Jakarta, 26 Mei 2020. Banyak orang pada awalnya begitu mendengar kata "transformasi digital" hanya mengartikan atau memandangnya sesuatu istilah yang teoritis.Â
Namun proses transformasi itu sendiri tanpa disadari secara bertahap tetap terjadi, dan semakin ke sini dirasakan akselerasinya semakin cepat. Terutama begitu memasuki era pandemi COVID-19 berbondong-bondong masyarakat Indonesia semakin akrab dengan teknologi digital ini.Â
Terutama dengan teknologi informasi, intensitas penggunaannya semakin dahsyat. Seakan-akan ada yang memaksakan untuk menggunakannya setiap hari dan setiap saat.
Pada masa pandemi semua orang dipaksa bekerja dari rumah atau work from home. Tidak hanya bekerja saja, anak sekolah pun dipaksa belajar di rumah, semua orang melakukan ibadah keagaamaan dan hampir seluruh aktivitas lainnya diupayakan dari rumah.Â
Stay safe at home atau "di rumah aja" mendadak menjadi hashtag yang trending topic di dunia virtual. Bersyukurlah dengan COVID-19, telah berhasil mem-push terutama masyarakat Indonesia untuk menggunakan teknologi digital ini.Â
Semua orang sekarang tidak canggung lagi dan telah membiasakan diri melakukan pertemuan virtual dan menggunakan aplikasi-aplikasi webinar. Seperti; zoom, cisco webex, google meeting, microsoft teams, dan lain sebagainya. Sementara mungkin beberapa orang dan tidak banyak, sebelumnya telah melakukan percakapan video dengan skype, facetime dan whatsapp video call.Â
Begitu pula, sebenarnya sebagian orang pun telah terbiasa melakukan webinar semenjak 3-4 tahun yang lalu. Tetapi mungkin jumlah penggunanya masih terlalu sedikit. Namun perubahannya sekarang sangat signifikan, eksponensial meledak ya.Â
Hampir gadget semua orang terinstal aplikasi webinar seperti layaknya menggunakan media sosial lainnya (twitter, facebook, instagram, youtube, linkdin, whatsapp dan lain sebagainya). Â
COVID-19 seakan-akan memaksa kita lebih intens lagi menggunakannya. Termasuk kita memanfaatkan aplikasi-aplikasi di gagdet untuk memesan taxi online, mengantar barang, memesan makanan-minuman, membeli keperluan sehari-hari, bahkan membeli sayur dan buah-buahan secara online, seperti aplikasi tukangsayur.co.Â
Karenanya di era pandemi ini ada saja pihak-pihak yang diuntungkan secara bisnis. Ada beberapa industri yang justru tumbuh. Seperti industri IT dan telekomunikasi, industri kesehatan/medis/farmasi, industri supply-chain, industri pendidikan dan pelatihan secara online, serta masih banyak lagi.
Menurut Prof. Suhono Harso Supangkat, guru besar ITB yang pada kesempatan kali ini sebagai nara sumber mengisi acara ngobdar - ngobrol dalam jaringan bersama komunitas Neuronesia (01/05/2020), menyatakan dalam masa pandemi inilah kesempatan kita untuk dapat melakukan proses transformasi digital secara komprehensif.Â
Walaupun sebenarnya, untuk beberapa platform mungkin sudah berkembang duluan secara persuasif seperti gojek, bukalapak, tokopedia dan beberapa aplikasi lainnya.Â
Namun mengapa platform-platform seperti e-government, smart city, dirasa lambat sekali jalannya ya. Nah sekarang para kementrian baru menyadari, yang sebelumnya beliau sudah beberapa kali mengingatkannya jauh sebelum pandemi ini terjadi. Bahkan Prof. Suhono sempat melempakarkan ide untuk menerapkan konsep flexy working yang terdiri dari flexy time dan flexy place.Â
Maksudnya bekerja bisa dilakukan di rumah, di co-working space, di kantor dan bisa di tempat lainnya. Hal ini pernah disampaikan kepada Bappenas, dan sangat baik bila dilakukan (tanpa menunggu datangnya COVID-19) karena dapat menguraikan kemacetan lalu-lintas, waktunya juga lebih efisien, dan keuntungan lainnya.
Sekarang lebih luas lagi kita akan membahasnya. Alhamdulillah kita memperoleh hikmah pandemi ini yang tidak boleh keluar dari rumah. Karena apa-apa sekarang dilakukan dari rumah.Â
Apa-apa yang kita bisa persiapkan untuk keberlanjutan. Entah itu bisnis, entah itu keberlanjutan di dalam suatu komunitas, atau untuk berkelanjutan beraktivitas keseharian kita lainnya.Â
Beberapa pertanyaan dari teman-teman korporasi bumn dan swasta lainnya, seperti; 1) kenapa transformasi digital ini perlu untuk dilakukan, 2) apa yang perlu ditransformasikan, dan 3) bagaimana melakukannya.
Pertanyaan nyeleneh prof. sbb; siapakah leader yang paling baik melakukan transformasi digital ini? CEO, CFO, CMO, atau CIO kah...? Ternyata jawabannya C-OVID lah yang berhasil memaksa kita untuk bertransformasi.
Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada korporasi BUMN dan Swasta, namun juga berlaku untuk sekolah, kampus, komunitas, dan organisasi-organisasi masyarakat lainnya.Â
Menurutnya, transformasi merupakan sebuah proses perubahan secara sistematis untuk mencapai tujuan. Transformasi digital tidak terlepas dari user, brainware atau manusianya. Menarik dibahas dari perspektif human, psikologis dan neurosains.Â
Baik dari aspek individual, kelompok, maupun organisasinya. Kembali pertanyaannya apakah organisiasi memerlukan transformasi? Transformasi apa? Kehidupan kita di rumah perlu transformasi kah? Alat trasnformasinya berupa apa? Dan seterusnya.
Transformasi sendiri ada yang dilakukan karena memang direncanakan, namun ada juga karena situasinya yang mendesak seperti pada era pandemi COVID-19 sekarang ini.Â
Perlunya transformasi digital sesuai dengan penjelasan prof. Suhono, pertama karena adanya faktor pendorong teknologi berkembang sangat cepat. Bisnis berkembang sangat pesat. Kebutuhan dan keinginan manusia terus bertambah. Termasuk ingin berbelanja secara online.Â
Adanya perubahan perilaku dan interaksi dengan pelanggan dan mitra yang meningkat, seperti yang pernah penulis beberkan di penulisan-penulisan sebelumnya.Â
Selanjutnya juga karena kebutuhan adanya produk dan model bisnis baru. Optimalisasi dan manajemen berkapasitas bisnis. Kemudahan dan kecepatan dalam berbagai hal menjadi keharusan. Stabilitas, keamanan, integritas dan ketersediaan informasi yang non-stop.
Secara profesional, tujuan transformasi digital ada 5 hal terkait; 1) guna meningkatkan efisiensi atau improve efficiency, 2) untuk meraih keunggulan operasional dan layanan, atau operational and service excellence, 3) bemanfaat juga untuk pengelolaan resiko atau managing risk, 4) bertujuan meningkatkan nilai pelanggan atau enhance customer value, dan terakhir 5) agar dapat menemukan peluang monetisasi baru atau uncover new monetization opportunities.
Nah menurut prof. Suhono hal itu semua tidak terlepas karena adanya disruption. Adanya teknologi dan sosial disruptif, adanya society 5.0, dan adanya relovusi indutri 4.0. Disruption ini yang memberikan perubahan-perubahan pada kehidupan kita.Â
Beberapa perusahaan yang tetap survive di tengah-tengah perubahan ini seperti; alibaba, traveloka, gojek, tokopedia, grab, agoda, air bnb, bukalapak, amazon.com, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan yang selamat tersebut umumnya berbasis digital platform.
Jadi sekali lagi, perubahan transformasi digital dapat direncanakan namun juga akan terjadi karena tekanan lingkungannya. Misalkan; mau tidak mau masyarakat berbondong menggunakan aplikasi yang tersedia di google play store atau apple store untuk memesan makananan untuk dapat bertahan hidup, atau untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan lainnya.Â
Seperti kata Andy, Groove dari Intel; "The Internet a typhoon force, a ten times force, or is it a bit of wind? Or is it a force that fundamentally alters our business?" Dalam konteks ini COVID-19 telah menggantikan typhoon-nya.Â
Untuk bertahan hidup, agar tetap berkelanjutan aktivitas pekerjaan yang dilakukan dari rumah, juga supaya kegiatan anak sekolah tetap berkesinambungan walaupun proses belajarnya di rumah, dan lain sebagainya.
Oleh karena kemajuan teknologi internet enables communication between millions of connected computers worldwide, sehingga kita dapat berhubungan dengan setiap manusia di mana saja secara mudah selama terhubung dengan koneksi internet dan memiliki aksesnya.Â
Bahkan kita secara mudah dapat berpindah dari menghadiri satu rapat ke rapat virtual lainnya dengan sangat cepat. Tanpa harus bersusah payah memesan tiket pesawat maupun kereta, atau harus berjam-jam dan bermacet ria menggunakan kendaraan lainnya.
Banyak bisnis yang berakhir mati. Namun sekarang banyak juga yang bertumbuh seperti yahoo, google, facebook, whatsapp, bukalapak, tokopedia dan lain sebagainya.Â
Bagaimana nasibnya seperti PT Pos Indonesia, yang akhirnya sekarang ikut membantu mengirim bantuan sosial ke daerah-daerah plosok. Bagaimana pula dengan PT Telkom Indonesia?Â
Bagaimana teknis pengiriman uang kepada masyarakat miskin yang tak punya rekening bank dan tidak memiliki nomor telepon serta akses internet. Masih banyak masalah terkait proses digitalisasi yang harus lebih meng-cover seluruh lapisan masyarakat.
Masih ingat dulu juga kan kisah perjalanan bisnisnya Nokia dan Kodak, katakan perubahan transformasi digital gelombang satu. Jadi sebenarnya siapa yang harusnya berubah dan siapa yang telah mengalami perubahan. What really change is... manusianya itu sendiri. The very nature of people is change due to internet.Â
Bila kita masuk membicarakan manusianya, artinya kita akan bersentuhan dengan generasi milenial. Generasinya juga berubah. Ada generasi X, generasi Y, dan akhirnya kita menyebut C Gen atau Generasi C dengan ciri-ciri sifat karakter perilakunya sbb; kreatif, cepat, kolaboratif, no limited to location, dan always connected to the internet.Â
Di samping itu sekarang ada Industry 4.0. Apa ini sebenarnya? Industri 4.0 ujung-ujungnya adalah digitalisasi. Lebih menuju ke arah cyber physical system yang merubah proses-proses kerja fisik seperti yang ada di pertanian, di pabrik dan yang peta kontrolnya menggunakan digital dan cyber.Â
Industri 4.0 menggabungkan berbagai teknologi otomatisasi dengan teknologi siber, termasuk sistem siber-fisik, internet of things (IoT), komputasi awan, dan komputasi kognitif. Kemudian juga menggunakan big data analytics yang sifatnya deskriptif, prediktif, dan preskriptif. Serta akan dikembangkan dengan AI (Artificial Intelligence).
Kemudian dari Industry 4.0 kita ke Society 5.0. Fokus pada pengembangan masyarakat agar dapat menikmati kehidupan yang berkualitas tinggi dengan menggabungkan atau memanfaatkan teknologi canggih dari berbagai industri dan kegiatan sosial mendorong inovasi untuk menciptakan nilai baru.Â
Jepang mencirikan society 1.0Â dimulai dengan masyarakat berburu. Kemudian masyarakat pertanian (society 2.0), masyarakat industri (society 3.0), masyarakat informasi (society 4.0), dan sekarang kita merupakan masyarakat kelima yang berpusat pada manusia atau human-centered society yang berbasiskan teknologi.
Transformasi digital juga akhirnya berdampak kepada perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup mendorong perubahan masyarakat. Masyarakat menjadi digitalize dan tidak terbatas oleh batasan fisik.Â
Gaya hidup lama yang dulu lebih centralized, physical, segmented, dan time-constraint. Sedangkan gaya hidup baru berubah menjadi lebih distributed, virtual, connected, dan timeless.Â
Timeless, contohnya melalui aplikasi webinar kita dapat melakukan rapat virtual dengan teman-teman kita yang berada di berbagai macam negara dari berbagai belahan bumi dan jam yang berbeda sekaligus.
Perubahan masyarakat menyebabkan perubahan struktur kehidupan. Dari "kota fisik" menjadi "kota digital". Pada kota fisik bagian kota yang menjadi lokasi utama interaksi sosial dan ekonomi. Menyediakan sumber daya dan daya dukung lingkungan.Â
Sedangkan di kota digital, bagian kota menjadi lokasi hidup data dan informasi kota. Terhubung ke kota fisik dengan menggunakan antar muka cyber physical.Â
Kekuatan pendorong disrupsi digital, disrupsi akibat adanya pemanfaatan teknologi lanjut muncul pada berbagai sektor kehidupan. Harapannya menjadi kehidupan yang lebih bermakna. (BIS)
Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H