Suasana tahun baru masih terasa, begitu juga dampaknya. Kami di Daerah pagi-pagi buta harus bergerak cepat menyisir sampah di alun-alun, boleh jadi, di tempat lain, yang kami yakini, pada titik-titik pusat keramaian Malam Tahun Baru 1 Januari 2024 kemarin, juga memiliki nasib yang kurang-lebih-sama saja. Sekelebat "ritual" pesta, hingar bingar keramaian menyambut malam tahun baru, rupanya meninggalkan "side product" berupa sampah, ya, lagi-lagi sampah, tapi kali ini agak gila, hanya beberapa jam saja, sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat itu, rupanya secara simultan meninggalkan sampah, berton-ton.
Menurut saya pribadi, sah-sah saja mau mengadakan acara seperti itu-seperti biasanya-di penghujung tahun-atau bahkan mungkin mau lebih heboh, silakan saja, toh itu juga hak tiap orang, kami di perumahan juga kurang lebih sama, menyambut malam tahun baru dengan acara bakar-bakar sederhana, yang sama saja : "menghasilkan" sampah juga.
Sejatinya, pesta, hingar bingar, dan kumpul-kumpul seperti itu ya boleh saja, yang penting bertanggung jawab, dan memang tidak bisa dipungkiri, euphoria singkat event-malam-pergantian tahun tersebut juga merupakan berkah dan kesempatan menjemput rezeki bagi beberapa orang.
Ada perputaran ekonomi yang tidak sedikit juga di sana.
Masalah lingkungan yang klasik, tapi berlarut larut, dimana setiap ada aktivitas ekonomi, selalu ada gangguan ekologi, minimal ya itu tadi : sampah
Dan menurut saya sendiri, yang masih belajar Ilmu Lingkungan, mau bagaimanapun juga, selama manusia itu masih ada, masih hidup, ya pasti menimbulkan sampah, mau itu terkait aktivitas masif terkait eksploitasi sumberdaya alam, atau hanya sekedar bertahan hidup.
Sampah itu suatu keniscayaan, suatu kepastian
Oke, kembali ke masalah sampah perkotaan-terutama akibat acara Tahun Baru barusan. Menurut berbagai sumber, kalau kita mau sedikit kepo, ketik saja di Search Engine favorit kita "Sampah Tahun Baru", akan muncul data -- dan bukti, bahwa sampah itu nyata, sampah itu eksis, sebagaimana prostitusi, selalu mengiringi kehidupan manusia. Tapi di sini saya tidak akan membahas selain sampah sih.
Sampah tahun baru di Jakarta capai 130 Ton (cnnindonesia.com), di Surabaya 15 ton (suarasurabaya.net), di Belitung 8 ton (babel.antaranews.com), di Sumenep, Madura (radarmadura.jawapos.com), Kota Bandung 64 ton (news.republika.co.id), dan masih banyak lagi, berton ton.
TANGGUNG JAWAB SIAPA
Dalam tiap kejadian perkara, memang paling enak, cari SIAPA yang bertanggung jawab, apalagi urusan sampah.
Secara moral, sampah itu sudah seharusnya jadi tanggung jawab pribadi, personal, karena, dimanapun anda berada, apapun aktivitas anda, ya pasti akan diikuti dengan timbulnya sampah,
Selama mindset "bahwa sampah saya adalah tanggung jawab saya", tentang sampah ini belum dibenerin dan mengakar di masyarakat negara Indonesia tercinta ini, masalah sampah sudah pasti akan terus lestari, lestari tidak ada selesainya maksud saya.
Tidak perlu melihat orang lain, tetangga, atau mungkin-yang paling enak-disalahkan : Pemerintah, "nah, sampah itu kan urusan pemerintah, toh kita bayar pajak, biar jadi kerjaan mereka, kok kita masih mikirin, nanti apa kerja mereka, bla bla bla"
Nah, sudah susah kalau mikirnya masih ortodoks begitu, memang tidak disalahkan sepenuhnya, toh juga pemerintah juga ada kontribusi dan tanggung jawab di sana sebagai representasi prinsip Negara Berdaulat, bahkan memang peran dan tanggung jawab pemerintah terkait urusan sampah ini diatur di Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pasal 5 dan 6, Tugas Pengelolaan Sampah ada di Pemerintah, diperkuat lagi di Pasal 11, bahwa, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah, namun, di Pasal 12 ayat 1, menyebutkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan
Nah, dari klausul undang-undang itu saja, kalau kita melihatnya masih dengan waras, artinya ada 2 pihak yang bertanggung jawab urusan sampah :
1. Adalah sumbernya
2. Adalah pengelolanya
Siapa sumbernya? Ya kita semua, saya, anda, mereka, semuanya
Baru, urusan pengelolanya, ya pemerintah pastinya.
Meskipun demikian, toh kita juga semua tahu, bahwa, mohon maaf, kinerja pemerintah kita dalam mengatasi sampah dinilai masih belum maksimal dan optimal, apalagi ditambah masih bergantungnya kita pada keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) (yang udah ganti nama jadi TPST)
Tapi ini bukan tentang teknis, teknis pengolahan sampah sudah banyak dimana-mana, tinggal dibaca, dipahami, dipraktekkan.
