Mohon tunggu...
Inovasi

Bencana Asap: Polemik Status Bencana Nasional

19 Oktober 2015   11:26 Diperbarui: 19 Oktober 2015   11:55 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Luar biasa, itulah respon yang terungkap ketika Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memberikan konfirmasi kepada sejumlah media, bahwa status bencana nasional tidak dapat ditetapkan untuk bencana asap. Menurutnya status tingkat bencana nasional ditetapkan berdasarkan 5 indikator, yaitu: a) jumlah korban, b) kerugian harta benda, c) kerusakan sarana prasarana, d) cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan e) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Pada bagian lain dia juga mengatakan, bahwa penetapan status dan tingkatan bencana seperti yang diamanatkan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam bentuk Peraturan Presiden belum ditetapkan karena dalam praktiknya sulit. Bahkan salah satu media televesi membuat pernyataan yang bersifat pertanyaan: “Penentuan status bencana nasional inikah yang menjadi persoalan penanganan bencana asap yang tidak kunjung tuntas?”.

Diskursus semacam ini juga menjadi perdebatan panjang dalam penetapan status bencana alam (natural disaster) gempa bumi di Jogyakarta tahun 2006. Pemerintah Pusat mengatakan bencana berskala lokal, sementara Pemerintah daerah mengatakan bencana berskala nasional. Tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah setidaknya yang menjadi faktor penentuan. Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional tahun 2008 pernah mengangkat persoalan status ini. Bahkan telah merekomendasikan solusi kepada Presiden RI kala itu. Status bencana berskala besar, berskala nasional dan berskala lokal sebaiknya didasarkan kepada kemampuan sumber daya yang tersedia baik ditingkat daerah maupun nasional.

Apabila sumber daya daerah mampu untuk melaksanakan penanggulangan, maka bencana tersebut harus dikatagorikan sebagai bencana berskala lokal, walaupun perlu penambahan sumberdaya tertentu untuk kepentingan percepatan atau kepentingan lainnya. Namun demikian, apabila sumber daya daerah tidak mampu, suka tidak suka, maka bencana tersebut harus dikatagorikan sebagai bencana berskala nasional. Bencana berskala besar hanya akan ditetapkan apabila sumber daya nasional tidak mampu untuk melaksanakan penanggulangan bencana yang terjadi.

Contoh kongkrit bencana berskala besar adalah bencana Tsunami di Aceh. Mengapa kemampuan sumber daya menjadi faktor penentu?. Sumber daya yang tersedia tentu tidak dapat disangkal sebagai faktor utama yang akan terkait langsung terhadap kapasitas untuk penanggulangan bencana yang menimpa. Dari perspektif transparansi dan akuntabilitas, kemampuan sumber daya adalah kapasitas nyata yang dimiliki baik dari aspek fisik maupun non fisik yang dapat dikerahkan sebagai kekuatan penanggulangan bencana dan sangat mudah dipakai sebagai tolok ukur.

Walaupun anggota DPR RI juga menyoal status bencana buatan manusia (manmade disaster) yang disebut bencana asap ini, tak urung diskursus inipun sirna seketika dari wacana nasional setelah Menko Polhukam memberikan tangapan dan statemen bahwa tidak perlu penetapan status bencana nasional dalam bencana asap yang saat ini sedang terjadi. Lalu, apa dasar pertimbangannya seolah ada keengganan Pemerintah untuk menetapkan status bencana ini. Adalah fakta bahwa pada tanggal 5 dan 6 Oktober 2015 yang baru lalu, serta sejumlah hari sebelumnya sekolah-sekolah di Provinsi Riau dan Sumsel diliburkan karena asap mengganggu proses belajar mengajar. Bukan hanya di tanah air, bahkan di Singapura dan Malaysia pun sekolah diliburkan. Dalam kondisi yang sedemikian, bukankah persyaratan yang ditetapkan BNPB sangat tidak relevan dengan kondisi obyektif yang sedang berjalan. Keberanian menentukan skala bencana memang membawa konsekuensi apapun terhadap otoritas negara atau bahkan mungkin harga diri.

