Mohon tunggu...
Inovasi

Pelatihan Bela Negara: Diskursus Tentang Wajib Militer

19 Oktober 2015   12:46 Diperbarui: 19 Oktober 2015   12:59 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, bela negara dimaknai sebagai sikap dan perilaku warga negara dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam keseharian, wujud bela negara itu teraktualisasi dalam bentuk: Kecintaan teradap tanah air; Kesadaran berbangsa dan bernegara; Memegang teguh Pancasila sebagai ideologi negara, serta; Rela berkorban untuk bangsa dan negara. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, rujukan bela negara secara jelas telah ditetapkan dalam UUD 1945. Pasal 27 UUD 1945 ayat 3 secara eksplisit menyebutkan: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Ayat ini mengandung makna : Pertama, berhak berarti setiap warga negara boleh ikut serta membela negara, bukan menjadi hak yang hanya dimiliki TNI; Kedua, kewajiban mengandung arti bahwa setiap warga negara dalam keadaan tertentu dapat dipaksakan oleh negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara.

Dalam konteks kelembagaan, setiap lembaga negara apapun namanya, sesungguhnya memiliki kewajiban untuk menentukan kebijakan yang bersifat operasional tentang bela negara dalam lingkup kewenangan dan tanggung jawabnya. Untuk itu, tentu diperlukan kehadiran undang-undang yang memayunginya. Apabila saat ini Kementerian Pertahanan menginisiasi kebijakan pelatihan bela negara, tentu tidak ada yang salah, akan tetapi harus dilihat secara cermat dan komprehensif serta tidak perlu dikomentari penuh syak wasangka seolah warga negara yang berusia dibawah 50 tahun akan di wajib militerkan. Sebab, apapun program kegiatan Kementarian/ Lembaga harus ada rujukan undang-undangnya. Disamping ada undang-undangnya harus pula merujuk pada RPJMN yang disebut dengan Nawa Cita, program dan kegiatan semacam ini harus mendapat persetujuan DPR RI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan budgeting. Mencermati realita kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta ungkapan banyak pihak yang menengarai lunturnya patriotisme dikalangan masyarakat, memang diperlukan langkah nyata dari Pemerintah. Terjadinya degradasi patriotisme memang dapat dirasakan dengan sejumlah indikator seperti: Maraknya penyediaan, penjualan dan penggunaan narkoba; Melakukan perluasan lahan dengan membakar hutan dan gambut tanpa peduli akibat yang akan ditimbulkan; Perilaku koruptif dalam penyelenggaraan negara tidak kunjung berkurang; Meningkatnya jumlah pemuda yang menjadi bagian dari ISIS dan Taliban, dll. Karena itu, patut untuk disimak, didalami dan diteliti seberapa besar pengaruhnya terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sepertinya, realita kondisi masyarakat ini yang memotivasi dan kemudian menjadi dasar kepentingan Kementerian Pertahanan untuk menyiapkan pelatihan bela negara, tentu dalam perspektif pertahanan dan keamanan negara.

Dalam perspektif kepentingan nasional dibidang pertahanan dan keamanan negara, kebijakan ini sangat korelatif dengan Pasal 30 ayat (1) yaitu, setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk ikut dalam pertahanan dan keamanan negara. Sangat korelatif karena jiwa dan semangat bela negara yang ingin dicapai tentu sangat mendukung upaya penyiapan kemampuan pertahanan dan keamanan negara. Sangat tidak relevan bagi siapapun dan golongan masyarakat manapun yang mempermasalahkan pelatihan tersebut. Sebab kebijakan tentang pelatihan bela negara yang ingin dijalankan jelas-jelas merujuk dan sesuai dengan UUD 1945 sebagai Konstitusi negara. Persoalan yang seharusnya menjadi perdebatan publik adalah: Apa undang-undang yang digunakan untuk menelorkan kebijakan ini?; Dari mana anggaran untuk mendukung kebijakan tersebut?; Apa substansi pelatihan dan output yang ingin didapatkan?, dan banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan. Disamping undang-undang yang memayunginya, anggaran dan substansi, yang juga harus menjadi perdebatan publik adalah: “Apa yang dilakukan Kementerian lainnya dalam bela negara ?”.

Menilai negatif terhadap kebijakan bela negara memang hak setiap warga negara yang juga dijamin oleh UUD 1945. Akan tetapi harus difahami bahwa Pemerintah yang telah mendapat mandat dari rakyat Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun jiwa dan raga warga negaranya agar memiliki kecintaan kepada negara, memiliki kesiapan diri untuk rela berkorban bagi negara serta nasionalisme yang kuat. Memiliki kecintaan, jiwa rela berkorban serta nasionalisme merupakan jiwa patriotisme warga negara, yang juga modal dasar untuk mengisi kemerdekaan agar cita-cita kebangsaan sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diwujudkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Korea, Jepang dan bahkan Amerika Serikat sekalipun untuk menjadikan bangsa dan negaranya seperti saat ini, mereka memiliki modal dasar itu. Mereka sangat bangga terhadap bangsa dan negaranya.

Dalam perspektif modal dasar ini, mengkaitkan kebijakan bela negara dengan ancaman dari sudut pandang pertahanan dan keamanan negara, tentu tidak relevan. Apalagi mengarahkan opini masyarakat pada wajib militer menjadi lebih tidak relevan. Seolah-olah Pemerintah akan segera menyelenggarakan wajib militer bagi warga negaranya karena adanya ancaman yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Ada atau tidak ada ancaman dan dari mana ancaman itu, sebagai negara yang berdaulat, bangsa Indonesia harus memiliki warga negara yang bangga terhadap negaranya, yang bangga terhadap jati dirinya, yang bangga terhadap kemampuan dan kemandiriannya dan yang bangga menjadi orang Indonesia. Keempat jiwa patriotisme warga negara ini harus menjadi outcome dari kebijakan yang sedang di inisiasi.

Pelatihan bela negara sangat berbeda dengan wajib militer. Secara universal wajib militer didefinisikan sebagai kewajiban warga negara menjadi anggota militer untuk kurun waktu tertentu melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan militer guna meningkatkan ketangguhan, keberanian, kemandirian dan kedisiplinan seseorang agar dapat melaksanakan tugas keprajuritan. Di banyak negara prajurit seperti ini sering disebut sebagai part time soldier. Dilingkungan TNI khususnya ketika masih disebut ABRI, selain dikenal istilah prajurit wajib militer juga dikenal prajurit militer sukarela. Mereka sama-sama prajurit profesional, bedanya prajurit militer sukarela berdinas sampai dengan masa pensiun, sedang prajurit wajib militer hanya berdinas untuk kurun waktu tertentu saja. Selepas menjalankan dinas wajib militernya mereka akan kembali ke masyarakat atau dapat melanjutkan dinas militernya sebagai prajurit militer sukarela setelah melalui proses peralihan status baik pendidikan maupun administrasi. Kedua istilah tersebut di lingkungan TNI saat ini telah tiada, yang diikenal saat ini hanya istilah Prajurit Karier (PK), baik untuk Perwira, Bintara maupun Tamtama, karena Indonesia memang belum memiliki UU Wajib Militer.

Dari pemahaman terhadap makna bela negara, pengertian wajib militer yang berlaku secara universal serta realita yang berkembang dan hidup dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tentu dapat dibedakan dengan mudah antara bela negara dengan wajib militer. Kebijakan pelatihan bela negara secara teoretis tidak ada hubungannya sama sekali dengan wajib militer. Bahwa didalam pelatihan bela negara ada konten ketrampilan militer, hal tersebut sangat dimungkinkan terjadi, karena pelatihan militer memang bentuk dan jenis pelatihan yang output nya kedisiplinan, kemandirian, ketangguhan dan outcome nya nasionalisme.

Mengingat pentingnya semangat dan jiwa bela negara serta sikap dan perilaku warga negara yang mencerminkan jiwa dan semangat bela negara, semua rancangan undang-undang yang terkait dengan pertahanan dan keamanan negara baik undang-undang tentang bala cadangan, rancangan undang-undang tentang mobilisasi dan rancangan undang-undang lainnya perlu segera dituntaskan agar ide dan gagasan yang baik ini dapat segera dijalankan, apalagi hanya menjadi diskursus terus menerus. Memang difahami, bahwa dengan persetujuan Komisi I DPR RI semua kebijakan ini akan dapat dijalankan. Tetapi, legalitas merupakan hal yang harus dijunjung tinggi dalam sebuah negara demokrasi.

*) Penulis adalah mantan Komandan Satgas Bantuan TNI dalam Penanggulangan Bencana Tsunami Aceh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun