"Nek aku korupsi ora Slamet"
Tulisan itu terpampang di stiker yang ditempel Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di mobil-mobil dinas pejabat Pemprov Jateng. Aku tidak akan selamat jika korupsi, demikian kurang lebih artinya. Itu adalah ungkapan menyumpahi. Orang Jawa menyebutnya nyepatani.
Dalam tradisi Jawa, para sesepuh (orang-orang yang dituakan) sering mengingatkan agar jangan mudah nyepatani atau menyumpahi. Sebab kadar kalimat itu setara doa mustajab. Bahkan banyak yang menilai kalimat nyepatani itu setara mantra. Mereka yang paham nilai-nilai Jawa tidak akan berani mempermainkannya.
Tapi akan lebih sangat berbahaya jika berani nyepatani, menyumpahi diri sendiri. Karena kemungkinannya untuk jadi kenyataan bisa berkali-kali lipat. Nah masalahnya, ketika pejabat menempel stiker itu di mobil dinasnya, bukankah sama dengan pejabat itu menyumpahi dirinya sendiri. Begitu juga Ganjar yang nyepatani diri dengan menempelkan stiker itu di mobil dinas H1.
Tapi kok Ganjar berani? Mungkin karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka harus dilawan dengan keluarbiasaan pula. Setelah sistem antikorupsi ia bangun di Jateng, Ganjar ingin memperkuatnya dengan benteng kesadaran pribadi. Dengan stiker itu Ganjar mengajak pejabat Pemprov Jateng memagari diri. Tentu tidak ada yang ingin sakit keras kemudian sengsara sampai mati.
Ya, tidak selamat di sini bukan hanya "sekadar" kalau ketahuan korupsi lalu ditangkap KPK dan dipenjara. Ketika bilang "ora selamet", yang orang Jawa bayangkan adalah kecelakaan, sakit keras, cacat, hingga berhadapan dengan maut. Maka berhati-hatilah. Sumpah sudah terucap, nasibmu ke depan, bahkan nyawamu dipertaruhkan. Sengsara dunia akhirat lah pokoknya.
Sebagai sebuah aksi konkret, langkah Ganjar ini harus diapresiasi. Tapi ingat, tugasnya tidak kemudian selesai hanya dengan menempelkan stiker. Ganjar tidak boleh berpikir "anak buahku sudah bersumpah, maka Jateng dengan sendirinya bebas dari korupsi". Ganjar sendiri harus semakin berhati-hati. Pertama-pertama ia harus memastikan bersih dari korupsi. Ia harus memimpin dengan integritas tinggi, menjaga dan mengarahkan anak buahnya untuk terus berkomitmen antikorupsi.
Mengapa demikian. Sebab konsekuensinya justru lebih besar kepada diri Ganjar. Karena Ganjar yang punya ide, ia yang merancang kalimat, dan dia pula yang menempelkan stiker. Maka tanggungjawabnya semakin besar.
Kalau anak buahnya yang korup, yang tidak selamat adalah anak buahnya itu. Personal. Tapi jika Ganjar sendiri yang korup, berarti ia membuat seluruh institusinya korup. Berapa puluh ribu PNS Pemprov Jateng yang bakalan "ora selamet"?
Terlalu besarnya tanggung jawab itu sudah tentu menjadikan sengkala yang akan diterima Ganjar juga lebih besar. Kalau Ganjar korup, mungkin bukan hanya dirinya yang ora selamet, tapi juga keluarganya, hingga tujuh turunannya.
Ganjar tentu sangat paham itu. Dia lahir di Tawangmangu, Karanganyar. Anak lereng Lawu yang kental akan hal-hal gaib. Maka tak mungkin Ganjar berani mempermainkan sumpah keramat itu. Apalagi hanya sekadar dijadikan gimmick untuk mendapatkan pemberitaan atau menaikkan follower Instagram. Terlalu besar risiko yang dipertaruhkan.
Keberanian mempertaruhkan keselamatan hanya bisa muncul dari orang yang yakin dirinya bersih. Ketika seseorang yakin tidak pernah korupsi, tegas menolak gratifikasi, dan bersih dari kolusi, maka tentu saja dia tidak akan terbebani.
Dan itu ditunjukkan oleh Ganjar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H