Jakarta, 7 Maret 2020. Di zaman now yang serba didukung oleh teknologi informasi dengan gawai yang senantiasa menempel di genggaman tangan, tak disadari dunia telah berubah jauh.
Kita akan lebih menaruh perhatian terutama kepada generasi penerus bangsa, dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari dan masa depannya. Kemajuan teknologi memang tidak selalu berdampak buruk. Banyak hal positif yang memudahkan kehidupan mereka.
Pada kesempatan ini, fokus kita membahas dampak ketagihan game, khususnya video game yang tentunya sekarang lebih banyak dikenal dengan "online video games". Baik itu pada anak-anak usia dini, remaja, maupun pada orang dewasa.
Banyak yang tidak sadar mereka terjerat dan masuk ke dalam siklus ketagihan bermain game ini. Dan pada saat sadar, mereka juga tidak mudah keluar dari lingkaran adiksi ini.
Beberapa orang memutuskan untuk membuat perubahan dan berhenti atau tidak tergantung sama sekali lagi oleh video game online ini. Beragam pula faktor yang menyebabkan mereka memutuskan untuk berhenti melakukannya.
Ada yang berhenti begitu saja, misal; mereka merasa bosan. Ada yang terinspirasi oleh orang lain maupun pengaruh informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh dari internet.
Ada yang merasa menyesal karena telah banyak membuang waktunya percuma, dan mereka sadar pada akhirnya - harusnya dapat mengisi waktu yang mereka miliki untuk banyak hal yang lebih mengandung maslahat daripada mudharatnya.
Tapi, anehnya banyak juga sebaliknya. Artinya mereka tetap mempunyai kebiasaan bermain game online tadi, dan merasakan banyak memperoleh manfaat.
Memang ada juga mereka yang merasa selalu gagal untuk berhenti atau keluar dari adiksi ini. Walaupun sesungguhnya mereka ingin berhenti atau tidak mau melakukannya kembali.
Bila kita mencarinya di Google, berbagai macam alasan mereka akan kita temukan. Sangat luar biasa frustasi, ada yang ingin belajar terus, dari level satu ke level berikutnya. Ada juga beralasan mereka kenapa selalu bermain game hanya untuk menghindari belajar, atau bergaul dengan teman-teman.
Ada ide bagus untuk berhenti dari ketagihan video game online ini; yaitu dengan memutuskan untuk membagikan ceritanya melalui tulisan yang diposting di blog dengan judul tentang cara berhenti bermain video game selamanya.
Ternyata responsnya luar biasa, ini menimbulkan neurotransmitter dopamine reward pathway di kepalanya yang merangsang untuk menulis lagi menulis lagi. Ada juga yang membagikan cerita pengalamannya bermain video game online di media-media sosial.
Menurut penelitian 97% remaja (64 juta anak-anak di AS) bermain video game, dengan rentang usia antara 2 dan 17. Di UK 10% lebih banyak anak berusia 2 hingga 5 tahun mengetahui bagaimana cara mengoperasikan aplikasi smartphone daripada cara mengikat tali sepatu mereka.
Sayangnya terjadi perdebatan seputar permainan video, apakah mereka harus bermain atau tidak. Kapan mereka mengatakan harus minum atau tidak. Jika mereka bisa melakukannya dalam jumlah sedang itu tidak masalah, namun bagaimana jika mereka benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa.
Bayangkan jika sekarang mereka terjebak di rumah bermain video game dan mereka ingin berhenti, namun tidak tahu bagaimana caranya. Rasa sakit apa yang mereka rasakan? Perasaan bersalah? Merasa tertekan? Dan seterusnya.
Ternyata yang lebih penting, kita harus mempunyai pertanyaan yang terbalik; kenapa mereka bermain video game online ini. Ada 4 alasan utama kenapa mereka bermain video game: 1) temporary escape, 2) they are social, 3) they are challenge, 4) constant measurable growth. Mari kita bahas satu per satu, sbb:
1) temporary escape
Misal, setelah putus cinta pada usia 18 tahun, bermain game online sepertinya dapat memberikan kesempurnaan. Seakan-akan dapat mengobati rasa patah hati. Bahkan karena merasa nyaman, dapat bermain game selama berjam-jam. Alasan pembenarannya; untuk melupakan ingatan yang menyakitkan. Mengalihkan pusat perhatian.
