Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 4 Juni 2020. Bahasan selanjutnya kita akan mendiskusikan dampak perubahan di kenormalan baru ini dan bagaimana memanfaatkannya. Sehingga kita akan lebih yakin lagi bahwa momen ini memang benar-benar merupakan saatnya kita berubah untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi.Â
Seperti kita simpulkan di penulisan sebelumnya, bahwa new normal adalah kembali kepada kehidupan normal yang lebih sehat. Kebiasaan baru dengan gaya hidup yang lebih sehat merupakan budaya baru kita.
Kenapa aspek kesehatan menjadi gaya hidup yang baru. Karena faktor kesehatan telah menjadi suatu kebutuhan dasar atau 'basic needs and wants'-nya masyarakat. Mereka menyadari kesehatan menjadi penting, dan sangat mahal biayanya bila mereka mengabaikan. Masyarakat menjadi lebih higienis.Â
Gaya hidup sehat seperti rutin berolah raga, istirahat dan tidur yang cukup, menjaga nustrisi asupan makan dan minum dengan baik, selalu mencuci tangan dengan bersih, meghindari kerumunan masa, tertib dan senantiasa menjaga jarak dalam mengantri, selalu mengenakan masker saat mereka berpergian keluar rumah, dan seterusnya.
Industri kesehatan; rumah sakit dan farmasi, serta industri pendukungnya yang memasok APD (alat pelindung diri) dan alkes lainnya menjadi diuntungkan. Begitula pula dengan industri telekomunikasi penyedia jasa selular dan akses koneksi internet.Â
Pada kenormalan baru, dengan tetap di rumah, bekerja dan belajar dari rumah, membatasi diri atau mengurangi keluar rumah, justru memberikan banyak waktu kepada kita untuk lebih banyak merenung dan mengevaluasi diri.
Dalam strategi yang dijalankan, bukan lagi mensiasati tapi telah membiasakan diri menjalankan kehidupan normal baru, untuk tetap berkinerja, berprestasi serta berkarya, langkah pertama adalah lebih intes mengenal diri.Â
Sehingga kita bisa melihat lebih dalam lagi akan kekuatan atau kelebihan-kelebihan kita. Serta secara bersamaan juga meningkatkan kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan diri kita. COVID-19 mengajarkan dan mengingatkan akan keterbatasan kita sebagai manusia. Apalagi yang bisa kita sombongkan.
Persis seperti para surfer yang menikmati berselancar di atas ombak dengan ketinggiannya mencapai 4-5 meter. Semakin tinggi semakin seru dan senang. Sebaliknya buat kita yang tidak terampil berenang akan terombang-ambing oleh ombak yang tinggi tadi. Bahkan dapat menyebabkan kita tenggelam dan meninggal karena hanyut digulung ombak. Dalam kenormalan baru kita harus memiliki cara pikir dan perilaku seperti para surfer tadi. Memiliki ketangganguhan mental dalam menghadapi dan menjalaninya.
Pandemi ini mendidik dan mengingatkan akan keterbatasan kita. Setelah kita diberikan kesempatan untuk mengenali diri kita lebih dalam, sehingga menemukan kekuatan dan keterbatasan-keterbatasan kita. Saat kita kembali kerja dan beraktivitas di era normal baru ini, kita akan lebih menghargai setiap individu yang kita jumpai.Â
Every brain is unique, tidak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki connectome yang sama. Setiap orang pasti memiliki kekuatan. Menjadikan kita tertarik untuk berdiskusi dan mau lebih banyak benar-benar mendengarkan orang lain. Bukan sekedar basa-basi menghormati lawan bicara kita.
Sebaliknya, bila kita tidak memaknai new normal ini, maka kita menjalankan dengan serba ketakutan. Waspada sih boleh saja. Tapi jangan juga menjadi paranoid atau ketakutan yang berlebihan. Setiap jumpa dengan orang lain selalu menaruh kecurigaan.Â
Fear dan suspection dalam hal ini karena salah mengartikan social dan physical distancing juga berdampak tidak baik untuk kesehatan otak dan tubuh kita. Karena juga akan menstimulus tubuh memproduksi enzim kortisol yang lebih dan membanjirkan otak kepala kita. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya.