Dalam konteks bencana asap kali ini tampak jelas bahwa kapasitas daerah sangat tidak memadai untuk memadamkan bencana yang terjadi akibat ulah manusia. Daerah yang terkenapun overlapping satu dengan lainnya, baik di Sumatera maupun Kalimantan. Bahkan faktanya, Presiden turun tangan kelapangan, sementara TNI dan Polri dengan kemampuan yang ada juga telah dikerahkan untuk melakukan penanggulangan bencana tersebut. Kepala BNPB pun melakukan gelar pasukan dilapangan terhadap satuan satuan TNI, Polri dan satuan lainnya yang akan melaksanakan tugas penanggulangan bencana. Kementerian Kehutanan juga ditetapkan menjadi leading sector penanggulangan bencana asap ini. Dari kondisi lapangan ini, tampak jelas bahwa unsur-unsur pemerintahan di tingkat nasional telah turun kelapangan untuk menangani bencana asap tersebut karena kapasitas daerah memang nyata-nyata sudah tidak mungkin untuk mengatasinya.

Pertanyaan yang sangat sederhana terhadap kondisi semacam ini adalah, siapakah sesungguhnya penanggung jawab utama penggulangan bencana asap ini? Haruskah Presiden RI seorang yang harus menanggung jawabi kebakaran ini? Bukankah Presiden telah dilengkapi dengan otoritas untuk menggunakan seluruh kemampuan negara yang ada? Padahal UU No. 24/2007 tentang penanggulangan bencana telah menetapkan penanggung jawab yang harus bertanggung jawab, dan bahkan pejabatnya pun ada. Apabila kemudian disana-sini terjadi saling klaim atas ketidak harmonisan penanganan dilapangan, ini adalah ekses dari ketidak jelasan tersebut.

Secara struktural BNPB adalah sebuah Lembaga Negara penanggung jawab penanggulangan bencana ditingkat pusat dan BPBD adalah lembaga daerah penanggung jawab didaerah. Landasan pembentukan BNPB adalah Pasal 10 ayat 1 UU No. 24/2007, sedangkan BPBD dibentuk berdasarkan Perka No. 3/2008. Secara struktural Kepala BNPB bertanggung jawab kepada Presiden sedang Kepala BPBD bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sehingga hubungan antara BNPB dengan BPBD adalah hubungan teknis penanggulangan bencana. Secara otomatis BNPB akan mensupervisi pelaksanaan tugas-tugas BPBD.

Dalam hubungan semacam ini, maka penentuan status bencana menjadi sangat penting, sebab de facto sesuai UU No.24/2007 Kepala BPBD hanya bertanggung jawab pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah. Dalam status bencana nasional, maka sangat dimungkinkan BPBD akan bertanggung jawab kepada BNPB dalam konteks penggunaan sumber daya nasional, karena pengendalian akan berada ditangan Kepala BNPB. Pernyataan status bencana akan memberikan kepastian siapa penanggung jawab seluruh penyelenggaraan tugas-tugas penanggulangan bencana, memungkinkan pemberlakuan mekanisme yang bersifat nasional, sekaligus menjadi dasar mobilisasi sumber daya negara yang dibutuhkan.

Apakah kelima kriteria yang dikatakan oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB benar-benar menjadi kendala? Kalau pernyataan BNPB seperti itu, sangat diyakini bahwa akan sangat sulit untuk menentukan status penanggulangan bencana. Ujung-ujungnya tarik menarik seperti kasus bencana di Jogyakarta yang akan terulang atau mungkin sengaja dipelihara untuk terus berulang, atau bahkan mungkin yang sangat ekstrim memang sengaja dibiarkan terus menggantung tanpa kepastian. Biarlah hari-hari kedepan terus berlalu menghasilkan sejumah waktu yang akan menangani bencana asap dengan sendirinya. Sebab, minggu-minggu kedepan ini kalau kita sabar menunggunya, air langit pasti akan terkucur oleh siklus musim di Indonesia yang selalu terjadi sepanjang tahun.

Namun demikian, apabila persoalannya berupa mekanisme dan struktural diatas, barangkali kata ironi menjadi ungkapan ketidak jelasan penanggulangan bencana asap yang sudah menjadi wacana dunia. Pertanyaan terakhir yang perlu diajukan adalah: “Apa bedanya kita memiliki BNPB sebuah output dari lessons learnt penanggulangan Tsunami dengan Bakornas PB?”. Barangkali ungkapan sia-sia adalah jawaban dari lessons learnt itu. Kerumitan apa lagi yang harus ditunggu untuk menerbitkan Peraturan Presiden sebagai Juklak UU No.24/2007 khususnya penentuan skala bencana. Keselamatan masyarakat dan masa depan anak-anak didaerah bancana serta harga diri bangsa sedang dipertaruhkan.

*) Penulis adalah mantan Komandan Satgas Bantuan TNI dalam Penanggulangan Bencana Tsunami Aceh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun