Ya sebelum di jual perdana, aku selalu menjadi yang pertama kalinya untuk memilikinya. Aku selalu  mengikuti trend dunia. Pandanganku  seketika tertambat pada badut-badut yang mengarah pada lokasi sirkus dan berbagai hal, yang mengingatkanku pada pasar malam.
Seseorang menarikku, kulihat seorang berpakaian gibsi memaksaku duduk. " Mari aku ramal ." Aku mengikuti saja permintaannya, paling di butuh uang . Itu tidak masalah bagiku. Ia melihat wajahku, seolah berusaha meneropong masa depan melalui mataku.
Kupejamkam kedua mataku. Rasanya ngeri melihat mata si gipsi. " Buka matamu. " Kuberanikan membuka mata. Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena selama ini, aku tidak pernah percaya dengan ramalan.
" Anda boleh tidak percaya denganku, tapi aku hanya ingin katakan bahwa hidupmu dalam bahaya ." Dalam hati aku membantah perkataannya, namun secara nalar kurasa setiap orang selalu dalam resiko bahaya, tapi aku penasaran  dengan  bahaya yang akan menimpaku.
" Maksudmu ?. " Gipsi  itu kembali mencoba menerawang mataku. " Aku melihat kegelapan pada takdir yang akan kau jalani, tapi kau tidak bisa lari dari takdirmu . "  Aku coba mencerna ." Iya, tapi takdir yang mana ? ."
Aku semakin bingung dengan perkataannya, sebab sejak  kecil hingga hari ini, hidupku bertabur kesenangan. "Ingat kata-kataku, hanya keberanian menghadapi semua yang terjadi sajalah, kau tidak hanya akan selamat, tetapi juga memenangkan segalanya ."
" Katakan padaku ! bahaya apa yang kau lihat ?. " Mata gibsi itu berkedip-kedip melihat kemataku. " Ia mengangkat lengan kanannya untuk menutupi kedua matanya, seolah menghadapi ketakutan yang besar dari mataku.
" Rajaku, Rajaku ." Â Ia berdiri, lalu menghormat ke arahku dengan kepala tertunduk, perlahan ia mundur sembari terus menghormat. Entah apa yang ia lihat. " Hai, ini bayarannya ." Buru-buru ku buka dompet dan mengambil uang dengan asal.
 Ku buru si gibsi, namun ia bergegas menghilang seperti di buru syetan atau mungkin  raja syetan. Ku lihat seorang wanita gibsi yang lain, ku dekati dia lalu memberinya uang, di terimanya uang.
Ia menatapku, namun ketika ia melihat mataku, tangannya gemetaran hingga uang dalam genggamannya terjatuh, Â seketika ia menunduk memberi hormat lalu kabur. " Rajaku." Lalu perlahan mundur, cepat-cepat ku ambil uang yang berserakan di tanah.
Ku buru gibsi itu, ku tarik tangannya, lalu ku berikan uangku begitu saja di telapak tangannya, ia mengenggamnya dengan asal, lalu bergegas pergi. Aku makin terheran, apakah benar aku seorang seorang  raja, tapi gibsi itu takut melihat mataku.