Demikian dalam bersikap, agar orang lain juga dapat memahami diri kita. Bukan berarti kita tidak mau berkomunikasi dengan siapa saja. Hanya kita akan lebih aware sekarang terhadap kesehatan, dan patuh mengikuti protokol pandemi ini, yang secara berangsur grafik penyebaran virus ini diharapkan akan segera turun terus dan akhirnya melandai. Ketiga tahap dalam bersikap di masa pandemi ini justru terus terlatih.Â
Ketiga tahapan tadi yang dimaksud adalah; 1) mengenali diri lebih mantap, 2) memahami orang lain lebih baik, dan 3) bagaimana orang lain dapat mengerti tentang kita. Â
Strategi lainnya dalam mengembangkan diri agar sukses menjalani normal baru, kita juga harus selalu agile agar mampu beradaptasi. Mau membuka diri dan memiliki set cara berpikir yang bertumbuh.Â
Sehingga masa pandemi dengan normal baru merupakan suatu kesempatan untuk menyeting ulang perilaku serta membangun kembali pathway-pathway kebaikan. Selalu open mind, berpikiran positif dan growth mindset.
Kita jangan lelah untuk belajar. Sesuai dengan konsep neuroplasticity, neuron dan otak kita yang senantiasa plastis. Kita dapat berubah-ubah di setiap usia. Bahkan terus berubah. Perubahan yang baik tidak hanya asal berubah. Tapi harus mempunyai prinsip yang kuat dengan konsep continuous improvement.Â
Bagaimana era kenormalan baru ini menjadikan kita lebih baik dibanding rutinintas kehidupan kita sebelum masa pandemi. Ingat, neurons that fire together wire together dan if we don't use it we will loose it. Justru dengan belajar terus di sepanjang usia merupakan bagian effort memelihara kesehatan inteligensia kita.
Learning, unlearning dan relearning yang telah sering saya uraikan di penulisan-penulisan sebelumnya, adalah merupakan bagian dari proses belajar yang hari ini diperkuat dengan penjelasan-penjelasan ilmiah dan telah terbukti. Sehingga konsep neuroplastisitas otak menjadi penting.
Saat kita berani mencoba melakukan hal-hal baru positif, sesungguhnya sedang terjadi proses-proses creating new synapses di era pandemi ini. Inilah learning process yang sebenarnya. Dalam proses tersebut sering kali kita merasa tidak nyaman dan feeling scratchy.Â
Kemudian dilakukan terus menerus serta mulai menjadi kebiasaan-kebiasaan positif baru. Jalur-jalur pikiran neural pathways kita latih dengan menebalkannya secara berulang. Disiplin, disiplin dan disiplin. Kita juga melemahkan pathway-pathway dan memutuskan sinap-sinap jalan pikiran serta kebiasan lama sebelum pandemi, yang kita evaluasi ternyata bernilai negatif.Â
Memberhentikan kebiasaan-kebiasaan negatif adalah unlearning process. Sedangkan dalam perenungan, kita jadi merindukan kembali keaslian alam yang asri dengan udara segar, air mengalir jernih, pemandangan alam yang indah, warna langit yang bersih dan seterusnya.Â
Hingga kita mulai mengingat kebiasaan-kebiasaan positif yang ditanamkan sejak kecil dengan penuh kasih sayang oleh orang tua kita. Membangkitkan kenangan-kenangan lama, menghubung-hubungi kembali sinap-sinap yang pernah ada. Membangun lagi neural pathways pikiran-pikiran dan kebiasaan-kebiasaan positif yang dulu pernah kita lakukan ini, merupakan bagian dari relearning process.
Dalam menjalankan kenormalan baru ini, strategi yang diterapkan tidak cukup hanya mengandalkan pola pikir dan pola perilaku yang positif. Mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baru yang positif sepanjang masa ke depannya diperlukan ketangguhan mental yang kuat. Selain positivity tadi juga daya resilensi perlu dibentuk.Â
Positivity ke dalam diri, bagaimana kita meningkatkan kepercayaan diri atas kemampuan kita menjalankan normal baru serta kepercayaan diri dalam berhubungan dengan orang lain.Â
Sedangkan positivity ke arah luar adalah kemampuan kita mem-strecthing diri dan selalu bersemangat belajar dan melakukan hal-hal yang baru. Ingin mempelajari apa pun dari pengalaman pandemi, mudah melakukan segala suatu yang baru. Membuka diri terhadap hal-hal baru.
