Oleh : Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
[Dirangkum dari percakapan diskusi di wag Neuronesia: Nasser Umainalo, Dr. Eka Yunita. Dr. Tuhid Nur Azhar, Jusuf Sutanto, Ir. Purwiyono Sukrido Pringgohardjoso]
Minggu, 8 Agustus 2021. Diskusi di wag Neuronesia hari minggu ini menarik. Menarik untuk saya sharing di sini, semoga dapat bermanfaat. Menanggapi tulisan berjudul 'Ibadah Virtual' yang ditulis oleh Ahmad Najib Burjani (www.kompas.id 7/8/2021).
Dikatakan sholat iedul adha secara virtual menggunakan aplikasi zoom menembus angka maksimum; 1000 partisipan. Karena 1 orang partisipan bisa mengajak anggota keluarganya untuk melakukan secara live, diperkirakan jumlah jamaah bisa mencapai 3.000 peserta.
Perangkat komputer beserta electronic devices lainnya (screen dan sound system), jaringan internet dan aplikasi zoom disebut sebagai ‘altar suci’ karena difungsikan sebagai ruang dan medium virtual. Sesungguhnya selama pandemi ini telah banyak dilakukan oleh kaum muslim di Indonesia untuk ibadah lainnya.
Hikmah di balik pandemi salah satunya adalah manusia secara umum menjadi lebih dekat dengan teknologi digital.
Seperti sholat jumat berjamaah virtual, tahlilan dan takziah mendoakan sahabat dan keluarga yang meninggal dunia, di masa pandemi dilakukan secara virtual, menggantikan kegiatan melayat ke rumah duka atau menghadiri proses pemakaman.
Sementara Manuel Castells (2012) telah memprediksi bahwa jaringan maya bisa menggantikan struktur tradisional di masyarakat.
Namun kita tak menyangka bahwa ia kini bahkan telah mengubah norma dan tata cara beribadah. Sekarang kegiatan keagamaan lain yang umum dilakukan dalam bentuk daring adalah haul, silaturahmi lebaran, shalat tarawih selama dua kali berturut bulan puasa, dan shalat iedul fitri.
Jauh sebelum pandemi ini, beberapa situs web sudah mulai menyediakan virtual reality untuk jenis-jenis ibadah tertentu. Seperti ditulis Christopher Helland (2013), di situs Laurdes France (laurdes-france.org), pengunjung bisa dibawa ke tempat itu seperti hadir langsung dan merasakan pengalaman melakukan cyberpilgrimage.
Sebelum pandemi, penggunaan peranti digital dalam kegiatan keagamaan sudah banyak dilakukan oleh para dai milenial dan dai selebritas, seperti Hanan Attaki, Felix Siauw, dan Ustaz Abdul Somad. Bahkan bisa dikatakan, dakwah dan popularitas mereka banyak didukung oleh Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube. Jumlah follower mereka di media sosial mencapai jutaan.
Nasser Umainalo mengutip pernyataannya Idhan NR, "Terlepas ilmu fiqh-nya, ke depan dunia virtual akan lebih nyata. Orang tidak lagi sekedar berinteraksi di depan layar gawai.
Lebih jauh kita bisa berinteraksi 'virtual reality' dan 'augmented reality'. Bisa jadi tidak lama lagi kita bisa shalat berjamaah di Masjid, imam dan makmum bisa berinteraksi 'layaknya' kehadiran fisik."
Perusahaan yang paling siap adalah Facebook. Facebook bertransformasi dari perusahaan media sosial menjadi perusahaan 'metaverse'.
Sebuah kondisi di mana orang dapat bermain game, bekerja, dan berkomunikasi dalam lingkungan virtual yang lebih 'nyata'. Untuk lebih jelas bagaimana augmented reality bisa tonton film 'Ready Player One'.
Dunia VR sedang menuju ke sana. Perusahaan teknologi - terutama Facebook - semakin mengembangkan konsep metaverse, dunia virtual tempat Anda hidup, bekerja dan bermain di dalamnya.
Dr. Eka Yunita menanggapi, "Haji dan Umrah tidak bisa online karena terkait dengan keharusan mendatangi tempatnya."
Sedangkan Dr. Tauhid Nur Azhar, SKed, MKes. - Board of Honor Neuronesia Community, yang sangat akrab di komunitas dengan panggilan sayangnya; 'KDT' (Kang Doktor Tauhid), menambahkan, "Hal ini sangat menarik. Saya ingin menggarisbawahi kutipan dari Emile Durkheim yang menyatakan bahwa ritual adalah upaya untuk menjaga kohesi sosial. Premis atau postulat yang secara deduktif dapat melahirkan sintesa silogisme terkait keberadaan platform yang ada secara dinamis berubah. Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif.
Jika kita mengacu kepada fatsun Wiki bahwa silogisme disusun dari dua proposisi atau postulat dan sebuah konklusi, maka pengambilan simpulan tidak langsung memang merupakan bagian dari struktur logika manusia yang sarat dengan pertimbangan komparatif dan keterikatan dengan nilai yang diyakini. Saat dinamika menggeser ruang atau bioma masuk kedalam dunia yang dibangun oleh bit dan semesta binari, maka manusia kembali akan membangun pola interaksi yang mewakili kepentingan-kepentingan paling hakiki yang mendasari.
Eksistensi adalah salah satu kata kunci. Maka identitas dan realitas dapat terekspresi dalam multiplisitas. Maka penjara ruang dan penyanderaan materi akan bergeser pada penyanderaan baru sebagai boundary. Kapasitas dan koneksi, platform dan piranti, serta tentu saja aplikasi dan sensor yang mampu mentransformasi jati diri."
Kemudian Nasser menanggapi kembali, "Ritual adalah upaya untuk menjaga kohesi sosial, Emile Durkheim... Hmm... Tetiba jadi ingat, (no debat no issue please...). Intisari keberagamaan adalah kemanusiaan. Tetiba jadi ingat lagi kisah Nabi Musa AS ketika ingin 'bertemu' Tuhannya."
Kembali ibu Eka Yunita mengomentari, "Memang tetap ada yang tidak bisa virtual. Nanti jangan-jangan suatu saat ada yang menginginkan peristiwa kematiannya juga secara virtual."
Kemudian KDT meneruskan, "Migrasi digital tak dapat terhindari karena sistem menuntut efisiensi. Karena alam memberikan sinyal akan adanya over eksploitasi, maka ekspansi dan mobilisasi akan mengubah suai atau termodulasi menjadi upaya dengan sifat mengendali konsumsi energi dan membangun sirkularitas sehingga utilitas mendekati tanpa batas, yang terjadi karena kita terbatas. Maka mendekati tanpa batas adalah pilihan paling pantas.
Kecerdasan artifisial dengan hibrida yang bisa saja lahir bersama upaya Elon Musk untuk mengintervensi isi otak manusia dengan neuralink-nya. Manusia akan menjelma menjadi makhluk bayangan yang berlindung atau bersembunyi di sosok-sosok virtual yang telah diinstalasi prosesor dengan kemampuan berbasis cognitive artificial intelligence. Imajinasi yang lahir dalam bentuk nyata dari rahim peradaban yang memadukan kecerdasan dan kepentingan serta kebutuhan menjadi sebuah proses prokreasi yang berkesinambungan dan mendelegasikan berbagai fungsi dan kepentingan ke dalam sebuah platform yang relatif dapat dikendalikan."
"Pada akhirnya fungsi penciptaan menjadi selarik proyeksi nilai Ketuhanan yang cahayanya mencerahkan manusia untuk terinspirasi dalam mengonstruksi dunia impian yang diwujudkan dalam algoritma dan pengkodean terstruktur agar dapat menghasilkan sistematika sesuai harapan." KDT meneruskan.
Kemudian Jusuf Sutanto menanggapi, "Dunia terus menerus mengalami masalah di mana tidak ada satu pihak pun yang mempunyai semua resources atau sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan sendiri kecuali KERJASAMA. Bagaimana bisa disiapkan menyongsong abad 21."
Tanggapan KDT selanjutnya, "Betul Pak Jusuf, pandemi dan upaya untuk mengatasinya banyak mengajarkan kepada kita untuk bersama menjadi bagian dari konstruksi solusi. Ekosistem kerjasama menjadi pilihan bersama untuk menghasilkan obat, vaksin, dan juga berbagai metoda pencegahan.
Bahkan irisan antar disiplin ilmu yang semula dibatasi silo-silo kebanggaan subjektif dan sifat kompetitif yang justru kontra produktif kini dapat terurai dan menghasilkan platform sinergistik untuk menyatukan energi solutif dalam wahana yang ternavigasi menuju tujuan bersama pula. Manusia kembali diingatkan tentang peran kehadiran dan fungsi untuk saling mensubstitusi, mengkomplementasi, dan mengaugmentasi satu sama lain, sehingga dapat menghasilkan sebuah kejernihan baru yang dapat memproyeksikan kesadaran hakiki ke tingkat fungsional secara global."
Ir. Purwiyono Sukrido Pringgohardjoso menambahkan, "Setuju pak Tauhid Nur Azhar. Saya juga memperhatikan; bahwa mulai banyak ilmuwan yang menseriusi prospek 'post-human' dan 'trans-human', karena evolusi manusia kedepan sudah tidak lagi memperbesar ukuran kepala dan volume otak manusia yang sekitar 1200 cc, juga jumlah sel neuronnya sekitar 90 milyaran.
Jadi sudah waktunya berintegrasi dengan platform digital untuk menambah wawasan berpikirnya, termasuk untuk bersosialisasi skala makro dengan sesama 7,8 milyar manusia, practically real time, at anytime. Kelihatannya, kalau kepala manusia terlalu besar, para ibu akan sulit melahirkan, dan konsumsi energi otak akan terlalu besar bagi sistem metabolisme untuk men-support-nya, too expensive tissue, in energy terms.
Nah, akibatnya survival individu di masa post human akan banyak bergantung pada literasi dan kompetensi digital minimum, dan kemajuan negara bergantung pada stabilitas low-cost bandwidth yang merata di seluruh pelosok. Timbul juga efek negatif surveillance oleh negara, menurunnya privacy. Karena di masa peradaban IOT (internet of things dari mobil hingga lemari es), manusia tidak dapat lagi 'bersembunyi', selalu terlacak, selalu terdengar ucapannya dan selalu terekam perbuatannya.
Sisi baiknya accountability jadi universal, persaingan lebih fair dan kolaborasi berimbang dengan kompetisi, personal, state dan leaders greed berkurang banyak, peperangan menjadi fenomena masa lalu. Pandemi COVID-19 ini ternyata sudah mendesak kita untuk lebih lekat dengan 'universal digital platform'. Dengan pengorbanan massal yang begitu besarnya."
KDT menutup pembicaraan, "Betul pak Pur, universal digital platform yang menguak kesejatian jatidiri manusia." (BIS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H