur terhadap nilai sosial. Jadi dalam mengambil kebijakan ataupun merancang dan membuat undang-undang harus lebih berhati-hati lagi (too good to be true).
Di dalam perspektif model principal-agent theory, Laffont & Tirole memperlakukan regulasi sebagai masalah prinsipal-agen, dengan pemerintah atau "regulator" sebagai prinsipalnya, dan perusahaan-perusahaan yang diatur sebagai agen, bukan sebaliknya! Regulator mengamati biaya produksi yang direalisasikan, tetapi tidak seberapa banyak upaya yang telah dilakukan perusahaan untuk pengurangan biaya. Tirole telah mempelajari penangkapan regulasi (regulatory capture)Â dengan asumsi bahwa regulator mematuhi aksioma keegoisan standar dan dengan demikian memaksimalkan kesejahteraan pribadi mereka sendiri (daripada kesejahteraan sosial). Kercedasan bersama, kecerdasan kelompok, kecerdasan kolektif, kecerdasan kolegial, swarm intelligence, dan kecerdasan kolaboratif, tanpa disadari sering kali berujung pada 'keegoisan bersama'.Â
Merujuk artikel Tirole ini, salah satu opsi solusi dapat menggunakan perspektif game theory, namun bukan sesama pemain atau sesama perusahaan yang berkompetisi. Akan tetapi dengan para stakeholder yang terlibat, misalkan; a) pemerintah sebagai regulator, b) para perusahaan atau pengusaha atau investor, c) konsumen, dan juga d) para buruh atau karyawan atau tenaga kerja, serta e) masyarakat secara umum.
Para pihak termasuk pemerintah sebagai regulator pembuat kebijakan (undang-undang) tidak akan bisa memenuhi keinginan pihaknya saja untuk memperoleh 'keuntungan' yang optimal. Bukan pula murni 'win-win solution', namun yang sering disebut dengan istilah 'socially optimal solution' di dalam titik keseimbangan (Nash equilibrium yang telah dibahas di atas). Atau mengaplikasikan keseimbangan lainnya yang menyesuaikan situasi dan kondisinya (subgame-perfect equilibrium), termasuk untuk kepentingan jangka pendek dan jangka panjang (short-term & long-term competition), serta keseimbangan MPE (Markov Perfect Equilibrium), maupun PBE (Perfect Bayesian Equilibrium).