Positivity yang baik akan meningkatkan engagement kita di dalam berkolaborasi dan bekerjasama dengan pihak lain, terutama dalam menjalankan protokol new normal ini. Kemampuan melihat peluang dan memperbesarnya.Â
Meningkatkan ketangguhan mental mempunyai arti memperbesar kapasitas mental. Secara tidak langsung meningkatkan level of thinking kita. Namun tidak hanya cukup dengan positivity ataupun berpikir positif saja.
Mental toughness memerlukan juga daya resilensi seseorang untuk mengatasi kesulitan hidup. Baik ke dalam diri yang terkait dengan kemampuan mengendalikan gaya hidupnya dan mengendalikan emosional kita.
Sesuai dengan meningkatkan kesadaran diri melalui pengaktifan fungsi otak PFC kita, tepatnya kepiawaian kita menahan diri dari segala sesuatu yang impulsif sifatnya. Termasuk keinginan mudik yang meletup-letup. Atau dikenal dengan istilah; inhibitory control di dalam fungsi eksekutif otak manusia yang membedakan dengan binatang.
Di dalam menjalankan kehidupan normal baru dibutuhkan konsistensi dan komitmen yang tinggi. Komit terhadap tujuan memperbaiki kehidupan selama ini cenderung hiperrealita dan komit terhadap hasil yang akan dicapai.Â
Komitmen dan pengendalian diri merupakan upaya meningkatkan daya resiliensi kita. Kortisol yang sedikit itu baik. Karena setelahnya akan diikuti neurotransmitter dopamin, serotonin dan oxytocin. Harmonisasi ini yang dibutuhkan. Mental toughness ke dalam merupakan efikasi diri, dan keluar berbentuk afirmasi.
Menjalankan kenormalan baru seperti berlari marathon. Apalagi belum ada kesamaan prediksi kapan berakhirnya pandemi. Bisa jadi akan berkepanjangan, tidak ada yang bisa meramalkannya. Vaksin dan obatnya pun belum ditemukan.Â
Di dalam situasi dan kondisi tersebut diperlukan mental baja yang tangguh. Tetapkan tujuan jangka panjang menjadi beberapa tujuan jangka pendek, dan terus tetap melangkah serta fokuskan perhatian kepada tujuan jangka panjang dan masing-masing tujuan antara atau tujuan jangka pendek.
Diperlukan keberanian, ketekunan, daya resiliensi yang tinggi. Kedua, ingat filosofi bagaimana kita harus memakan gajah besar dan menghabisinya tanpa bersisa. Ketiga, jangan meremehkan kekuatan visualisasi dan latihan mental.Â
Kemudian keempat, terus bergairah dan selalu mengaktifkan otak PFC. Tidak larut dengan keadaan, mampu mengelola pikiran, cakap mengendalikan dan meregulasi emosi. Afirmasikan ke dalam diri, serta sempatkan selalu bercakap diri - berbica dengan diri sendiri, kasih perintah ke otak dan yakin kita benar-benar dapat melakukannya dengan baik.
Dengan demikian budaya dari kenormalan baru ini akan dapat terealisir. Normal baru merupakan keteraturan-keteraturan dan kebiasaan-kebiasaan untuk kehidupan yang lebih baik. Rewiring our brain adalah membudayakan kebiasaan-kebiasaan baru yang positif dan memutuskan atau memberhentikan kebiasaan-kebiasaan buruk yang negatif.
Kenormalan baru di mana ada pola nilai-nilai bersama, kepercayaan, dan asumsi yang dianggap sebagai cara yang tepat untuk berpikir dan bertindak di dalam masyarakat kita. Semoga pandemi dapat benar-benar segera berakhir dan kenormalan baru dapat dijalankan dengan baik, sukses dan lancar. Aamiin (BIS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H