Bangsa kita punya sejarah panjang terkait feodalisme dan Monarki, bahkan sebagian wilayah di Indonesia masih menggunakan sistem feodal dan monarki dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya di antaranya di Sumetera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa, serta beberapa kota lainnya di seluruh indonesia.
Perlawanan tentang feodalisme dan sistem monarki oleh sebagian manusia yang menolak tunduk pada budaya yang cenderung mengekang hak dan kebebasan sesorang dalam menentukan hidupnya untuk membela harkat serta martabat yang melekat di setiap diri manusia.
Banyak tokoh secara konsepsi atau ideologi yang kerap kali menjadi referensi atau menjadi dasar perjuangan-perjuangan untuk bisa terbebas dari persoalan kelas sosial termasuk di antaranya yang kerap di alami oleh perempuan atau laki-laki yang cintanya terhalang oleh tembok-tembok kelas sosial.
Monarki (atau Kerajaan) berasal dari bahasa Yunani monos () yang berarti satu, dan archein () yang berarti raja. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia.Â
Pada awal kurun abad ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai penguasa monarki yang mutlak dan selebihnya memiliki sistem monarki konstitusional.
Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik. Pelaku utama dari sistem feodalisme adalah golongan bangsawan agar bisa mengendalikan wilayah-wilayah yang bekerja sama dengan mereka. Sistem feodalisme dikatakan sudah ada sejak abad ke-9.
Dari uruaian di atas sistem seperti feodal dan monarki sangat erat kaitannya dengan perampasan hak-hak manusia, penindasan terhadap kelas sosial dan pengekangan pada nila-nilai kemanusiaan, salah satu di antaranya ialah hak untuk mencintai seseorang yang terpasung oleh budaya-budaya feodal yang kental sekali dengan keharusan dalam persamaan kelas hingga seringkali segala asa dan cita seseorang di ukur pada garis keturunan yang tidak boleh ada ketimpangan, baik secara ekonomi maupun strata sosial.
Menjadi seorang revolusioner bukan hanya sekedar merangkai kata untuk mencapai nilai heroisme hingga kemudian menjadi cerita sejarah yang sangat dramatis ataupun sebagai narasi puitis, atau hanya sekedar menuangkan konsepsi serta gagasan dalam kertas putih tanpa melakukan apa-apa, apalagi menjadi doktrin-doktrin perjuangan bagi sebagian orang di kemudian hari meskipun pada kenyataannya harus tunduk dan kalah pada prinsip-prinsip feodal atau bahkan pada prinsip monarki itu sendiri, apalagi sampai tidak merasakan penderitaan serta intimidiasi nyata dalam memperjungkan hak-haknya sebagai manusia.Â
Dan kalau menurut saya uraian di atas itu hanyalah bualan serta pengatar dalam dongeng tidur semata, karena tindakan serta fikirannya sangat tidak linear dengan realitas yang terjadi, menjadi seorang revolusioner itu harusnya selaras pada prinsip-prinsip kemanusiaanya yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial, seseorang yang merasai kedukaan serta pengorbanan yang tidak cukup di tebus dengan air mata saja melainkan menghibahkan seluruh jiwa serta raganya untuk memerdeka kan dirinya dari belenggu-belenggu feodalisme atau monarki sekalipun.
Sosok perempuan revolusioner yang saya kenal pada tahun 2011 ini adalah sosok yang begitu sangat berani melawan segala bentuk pengekangan, serta bertekad untuk lepas dari segala bentuk pengekangan budaya monarki dan terlepas dari hegemoni kaum feodalisme, dan saya melihat dia sebagai sosok pejuang persamaan hak yang sesungguhnya.Â
Dan kalau menurut saya, seorang revolusioner itu adalah orang yang merasakan pahit serta getirnya hidup sebagai bagian dari resiko perlawanannya terhadap apa yang dia rasa sangat bertentangan pada nilai-nilai kemanusiaan, segala bentuk pengekangan dan tekanan yang dirasakan kemudian bisa lepas serta mampu memerdeka kan diri sendiri, merdeka sebagai manusia yang mempunyai hak untuk menentukan hidupnya, bukan hanya berteori tanpa melakukan langkah-langkah kongrit  yang kemudian hanya menjadi cerita heroik semata. Revolusioner sejati ialah manusia yang tidak kemudian pasrah serta tunduk pada patriarki, feodal atau bahkan monarki sekalipun.
Dan saya bangga bisa melewati sejarah panjang bersama sosok yang sangat revolusioner ini, seorang perempuan hebat yang pernah saya temui setelah ibu saya, perempuan yang berani berkata tidak pada segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan hati serta nuraninya, seseorang yang mengajarkan saya tentang arti hidup serta ketulusan dan mengajari saya tentang keteguhan hati serta pengorbanan dalam seluruh aspek kehidupan. dan saya sangat menghormatinya, baik dalam pikiran maupun dalam tindakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H