Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengetahui Persis Keinginan Pembeli

26 Februari 2020   13:20 Diperbarui: 27 Februari 2020   08:37 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 26 Februari 2020. Apakah Anda setuju sering kali kita sebagai audiens secara tidak sadar mampu membedakan atau memilih gambar iklan mana yang lebih menarik dari kedua advertising suatu produk yang ditayangkan di majalah, di televisi, di bioskop, di billboard, di media luar ruang, atau di media sosial. Beda jenis produk beda pula tantangannya.

Iklannya mungkin saja bisa menarik kita, tapi tidak secara otomatis menarik juga bagi target segmen lainnya. Misalkan untuk produk popok bayi. Atau produk elektronik yang disasar kepada target audiens kelas atas (SES A class). Sedikit berbagi pengalaman; satu dekade yang lalu pada saat penulis masih aktif bekerja sebagai konsultan pemasaran di suatu agen media periklanan memperoleh tantangan untuk membantu membuat rancangan aktivitas pemasaran televisi dengan merek dan spesifikasi yang 'high-end'. 

Saat itu produknya dipasarkan di Jakarta dengan harga 100 juta rupiah. Memutar otak untuk berkontribusi membantu cara menjual yang efektif. Beda produk beda tantangannya dalam mengiklankan dan memasarkan produk. Ternyata tidak semua produk dapat diiklankan. Ada produk tertentu yang justru bila diiklankan malah mereka tidak mau membelinya, khususnya segmen pasar produk TV tersebut.

Terkadang kita memilih iklan mana yang lebih kita sukai, tanpa dapat menjelaskan kenapa memilihnya. Sementara kita sebagai manusia faktanya dapat memproses lebih banyak informasi yang kita ketahui secara sadar. Sangat mengejutkan bagaimana mungkin sesuatu tampak seakan-akan begitu tidak signifikan, namun mampu membuat perubahan besar dalam keberhasilan sebuah iklan. Dengan dukungan kemajuan teknologi, sehingga bisa diungkapkan ini secara nyata melalui riset neuromarketing atau riset pemasaran yang berbasiskan neurosains.

Menurut praktisi neuromarketing Sam Usher, para neuromarketer mulai meneliti cara-cara lain yang bisa dilakukan pemasar yang memanfaatkan alam bawah sadar atau pikiran-pikiran otomatis proses pengambilan keputusan. Terpapar dari penelitian; lebih dari 4.000 iklan setiap harinya otak manusia terekspos. 

Hal ini menjadi tantangan tersendiri agar neuromarketer bisa merangcang dan mengkonsep iklan yang jauh lebih baik dan menarik agar tetap lebih efektif terutama kepada target segmen yang dituju. Menurutnya masa depan pemasaran sedang menuju pemanfaatan dan pengaplikasian strategic neuromarketing.

Sam Usher belajar Teknik Psikologi di Tufts University. Dia secara khusus tertarik pada neuromarketing dan psikologi konsumen. Ketertarikannya pada neuromarketing berkembang setelah bekerja di Nielsen Consumer Neuroscience, sebuah perusahaan neuromarketing yang menggunakan berbagai teknologi neuroscience untuk menganalisis efektivitas periklanan, pengemasan, elemen dalam toko, dan banyak lagi. Sam adalah senior di Tufts jurusan Teknik Faktor Manusia. Sam percaya bahwa periklanan dan pemasaran memengaruhi kita setiap hari, dan menurutnya penting untuk mengetahui psikologi dan neurosains yang digunakan untuk menargetkan konsumen.

Lalu apa sih Neuromarketing?

Menurut Sam, Neuromarketing adalah bidang riset pasar yang sedang berkembang pesat, yang menggunakan prinsip-prinsip dan teknologi neurosains, untuk menciptakan iklan yang jauh lebih baik. Para neuromakerter mengerti bahwa konsumen tidak selalu melakukan hal-hal yang mereka katakan akan lakukan kepada dunia, di sekitar kita dalam milidetik membuat keputusan emosional bawah sadar. Hal inilah yang  memengaruhi apa yang kita lakukan dan apa yang kita beli bahkan tanpa kita sadari.

Coba pikirkan berapa kali kita pergi ke supermarket untuk melakukan pembelian yang impulsif. Membuat keputusan membeli suatu item di luar catatan belanja yang telah dibuat. Padahal benar-benar kita tidak memerlukannya. Belum sampai rumah pada saat otak PFC kita mulai aktif dalam perjalanan rumah, kita mulai sadar dan menyesali kenapa item tersebut ikut kita beli.

Contoh lain, sepanjang waktu kita telah menyanyikan lagu yang baru saja muncul secara acak di kepala kita. Tetapi faktanya ternyata lagu tersebut telah diputar di suatu stasiun radio FM yang secara tidak sadar kita mendengarkan sebelumnya pada saat mengendarai mobil di jalan.

Keduanya merupakan contoh bagaimana pengaruh pikiran otomatis alam bawah sadar kita. Bayangkan, keputusan kita dan sekarang dengan pemasaran teknologi neurosains yang modern telah dapat mengukur proses keputusan ini. Dan melihat bagaimana pengaruhnya perilaku pembelian kita dengan melihat pusat otak kita, yang selalu berurusan dengan; perhatian atau attention, memori dan emosi.

Neuromarketer dapat mengukur keseluruhan keterlibatan kita dengan iklan, dan melihat seberapa besar kemungkinan kita harus membeli produk karenanya. Obsesi mengimplementasikan dengan pendekatan neuromarketing membuat Sam tertarik menghabiskan liburan musim panas bekerja di Nielsen Consumer Neuroscience. Sebuah perusahaan neurosains di Boston.

