Aku adalah petani pemula yang kerap ditertawakan. Selain karena kerap gagal panen, tanaman jelek, tak terpelihara dengan baik, modal bertani pun tidak ada. Permasalahannya lengkap : ilmu-pengalaman dan finansial kurang.
Sehingga, segala upayanya saya lakukan sendiri-sendiri untuk lahan 4,5 are. Mulai dari bajak tanah, buat bedengan, pasang mulsa, menanam bibit sampai dengan pembasmian gulma. Dilakukan dengan sendiri-sendiri.
"Bajak tanahnya makanya dengan menyewa traktor, supaya gembur. Beli buruh makanya buat bedengan supaya bagus. Beli mulsa makanya supaya tidak capek basmi gulma. Beli bibit tomat makanya supaya dapat harga mahal," kata tetangga dan puluhan warga yang kerap saya dengar yang buat saya lama-lama malu dan minder.
Apa yang disarankan di atas, 100 persen shahih secara dunia pertanian. Namun secara kondisi ekonomi mereka belum paham.
Karena, penghasilan saya jadi perangkat desa hanya Rp 250.000 perbulan. Sisa potong Bank yang saya pinjam dengan sistem potong gaji buat beli rumah.
Saya pinjam Rp 50 juta dengan tempo perjanjian 4 tahun sejak 2019 lalu. Dengan bunga yang cukup besar tapi Bank tersebut tidak merepotkan tentang maju mundurnya gaji saya keluar. Hal ini saya ambil karena pengen sekali punya rumah dari dulu yang kebetulan ada yang jual murah dan dekat jalan desa.
Istri juga kerap mendesak saya untuk segera punya rumah karena kerap sekali perang dengan nenek saya. Saat saya numpang di rumahnya sebelum punya rumah. Istri saya kerap kabur pas saya keluar dari rumah dengan alasan berantem sama nenek saya karena masalah-masalah sepele seperti yang kerap terjadi antara mertua dengan menantu, dengan ipar dan lain-lain.
Dengan sisa gaji Rp 150 ribu perbulan tersebut, habis buat arisan keluarga Rp 120 perbulan. Untuk beli beras dan lain-lainnya saya harus putar otak. Apalagi untuk biaya bertani saya harus mandiri.
Okelah, semua ocehan warga dan tetangga saya tampung dan tetap bersabar walau hasil tani tak bagus-bagus amat.
Sedangkan untuk mengisi lahan warisan orang tua 30 are, saya harus utang sana-sini. Utang bibit, utang pupuk, utang upah buruh dan sebagainya.Â