Diversity berpotensi memunculkan kreativitas, inovasi, dan produktivitas serta kinerja tim yang terbaik. Namun menurut Geil Browning di dalam bukunya: "Work that Works" bila kita tak cakap mengelola cognitive diversity juga memungkinkan terjadinya kehancuran tim atau kelompok.
Penyebab utamanya tidak memahami adanya perbedaan kognitif, sehingga komunikasi yang terjalin tidak efektif dan cederung destrutktif. Geil memiliki latar belakang sebagai guru yang belajar psikologi dan mendalami aplikasi neurosains saat meraih gelar PhD-nya. Bersama Dr. Wendell Williams mereka merumuskan konsep Emergenetics. Berasal dari dua kata; 'emerge' dan 'genetics'. Kecenderungan pola berpikir dan beperilaku setiap manusia berbeda, yang diwariskan dari cetak biru genetika masing-masing orang tua mereka bercampur dengan lingkungan pengalaman hidupnya.
Menurutnya tim yang baik adalah mereka yang bisa memadukan keberagaman berpikir dan berperilakunya. Terutama dalam berpikir, berkomunikasi, dan bekerjasama. Masing-masing individu bertransformasi dari orientasi 'saya' ke 'kita'. WE tidak saja mengartikan kita, tapi singkatan dari 'whole emergenetics' yang mengaplikasikan konsep teorinya Ned Herrmann; 'the whole brain'. 'Emergineering a Positive Organizational Culture' yang diterapkan pada latihan WEteam merupakan salah satu contoh praktik nyata bagaimana menerapkan konsep emergenetics membangun kultur budaya positif melalui cognitive collaborations yang mengoptimalkan kinerja organisasi kita.
Dengan mengetahui kecenderungan pola pikir dan perilaku, menjadi lebih mengenal diri kita sendiri. Kemudian kita dapat pula memahami orang lain dengan baik. Di tingkatan terakhir yang tersulit adalah bagaimana memastikan orang lain benar-benar bisa mengerti kita.
Kemajuan teknologi, terutama kamajuan teknologi informasi khususnya di bidang selular, menjadikan setiap manusia Indonesia memiliki akses informasi yang sama selama dapat menangkap sinyal dan memiliki pulsa yang cukup, atau memperoleh free-wifi. Sementara dengan latar belakang individu yang berbeda-beda.
Berbeda bahasa, suku, adat, tradisi, kebiasaan, norma, sub kultur, agama, keyakinan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Termasuk berbeda latar belakang pendidikan dan kemampuan literasi bacanya. Sehingga menimbulkan lebih banyak variabel keberagaman perbedaan (diversity).
Nature-nya otak kita itu sangat sensitif dari ancaman ketimbang reward, dan itu memang sangat manusiawi bagian dari mekanisme kerja otak limbik dan batang otak kita yang tugas utamanya memproteksi diri. Namun kita bisa melatihnya agar otak PFC (prefrontal cortex) cakap meregulasi sistem limbik kita, sehingga selalu berupaya meminimalis ancaman dan memaksimalkan penghargaan (reward).
Fungsi utama otak eksekutif PFC kita di antaranya; berpikir analitik, meregulasi perilaku kita, mengatur kendali sosial (di social brain selalu ingat: "monkey see, monkey do" neurons, yang dikenal dengan MNS - mirror neurons system). Wilayah PFC ini sangat penting untuk capai kesuksesan kita.
PFC bertanggungjawab atas; proses pengambilan keputusan, pemahaman dan pemaknaan, proses mengingat (memorizing), perencanaan, inhibitasi dan recall.
Namun sayangnya, fungsi PFC akan segera menurun seketika (cognitive shutdown) manakala otak limbik emosional kita merasakan sinyal ancaman yang membahayakan diri kita. Engagement yang sudah terjalin drop, neurotransmitter oksitosin tak disemprotkan lagi (inhibitasi), banjir kortisol di kepala.
Hal ini yang perlu diperhatikan agar semakin lihai saat kita berkolaborasi. Kecerdasan kolaboratif, atau CQ, adalah ukuran kemampuan kita untuk berpikir dengan orang lain atas mencapai tujuan dan keuntungan bersama (mutualisme). CI atau CQ atau kecerdasan kolaboratif tadi menjadi suatu faktor yang krusial manakala kita ingin meningkatkan profesionalisme dalam bekerjasama (berpikir, berinteraksi, dan berinovasi).