Dan di sini saya ingin mengajak pembaca semua berpikir, kita sama-sama berkomitmen untuk mengatasi masalah sampah
Ada dua hal yang ingin saya tekankan
1.kepedulian
2.mindset
Ya, hanya dua hal itu dulu saja
PEDULI SAMPAH
Namanya sikap PEDULI itu sesungguhnya sangat powerful, orang yang peduli, kalau dia awalnya tidak tahu, dia akan cari tahu, orang yang tidak bisa, karena peduli, akan belajar biar jadi bisa, orang miskin yang peduli akan hidupnya, akan berusaha untuk cari duit dan lepas dari jerat kemiskinan, begitu juga dengan sampah tadi.
JIKA ANDA PEDULI PADA SAMPAH ANDA, ANDA TIDAK AKAN SEMBARANGAN NYAMPAH
Coba tolong baca sekali statement saya di atas tadi.
Dan mari kita pahami dan resapi,
benar bukan?
Jadi jika masih ada selentingan, "wah, sampah itu bukan urusan saya, itu urusan pemerintah, toh saya bayar pajak, dan bayar iuran sampah juga", sudah pasti itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan memang tidak peduli.
Susah wes
Untuk kasus ini, maaf saja, uang bukan segalanya, meskipun segalanya bisa diatasi dengan uang sih, hehe.
Untuk poin ini, sifatnya absolut, selama sifat kepedulian tentang sampah itu belum mengakar di generasi muda, di kepala kita semua, urusan sampah selamanya hanya akan begitu-begitu saja, tinggal duluan mana, duluan kiamat, atau duluan kita menempati pulau sampah.
Toh memang SUMBER dari sampah itu ya dari kita-kita ini, urusan personal, jadi ya memang harus diselesaikan secara personal, oleh diri sendiri.
Dengan bekerja sama dengan pihak lainnya tentunya,
Yang sama-sama peduli, dan komitmen.
MINDSET
Boleh jadi, nenek moyang kita yang seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera, mengajarkan pada nenek kita, hingga orang tua kita, untuk "Membuang sampah pada tempatnya", dan boleh jadi hingga detik ini anda membaca tulisan saya ini, ajaran tersebut masih terngiang-ngiang, dan boleh jadi juga, memang selalu anda amalkan
Ya, ajaran tersebut memang benar, dan tidak juga sepenuhnya salah, membuang sampah, memang harus pada tempatnya, kita semua pun tahu itu
Bahkan, di acara peringatan malam tahun baru kemarin itu, pemerintah setempat juga sebenarnya telah menyediakan tempat sampah, di lokasi tertentu,
di-lokasi-tertentu
jadi, yang seharusnya dilakukan, adalah ke lokasi itu, kemudian membuang sampah ke sana
selesai
dan memang itu yang seharusnya
namun jika ditelaah lebih mendalam, ternyata tidak sesederhana itu, tidak sesederhana apa yang saya bilang, dan kita semua pun tahu itu,
masalahnya macam-macam, ada yang bilang, bahwa, di acara tersebut tidak disediakan tempat sampah oleh pengelola lokasi, bahwa di acara tersebut tempat sampah sudah disediakan, namun kapasitasnya tidak cukup, bahwa karena-entah-apapun-alasannya, sampah itu dibuang begitu saja, tanpa dosa, tanpa rasa bersalah, apalagi, menurut berbagai sumber di atas, dominansi sampah adalah plastik -- kemasan makanan minuman, dan sisa makanannya tentunya
hingga sampah-sampah itu, berakhir dengan berserakan di sekitar lokasi acara hingar bingar Tahun Baru semalam
yang tentunya akan jadi pekerjaan Petugas Kebersihan dan Persampahan Dinas terkait setempat, yang harus selesai pagi harinya.
Selesai
Hei hei, nampaknya saja selesai, namun sejatinya, sampah-sampah kita semua tadi itu, hanya pindah tempat saja, hanya dikumpulkan di suatu tempat, yang tempat itu tentunya punya kapasitas
Alangkah baiknya, kita ubah mindset kita, mental kita, habit kita, behavior kita tentang pernyampahan, coba, seandainya, dalam acara tadi malam itu, sederhananya, kita komitmen, kita wadahi sampah kita sendiri masing-masing, dan kita bawa pulang kembali sampah itu ke rumah, untuk DIPILAH, dan dibuang pada TEMPAT nya, yeah, tempatnya yang semestinya, untuk DIDAUR ULANG
Sudah
Sesederhana itu
Tidak ada salahnya, bukan juga hal yang hina, dan itu MUDAH DILAKUKAN
Masalahnya, kembali ke poin atas, PEDULI, dan POLA PIKIR atau MINDSET tentang sampah yang memang harus dirubah
Bisa jadi, dengan asumsi saya yang masih positif pada warga negara Indonesia yang budiman, bahwa manusia-manusia itu sejatinya juga masih punya hati nurani, ada sisi baik di hatinya, kejadian sampah berserakan itu TIDAK AKAN TERJADI, dan juga sukur-sukur, sampah yang dibawa pulang tadi, TIDAK BERAKHIR DI TPST
Jadi mari kita introspeksi diri, tidak usah capek-capek melihat dan ngurusin sampah orang lain, apalagi maido pemerintah
Kita lihat saja, sudah nyampah apa kita hari ini, sudah ngapain aja dengan sampah kita sendiri
jadilah peduli, dan bijak dalam menyampah, dan dunia ini pun berterima kasih pada anda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H