Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 22 Mei 2020. Sampai dengan tulisan ini dibuat, kita semua masih dalam masa pandemi COVID-19 yang penuh ketidakpastian. Semoga wabah pandemi ini dapat segera berakhir. Jumlah penduduk Indonesia yang terpapar positif, pasien yang dirawat hingga jumlah yang meninggal terus bertambah. Pandemi yang telah dinyatakan oleh badan dunia WHO pada tanggal 11 Februari 2020, secara resmi kasus pertama terjadi di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Sistem kesehatan, protokol pandemi, dan biaya pengobatan atas penyebaran virus ini menggambarkan ketidaksiapan kita. Anggaran biaya tidak cukup hanya mengandalkan BPJS, pemerintah akhirnya mengalokasikan dananya langsung dari APBN.
Seperti yang kita ketahui bersama, di Indonesia kebijakan yang diambil dan diterapkan adalah PSBB atau pembatasan sosial berskala besar, menggantikan kebijakan lockdown. Penerapan PSBB ini pun tidak semua di kabupaten atau propinsi. Istilah asing social distancing, physical distancing, school from home dan work from home menjadi akrab di telinga. Sesungguhnya hal ini berat dilakukan oleh bangsa kita. Walau menurut sejarah pandemi di Indonesia juga pernah mengalami beberapa kali di waktu yang silam, namun pandemi kali ini benar-benar sangat berbeda. Seperti yang dijelaskan oleh ibu Supra Wimbarti MSc., PhD. (yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi UGM, dan saat ini beliau masih aktif mengajar, serta sebagai salah satu anggota Dewan Pengawas TVRI), bahwa bangsa kita yang dari dulu memiliki budaya kolektivistik mendadak dipaksa sementara menjadi individualistik. Konotasi individualistik di sini dalam artian yang baik. Artinya kultur kita yang biasanya ngumpul harus berada di dalam rumah saat ini. Sering kan kita mendengar pernyataan; "mangan ora mangan yang penting ngumpul".
Penjelasan bu Supra ini disampaikan dalam paparan di kesempatan acara ngobdar Neuronesia komunitas pencinta ilmu neurosains, Jumat 22 Mei 2020. Serial ngobdar atau ngobrol dalam jaringan menggantikan kopi darat temu fisik komunitas ini dilakukan melalui aplikasi zoom yang sekarang sedang marak mendunia selama pandemi ini. Bahkan jauh meninggalkan teman-temannya seperti aplikasi skype, cisco webex, microsoft teams, google meeting dan lain sebagainya. Penggunaan teknologi online ini menjadi intens, menjadikan gegar budaya teknologi. Menurutnya, seperti budaya kolektivitas lainnya, yaitu; budaya mudik juga harus ditunda dulu jelang lebaran tahun ini. Bagi umat Islam ramadhan tahun ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Semua ibadah yang biasa dilakukan berjamaah di masjid sekarang harus dijalankannya masing-masing di rumah.
Di bidang ekonomi, COVID-19 telah banyak mendatangkan kerugian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dunia pun tertahan serta melambat. Work from home, bekerja dari rumah, beberapa teman kita digaji sebagian atau tidak 100% penuh dibayar, banyak juga yang tidak sama sekali dibayar. Istilah yang tepat adalah 'unpaid leave'Â menggantikan work from ini. Bahkan banyak yang memang dirumahkan alias di-PHK. Jumlah tingkat pengangguran pun bertambah. Sampai kapan ini terus terjadi? Banyak informasi yang simpang siur. Masyarakat tidak bisa membedakan antara fakta dan hoax. Bahkan pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah pun masih banyak yang saling bertentangan.
Menurut ibu Supra, ketidakpastian ini menimbulkan banyak kecemasan, yang akhirnya menimbulkan stres dan depresi. Banyak perubahan perilaku di masyarakat tidak hanya menjadi lebih intens meggunakan teknologi. Perubahan perilaku yang dirasakan, pastinya masyarakat kita menjadi lebih menaruh perhatian terhadap gaya hidup sehat. Setidaknya akan selalu menggunakan masker, selalu mencuci tangan dan berjarak dalam menjalankan aktivitas. Walau pun sebagian masyarakat masih ada yang kekeuh dan keras kepala, masih melakukan aktivitas sosial berskala besar seakan-akan pandemi tidak terjadi di negeri kita. Seperti tidak dapat menahan diri membeli baju lebaran. Faktanya juga masih ada yang menyelenggarakan acara yang menyebabkan kerumunan masa, seperti konser musik, pembagian sembako, penutupan waralaba cepat saji yang terkenal berlokasi di Jakarta Pusat dan lain sebagainya.
Dua kata kunci; 'kesadaran' dan 'disiplin' masyarakat yang tinggi dibutuhkan sekarang ini. Kepiawaian pemimin dan kepemimpinan setiap negara diuji dalam masa pandemi ini. Diperlukan tidak hanya penyusunan dan pengesahan Undang Undang terkait COVID-19, tetapi yang lebih penting lagi adalah ketegasan, penegakan hukumnya serta kepastian kebijakan. Sehingga justru tidak menambah kebingungan yang menimbulkan stres masyarakat bertambah. Banyak data dan informasi yang tidak sama, membingungkan bahkan saling kontradiktif akan menimbulkan kecemasan. Seperti pembahasan ngobdar Neuronesia sebelumnya tekait dengan pentingnya pemanfaatan teknologi Big Data. Salah satu masalah besar bangsa ini tidak ada 'kesatuan data'. Seperti; kapan prediksi COVID-19 ini akan berakhir? Masing-masing membuat prediksi yang berbeda. Prediksi BIN, ITB, UGM, SUTD (Singapore University of Techonology and Design). Lembaga-lembaga peneliti baik dalam negeri maupun luar negeri yang menghasilkan prediksi yang berbeda berdampak buruk kepada psikologi masyarakat.
Terlepas kapan berakhir pandemi ini, "the new normal" akan menjadi suatu kebiasaan perilaku masyarakat yang baru dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.  Saat kurva telah melandai, bukan sekedar PSBB yang dilonggarkan. SOP perlu dibuat di dalam aktivitas masyarakat dalam bekerja, bersekolah, beribadah, dan seterusnya. Standard operating procedure dalam menggunakan transportasi publik, mengantri dan berjarak memasuki gedung perkantoran, pertokoan, pusat belanja dan pusat hiburan, serta fasilitas publik lainnya akan melalui sistem protokol yang ketat. Dari mulai diwajibkan penggunaan masker, deteksi suhu tubuh, disinfectant chamber, hand sanitizer atau wastafel tempat pencuci tangan, dan lain sebagainya. Termasuk SOP menerima tamu di rumah atau bertamu, menerima makanan yang diantar sesuai pesanan, dan memasuki rumah setelah berpergian.
Perubahan budaya masyarakat menjadi lebih higenis. Setidaknya selalu menggunakan masker, sering mencuci tangan, dan menjaga jarak dalam mengantri. Intensitas penggunaan teknologi, online of everything pun menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Belanja online, pesan makanan delivery service, delivery order, penggunaan aplikasi webinar, seminar dan pelatihan-pelatihan online, sekolah dan berkerja di rumah menjadi bagian yang mewaranai kehidupan kita. Untuk sebagian orang, mungkin pada awalnya kebiasaan dan budaya baru ini akan meyengsarakan diri. Terutama seperti yang sedang dialami umat Islam di Indonesia saat ini. Belajar menahan diri untuk tidak keluar membeli baju baru lebaran, tidak bersilaturahmi antar sanak saudara dan kerabat dekat, beribadah dan lebaran di rumah, tidak pulang mudik pulang ke kampung halaman sebagaimana yang dilakukan setiap tahun sebelumnya. Sama halnya aktivitas lainnya seperti halal bihalal dan reunian belum bisa dilakukan dulu.
Kemudian apa hubungannya dengan fungsi eksekutif kita berpikir? Apa sih itu fungsi eksekutif atau executive function? Sebenarnya di dalam kita beraktivitas dan bersosialisasi baik dirumah, di sekolah, di kantor, dan tempat lainnya, agar dapat berfungsi sehat dan berfungsi normal kita membutuhkan fungsi eksekutif yang baik. Fungsi yang berbeda dengan fungsi yudikatif ataupun legislatif. Dibutuhkan fungsi eksekutif yang baik agar dapat meregulasi diri terutama meregulasi pikiran rasional dan perasaan emosional.