Perang selalu menyisakan tangis, meskipun tidak semua manusia berharap pada situasi seperti itu. Kendati sejarah peradaban manusia ini telah meng-capture berbagai macam peristiwa, di antaranya kekerasan, ketidak pastian hidup serta ketidakadilan. bahagia dan sejahtera hanya milik segelintir manusia belaka, begitulah sejarah dunia ini mencatat. Bahkan dalam teori kapitalisme menganggap bahwa manusia tidak lebih dari sekedar sumber pendapatan sekaligus sumber keuntungan bagi kelompoknya saja, keji memang, namun seperti itulah konsekuensi dari sebuah keputusan politik elit globalis. Manusia tidak lebih hanya angka-angka dalam konteks ekonomi semata.
Kita hari ini adalah bagian dari sejarah masa lalu, sejarah yang kelam dan sejarah yang penuh dengan air mata kedukaan. Banyak diantara segelintir manusia hidup dan tumbuh secara tidak sehat ditengah konflik politik dan perang
Memang benar bahwa hidup tidak melulu tentang penderitaan, tapi coba kita ukur. Berapa nyawa manusia yang harus dipertaruhkan untuk mencapai titik kebahagiaan.
Kita adalah bagian dari masa lalu yang suram, masa lalu yang gelap. Ya dari gelap menuju ke tempat yang jauh lebih terang. Namun apakah perang ini sudah berakhir?. apakah seluruh manusia di bumi ini telah bahagia?. Entahlah.
Banyak diantara serdadu yang dipaksa membunuh, mati pula nuraninya. Rakyat yang menderita, tersenyum pula oligarki politik yang menginginkan peperangan itu. Batas kesadaran manusia dibunuh oleh doktrin yang membangun semangat perlawanan, perlawanan untuk siapa?.
Hok Gie menulis dalam Catatan Hariannya bahwa Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?.
Dalam sistem negara yang punya kecenderungan mempunyai watak kapitalis, Â rakyat tidak lebih hanya sebagai sumber pendapatan negara, dan rakyat hanya sebagai media uji coba kegilaan golongan-golongan yang rakus akan tahta dan kekuasaan. Lalu kapan semua ini berakhir?. Kesadaran kolektif sangat perlu dibangun, kendati sosial dan politik hari ini tidak ada keberpihakan lantaran kondisi sosial masyarakat sudah kadung apatis dan berpikir pragmatis.
Nelson Mandela pernah mengakhiri perang saudara dengan cinta kasih, dia konsisten meskipun separuh hidupnya di belenggu oleh kekuasaan.
Nelson melawan perang saudara tidak dengan senjata, melainkan dengan keyakinan bahwa segala bentuk kekejian bisa berakhir dengan damai tanpa ada pertumpahan darah. Banyak pilihan dalam memenangkan pertempuran, meskipun tidak sedikit kemenangan harus ditukar dengan darah dan nyawa manusia. Namun tidak bagi nelson, ia lebih memilih melawan tirani dengan cinta kasih.
Manusia punya hak untuk membela dirinya sendiri, membela martabatnya,kemudian membela bangsa dan negaranya. Dalam sejarahnya kebahagiaan memang harus di perjuangan dengan sungguh-sungguh, dengan darah dan air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H