Suatu hari saat beliau berbicara dengan seorang teman tentang iklan terburuk yang pernah dimiliki. Melihat mereka memutuskan untuk melakukan apa yang terbaik. Memberikan kesempatan magang akan melakukan sebuah penelitian neuromarketing dengan analisis lengkap tentang yang terburuk dari Kendall Jenner generasi kita iklan Pepsi terkenal di tahun 2016.

Sam tahu kita akan berpikir bagaimana mungkin mereka salah paham kalau iklan berjarak dekat dengan kemarahannya pemirsa yang mengatakan sebuah protes diremehkan baru-baru ini secara khusus. Namun gerakan 'orang hitam' penting itu adalah pengiriman pesan dan kualitas, atau kemiskinan, maupun hanya kurang peka atas kesadaran sosial yang menyebabkan iklan Pepsi gagal.

Meraka mulai menganalisis dengan melihat keterlibatan biometrik atau biometric engagement. Metrik itu mengukur detak jantung dan galvanik respons kulit kita, atau seberapa banyak kita berkeringat. Pada dasarnya semakin enggage kita, semakin tinggi detak jantung kita, dan semakin banyak kita mulai berkeringat. Dan biometrik mengukur dan menghitung semua perubahannya.

Mereka juga mengumpulkan data pelacakan mata dan pengkodean data wajah eye and visual tracking data, dan tanggapan terhadap laporan pemirsa terhadap tayangan iklan tersebut. Mereka pertama kali melihat keseluruhan jejak keterlibatan biometrik dan segera memperhatikan bahwa sebagian besar iklan jatuh di bawah garis ungu yang mewakili keterlibatan netral. 

Artinya selama ini bagian dari iklan pemirsa secara aktif tidak terlibat memperhatikan dan tidak memproses informasi yang disajikan kepada klien. Mereka kemudian melakulan penelitian ulang dengan teknologi neurosains untuk membuktikan dan "membedah" iklan secara nyata, serta memperbaikinya.

Beberapa masalah etika harus dipertimbangkan kemungkinan pada penggunaan neuromarketing negatif. Bagaimana jika neuromarketing dan neuroadvertising digunakan pada kampanye politik, atau topik kontroversial, atau pemungutan suara penting, atau bahkan propaganda salah satu kritik terbesar terhadap neuromarketing yang diduga mengambil keuntungan besar dari konsumennya.

Beberapa orang yang tidak menyukai kemajuan neuromarketing menganggap bahayanya efek pemasaran neuromarketing yang memanipulasi iklan dan kampanye. Mereka menganggap neuromarketing mempermainkan harapan dan ketakutan orang lain untuk membuat mereka bertindak dan berpikir dalam cara tertentu untuk mengambil keputusan konsumtif.

Pada kenyataannya; sebelum adanya neuromarketing pun periklanan dianggap oleh sebagian mereka sebagai pengaruh iblis. Aktivitas periklanan berfungsi untuk membentuk pendapat tentang suatu merek, atau merubah pesan citra merek yang baru. Iklan dibangun membuat kita merasa dan berpikir dengan cara tertentu. Membuat kita menginginkan hal-hal dan yang paling penting untuk melibatkan pemasar menyisipkan pesan yang bisa masuk ke otak manusia untuk menarik perhatian ide itu.

Neuromarketing secara inheren membuat iklan manipulatif, benar-benar absurd karena semuanya berinteraksi dengan mempengaruhi kita dalam beberapa cara atau lainnya. Nantinya ke depan, justru dengan neuromarketing dapat juga memintarkan konsumen agar tidak mudah "dibohongi" produsen-produsen nakal. Dengan kata lain neuromarketing juga membantu melindungi konsumen.

Hak kita untuk memasukan consumer neuroscience. Bill of Rights dibuat di 1962 oleh Presiden John F Kennedy di untuk melindungi hak-hak konsumen di seluruh dunia. Termasuk hak untuk pendidikan konsumen yang merupakan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dan hasil keputusan percaya diri diinformasikan meskipun definisi ini mungkin sudah cukup tua di tahun 60an.

Kita percaya perlu diperbarui untuk memasukkan neuromarketing dan membuat pembatasan tentang bagaimana kita dapat meluruskan opini sempit terhadap neuromarketing. Seharusnya hanya diizinkan pada produk konsumen yang tidak aktif. Kampanye politik juga diperbolehkan namun yang tidak pada topik kontroversial. 

Tidak pada masalah isue pemilihan, dan jelas-jelas bukan alat propaganda. Masih ingat kan, pada saat musim kampanye pemilihan calon presiden dan wakil presiden yang baru kita lewati bersama tahun lalu. Antara 01 dan 02. Betapa mengerikannya bila pemasar politik hanya bermain di lower brain level, alias croc brain, alias crocodile brain atau lizard, reptilian brain, alias brainstem atau batang otak sebagai survival brain function, yang sebenarnya sangat tidak mendidik.

Memang risiko emulasi terlalu tinggi dan kita harus merangkul dalam pemasaran kita dengan tangan terbuka dengan cara yang sama seperti itu. Teknologi baru tampak menakutkan ketika pertama kali diperkenalkan kepada banyak orang. Persis yang terjadi sekarang; ketakutan berlebih terhadap neuromarketing dan implikasi yang dimilikinya.

Kita harap bisa menunjukkan bahwa tidak ada alasan untuk takut pada pemasaran neuro atau neuromarketing ini. Kita harus menerimanya sebagai masa depan beriklan dengan neuromarketing. Kita dapat menciptakan barang sosial dan menimang iklan dengan mempelajari neuromarketing. Dengan neuromarketing iklan bisa menjadi semenarik mungkin. Mampu menciptakan merek yang kuat. Berpikiran inovasi menciptakan merek dan produk melalui ilmu neuromarketing. (BIS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun