Mohon tunggu...
Bambang Sagitanto
Bambang Sagitanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pegawai Negeri Sipil

Membaca buku, santai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Kenali Akhirnya Jalan Hidup Ini

23 Juli 2022   13:00 Diperbarui: 23 Juli 2022   13:13 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali dinamika kehidupan itu tidak sebagaimana yang kita bayangkan. Kadang diliputi kebahagiaan juga kepedihan. Namun semua itu bukanlah  takdir yang tanpa makna. Sebab tak sekejap pun hidup itu tanpa insprirasi. Sayangnya manusia luput untuk menyadari itu semua, dan larut dalam hidup yang mengandai-andai. 

Senja di pangkuan langit tampak jingga, dan aku melangkai gontai sarat dengan masalah. Namun kupaksakan juga untuk terus susuri jalan ke tujuan di mana biasa aku habiskan waktu bersama kawan.

Namun di ujung jalan  itu tiada kuduga. Dari kejauhan tampak olehku lelaki bertubuh gempal tengah menikmati kopi basinya di warung kopi mang Eddy.

Ia berambut putih namun disemir coklat yang justru terlihat merah kala disinari cahaya senja.

Aku kenali kawanku ini. Ia namanya Cepi.  Lelaki yang dulu sempat berjanji padaku untuk mengawini janda tua di samping mushola dekat warung kopi di mana ia biasa rehat dari aktivitasnya. Ia juga biasa aku juluki orang yang tidak mengenal susahnya kehidupan, dan selalu apa adanya. Hidup baginya seakan bukan masalah.

Aku merasa iri melihat cara hidupnya yang tanpa beban seolah beban itu hanya pada berat tubuhnya saja.

Pada jarak yang dekat  tanpa diketahui, aku tepuk bahunya dari belakang, seraya bilang," lagi santai kawan?Enak sekali ya hidupmu, seperti tak ada beban."

Ia cuma menoleh sesaat, dan tertawa renyah.sambil membalas, " hidup itu sudah ada yang atur kawan, kenapa pula pusing. Jalani saja, tak usah mengeluh." 

Sebatang kretek sisa semalam ia nyalakan, sementara aku memesan segelas kopi dan duduk sejajar di sisinya. Perbincangan ini pun mengalir. Jawaban yang enteng seakan tanpa dipikirkan darinya itu, membuat aku penasaran, dan bertanya kembali.

 "Maksudmu  bagaimana?Kalo hidup sudah ada yang mengatur, kenapa pula kita pusing cari uang buat hidup."

Sebelum dibalas pertanyaanku ini, kopi panas yang tidak basi pesananku ini pun datang, dan memotong pertanyaan seriusku tadi.

Ia tiba-tiba berujar, " tenang kawan, minum dulu kopinya." 

Aku pun ikuti maunya, dan seruput sekadarnya kopi ini. Tapi bukannya menjawab pertanyaanku yang tadi, ia malah balik bertanya,  " Bagaimana kopinya?nikmatkah?"

Mendengar pertanyaan itu aku justru menggerutu sembari menjawab.

"Ya nikmatlah."

 "Jadi yang bikin nikmat itu kopinya?Kalo kita lagi sakit nikmatkah kopinya atau sekalian macam-macam makanan yang dirasa enak itu bakal nikmat bila sedang sakit?"

Jawaban darinya itu malah bikin aku pusing, dan bingung. Lantas aku kejar lagi dengan pertanyaan lain, "hubungannya apa?Hidup sudah ada yang mengatur dan sakit itu"

"Begini, balasnya. Kita masih diberi sehat oleh Gusti Allah bukannya bersyukur, justru sebaliknya, malah kufur."

Kontan aku timpali lagi.

"Bukannya tidak bersyukur. Masalahnya aku harus memikirkan segala macam kebutuhan hidup. Ya keperluan rumah tangga, renovasi rumah, listrik, biaya sekoah dan kuliah anak, servis mobil, macam-macam, sedang gaji kurang untuk semuanya itu."

"Aku mengerti kawan, dan turut merasakan pula  bebanmu itu. Tapi rasanya kau lupa untuk mensyukuri yang telah diberikan Gusti Allah, Kau hanya menuhankan uang, rumah dan mobil yang sifatnya fana, dan tidak kekal itu, makanya semua itu telah membutakan hatimu. Kaupun jadinya tidak bisa lagi melihat karunia Gusti Allah selama ini."

"Bicara memang mudah. Coba saja jika kau ada di posisi seperti itu?.

 "Tenang. Aku hanya menyampaikan yang benar, dan yakini semua kehidupan makhluk di dunia ini sudah diatur Gusti Alloh. Salahnya manusia kebanyakan tak pernah ridho, ikhlas dan bersyukur. Bisanya cuma mengeluh saja."

Cepi yang gempal, dan matanya kadang mendelik secara tiba-tiba kala bicara menambahkan,"kau  pasti sering mendengar ceramah tentang berbaik sangka pada Gusti Allah. Karenanya aku yakin kau masih gelisah dengan hidup ini, padahal yang membuat  gelisah, susah dan tenang itu Gusti Alloh."

Intinya lanjut kawanku ini mengakhiri,"semua masalah atau musibah jangan dicemaskan, yang perlu dicemaskan yaitu kurang tawakal dan taqwa kepada Gusti  ALLOH. Makanya kita harus yakin, hakul yakin UNTUK selalu patuh dan pasrah atas perintah dan jaminan Gusti Alloh yang mengatur segala urusan hidup manusia."

Nyaris satu jam perbincangan itu. Aku serius dengarkan uraian yang disampaikannya tanpa menyanggah. Untaian kata darinya itu seperti mewakili jalan hidupnya yang tanpa beban, dan menerima apapun yang selalu ia terima.

Padahal aku meyakini juga, ia kawanku ini bukanlah malaikat yang bebas dari masalah. Hanya saja ia bisa menyimpannya, dan mengendapkannya di dalam hati. Yang menurutku justru masalah yang disimpan di hatinya itu bila sewaktu-waktu tak terbendung akan meluap juga. Siapa tau. Contohnya, keinginannya untuk mengawini janda tua itu.

Tanpa terasa kami pun meninggalkan warung kopi ini dan gegas beranjak ke mushola tatkala azan maghrib berkumandang. Aku setidaknya mendapat pencerahan darinya bagaimana menyikapi hidup itu dengan pasrah, dan menerima kehendak dari yang Maha Kuasa.

Sambil mengingat-ingat juga janji darinya yang akan meminang seorang janda tua akhir tahun nanti. Aku hanya mengamini diam-diam keinginannya itu.

Penulis: Bambang Sagitanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun