SEPERTINYA Pilkada serentak 2020 tetap akan dilaksanakan sekalipun hingga saat kita masih menghadapi pandemi Covid-19 dimana angka terkonfirmasi virus corona belum menunjukkkan penurunan signifikan. Saya berharap Pilkada Serentak akhir tahun ini DITUNDA dan lebih fokus untuk menangani pandemi dulu.
Sejumlah epidemiolog juga telah mengingatkan agar melakukan penundaan karena pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 berpotensi besar menciptakan lonjakan kasus Covid-19. Namun Presiden JOKOWI justru menegaskan bahwa penyelenggaraaan Pilkada Serentak 2020 harus tetap dilaksanakan di tengah pandemi virus corona (Covid-19).Â
Alasan presiden, tak ada satu pun negara termasuk Indonesia yang mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir (CNN Indonesia, 8/9/2020). Namun demikian presiden mengatakan penyelenggaraan pilkada harus dilakukan dengan cara baru yakni dengan menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak sosial. Bahkan presiden meminta seluruh pihak penyelenggara pilkada termasuk TNI dan Polri untuk aktif mengawasi masyarakat agar patuh pada protokol kesehatan terkait Covid-19. Untuk itu, anggaran 5 trilyun tambahan digelontorkan agar perhelatan demokrasi 9 Desember 2020 mendatang tidak mengalami hambatan dari segi keuangan. Saya tidak tahu pasti apakah pernyataan presiden tersebut bakal dianulir di kemudian hari.
Ditunda atau tidak, saya akan memberikan sekilas gagasan seputar pertarungan perebutan suara rakyat ini (syukur bisa menjadi bahan pertimbangan) karena atmosfir politik menjelang kontestasi mulai terasa hangat. DPP partai politik sudah menetapkan pasangan kandidatnya masing-masing, tentu disertai pembentukan satgas pemenangan. Target mereka jelas, yakni memenangkan kontestasi bagi pasangan calon yang diusung. Baik yang diusung melalui upaya koalisi ataupun tidak.
Babak awal dari "pertarungan" antar parpol tersebut adalah menarik perhatian calon pemilih (voters) melalui kampanye komunikasi politik. Sudah barang tentu para tim sukses akan memberdayakan segala jurus guna meraih simpati para pemilih potential (potential voters) dan menggarapnya menjadi pemilih yang bisa digerakkan secara nyata (actually moving voters). Bagi sebagian pengamat politik, ada beberapa persoalan krusial dalam kampanye pilkada yang selama ini terlupakan, atau kurang mendapat perhatian serius.
Memahami keinginan pemilih
Persoalan pertama adalah kurangnya pihak pelaku (kontestan) memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh calon pemilih (what voters want?) dari kampanye komunikasi politik pilkada ini. Konsep pemahaman terhadap keinginan pemilih seringkali  berasal dari kontestan sendiri. Seolah mereka telah memahami benar apa yang diinginkan para calon pemilih setelah melakukan blusukan beberapa kali. Padahal seringkali tidak demikian realitasnya.
Idealnya, partai pengusung maupun kontestan telah mengindentifikasi keinginan keinginan atau kebutuhan yang sesungguhnya  dari para calon pemilih kepada para calon gubernurnya, calon walikota dan calon bupatinya yang baru melalui suatu survei yang memadai. Lalu merumuskannya dalam skema dan cara merealisasi keinginan pemilih tersebut karena sebelumnya telah didengungkan dalam janji-janji kampanye.
Perlu untuk dipikirkan juga bagaimanakah model kampanye ideal dan efektif di tengah pandemi Covid-19 ini agar tempat  kampanye tidak menjadi klaster baru penularan . Sederet pertanyaan dapat diajukan terutama menyangkut bagaimana melakukan perubahan sosial menuju  kondisi yang lebih baik bagi masyarakat pemilih setelah pesta demokrasi tersebut berakhir karena saat ini masyarakat sedang menghadapi masa sulit karena pandemi.
Pepatah konvensional mengatakan bahwa publik (pemilih) tidaklah menyukai kampanye negatif dan dangkal (negative and superficially campaign). Keena Lipsitz dkk (2005), mencatat bahwa publik lebih menyukai kampanye suatu proses yang bersih, berbobot, dan lebih mendalam (clean, substantive and deliberative process). Bahkan para pemilih wanita lebih menyukai kampanye yang bersifat membangun konsensus dan menentang konflik politik (Noelle-Neumann,1993).
Usaha penggembosan dan intrik-intrik politik dengan menyebarkan desas-desus negatif bahkan saling caci maki, mengumbar kebencian hanyalah virus yang merusak demokrasi. Orang-orang Amerika misalnya (82 %) percaya bahwa kampanye negatif yang bersifat menyerang adalah merusak demokrasi (undermining and damaging democracy). Mereka lebih menyukai kampanye yang fairly, informative, comprehensive and focused on the issues. Dari segi etika dan nilai sosial, kampanye pilkada di tengah pandemi harus memberikan manfaat dan energi positif bagi masyarakat.