2) they are social
Bagi mereka tetap di rumah pada hari Jumat malam sepertinya tidak terlalu buruk. Mereka tinggal di rumah dapat bermain game bersama "teman-teman"-nya secara online.
Tidak hanya itu, tetapi juga dengan game dapat bermain "secara bersih". Tidak ada yang mengatur diri mereka di dalam game tadi. Mereka dapat berperan sebagai siapa saja, dan dapat melakukan apa saja sesuai karakter yang diinginkan.
Mereka seakan-akan merasakan menjadi dirinya sendiri. Mereka dapat bersosialisasi secara online, yang tidak menuntut latar belakang dan status sosialnya. Bebas melakukannya, tanpa harus merasa minder. Dinilai bukan dari siapa mereka, tapi kemampuan bermain game-nya seperti apa.
3) they are challenge
Game menurut mereka sebagai sebuah tantangan yang memberikan tujuan. Misi tujuan untuk bekerja menuju sebuah paradigma pencapaian prestasi. Gandakan peluang untuk meraih sukses.
Pada akhirnya, mereka dapat melihat jumlah pertumbuhan yang terukur. Hal itu berdampak baik, karena otak manusia akan senang bila ada feedback, umpan balik atau masukan. Serta akan stress bila sebaliknya; tidak ada feedback. Dengan begitu mereka melihat ada progress.
4) constant measurable growth
Pada kehidupan yang nyata diperlukan pujian sebagai suatu upaya meningkatkan status sosial mereka. Namun di game online atau dunia virtual mereka memperolehnya dalam bentuk-bentuk reward yang menarik, dengan siklus yang lebih pendek.
Pertimbangkanlah bagaimana mereka dapat melihat progress. Waspada juga bagaimana mereka merasa telah berhasil mencapai tujuannya. Kombinasikan 4 area ini, mereka memiliki proses yang sangat adiktif.
Terus bagaimana solusinya? Apakah kita dapat memperbaiki permasalahan ini. Ketagihan video games online adalah mereka merasakan sekan-akan dapat kesempatan untuk berkembang pada saat mereka merasakan suatu aktivitas atau keadaan yang jenuh dan membosankan.
Para orang tua harus mulai sadar. Ipad, tab, smartphone, netbook, notebook, atau gadget lainnya bukanlah "pengasuh" atau babysitter yang mereka perlukan sesungguhnya. Mereka membutuhkan interaksi, bukan hiburan game yang sebagai penggantinya. Mereka bermain untuk berbagi.
Berikutnya, agar parang orang tua semuanya tahu; mereka para "gamer" bermain bukan tanpa alasan. Justru mereka mempunyai alasan khusus untuk bermain. Salah satu alasan utamanya; mereka dapat mengidentifikasi motivasi dan menemukan alasan kenapa mereka harus beraktivitas yang lain.
Bantu mereka menemukannya. Bantu mereka dengan bagaimana meningkatkan keterampilan sosialnya. Kenyataan sebenarnya kalau saja kita memahami betul, bahwa mereka benar-benar berjuang dalam bersosialisasi yang baik, bergaul dengan benar atau sekedar berteman secara positif.
Terakhir, ingat kepada para orang tua murid; jangan sekali-kali memarahi dan menghukum mereka atas keinginannya untuk bermain video games. Bicaralah dengan lembut, datang dari hati dengan perasaan penuh kasih sayang dan berikan dorongan atau dukungan.
Jangan men-judging atau menilai. Jadi yang paling penting bukan minta mereka berhenti secara langsung atau keluar dari ketagihan - adiksi game ini. Yakinlah selalu ada cara lain dalam penyampaian yang sebenarnya.
Kenyataan sesungguhnya; apakah ini tentang gagasan perasaan teperangkap atas kebebasan hidup mereka, yang mereka sendiri ingin berubah. Atau kebebasan hidup mereka untuk menjadi dirinya sendiri.
Tentunya dengan bahasanya mereka, bukan menggunakan istilah kita. Terkadang mungkin dengan perkataan minta ijin atau permission. Misal, ijin untuk mereka berhenti bermain video game. Kita harus minta ijin untuk mengingatkannya.
Menarik memang untuk dibahas. "Gampang-gampang susah" atau sebaliknya. Di acara-acaanya kopi darat komunitas Neuronesia beberapa kali pernah dibahas terkait seminar dan diskusi seputar ilmu neurosains adiksi ini dalam bentuk talkshow dan diskusi. (BIS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H