Menurutnya kita harus bisa memanfaatkan keberagaman profil tadi, atau sering disebut 'harnessing diversity'. Tim yang baik dapat memasukan pendapat seluruh profil untuk memberikan kontribusi pemikiran dan perilaku yang optimal. Semua profil individu baik, tidak ada yang terbaik. Namun setiap manusia mempunyai peluang yang sama untuk menjadi atau memunculkan kinerja terbaiknya.
Di dalam konsep ini setiap profil manusia berpotensi menjadi pemimpin yang baik. Akan tetapi profil group diharapkan merata kecenderungan berpikirnya. Bila tidak merata atau masing-masing minimal 23%, ada beberapa teknik untuk menyisiatinya sehingga hasil diskusi, brainstorming ataupun kinerja bersama akan menjadi optimal.
Dengan kita memahami kecenderungan manusia berpikir dan berperilaku setiap manusia yang unik sehingga kita dapat berkomunikasi dan berkolaborasi secara optimal. Bertutur kata yang baik, tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain - using the language of grace. Words are powerful.
Merupakan kunci keberhasian adalah komunikasi yang efektif. Hal ini menjadi pilar utama yang penting di dalam berkolaborasi seperti halnya keberhasilan dalam kepemimpinan, komunikasi pemasaran dan komunikasi bisnis, pendidikan dan pengasuhan anak, dan bidang-bidang sosial lainnya.
Untuk sukes berkolaborasi kita harus memahami keragaman perbedaan-perbedaan seperti yang diuraikan di atas. Termasuk perbedaan gender pria dan perempuan, yang memang jelas-jelas perbeda tidak hanya cara pikir dan perilaku, tetapi memang memiliki struktur otak secara fisik pun berbeda.
Contohya; perempuan seakan-akan lebih berpikir holistik dan mampu berkerja multitasking. Karena perempuan memiliki kemampuan bandwith interkoneksi corpus callosum yang menghubungkan antar kedua belahan otak jauh lebih baik ketimbang pria. Demikian pula dengan perbedaan-perbedaan kecenderungan berpikir dan berperilaku lainnya.
Kita juga mampu meningkatkan kepintaran berkolaborasi saat kita memahami perbedaan lintas generasi dengan lebih baik. Sehingga dapat meminimalis gap yang ada. Masing-masing generasi memiliki kecenderungan yang berbeda. Contoh di dalam literasi digital mereka yang lahir di lingkungan yang serba digital akan lebih cepat beradaptasi dan kecenderungan berkemampuan literasi digital yang lebih baik, karenanya dikenal dengan istilah 'digital natives'. Sedangkan seniornya atau digital immigrants berusaha untuk menyesuaikan dengan meningkatkan daya resiliensi digital yang optimal agar efektif berkolaborasi dengan generasi milenial atau generasi-generasi di bawahnya.
Generasi X atau dikenal dengan generasi facebook. Generasi Y yang lebih memilih menggunakan instagram ketimbang facebook sebagai media komunikasi efektifnya.
Sedangkan generasi di bawahnya lagi - generasi Z yang sering disebut snapchat generation menyukai memakai aplikasi snapchat seperti tiktok. Demikian generasi yang lahir sekarang-sekarang ini di masa pandemi, generasi pots-Z ini mungkin nantinya akan dikenal dengan generasi zoom atau pun generasi corona, pastinya akan memiliki kecenderungan berkomunikasi yang berbeda lagi khususnya dalam berkolaborasi.
Di era digital yang cenderung tanpa batas, kita dapat berkolaborasi dengan latar belakang budaya yang berbeda. Memiliki ciri khas kerangka berpikir dan mindset global namun tetap masing-masing menjaga kearifan lokalnya. Jenis-jenis kolaborasi seperti crowd funding dan crowd sourcing sangat dibutuhkan, terutama di masa-masa sulit seperti dalam menghadapi pandemi COVID-19, agar segera dapat mengatasi permasalahannya. Penyediaan vaksin, penyediaan pasokan alat pelindung diri, penanganan pengobatan pasien yang terdampak, dan seterusnya.
Kolaborasi yang sukses juga dapat memahami perbedaan yang diwarnai oleh perbedaan tingkat berpikir (level of thinking), dan perbedan tingkat kesadaran (level of awareness atau level of consciousness). Di dunia yang VUCA atau TUNA (volatility/turbulence, uncertainty, complexity/novelty, dan ambiguity) menyikapi perubahan seperti pandemi pun berbeda-beda.