Ia tiba-tiba berujar, " tenang kawan, minum dulu kopinya."Â
Aku pun ikuti maunya, dan seruput sekadarnya kopi ini. Tapi bukannya menjawab pertanyaanku yang tadi, ia malah balik bertanya, Â " Bagaimana kopinya?nikmatkah?"
Mendengar pertanyaan itu aku justru menggerutu sembari menjawab.
"Ya nikmatlah."
 "Jadi yang bikin nikmat itu kopinya?Kalo kita lagi sakit nikmatkah kopinya atau sekalian macam-macam makanan yang dirasa enak itu bakal nikmat bila sedang sakit?"
Jawaban darinya itu malah bikin aku pusing, dan bingung. Lantas aku kejar lagi dengan pertanyaan lain, "hubungannya apa?Hidup sudah ada yang mengatur dan sakit itu"
"Begini, balasnya. Kita masih diberi sehat oleh Gusti Allah bukannya bersyukur, justru sebaliknya, malah kufur."
Kontan aku timpali lagi.
"Bukannya tidak bersyukur. Masalahnya aku harus memikirkan segala macam kebutuhan hidup. Ya keperluan rumah tangga, renovasi rumah, listrik, biaya sekoah dan kuliah anak, servis mobil, macam-macam, sedang gaji kurang untuk semuanya itu."
"Aku mengerti kawan, dan turut merasakan pula  bebanmu itu. Tapi rasanya kau lupa untuk mensyukuri yang telah diberikan Gusti Allah, Kau hanya menuhankan uang, rumah dan mobil yang sifatnya fana, dan tidak kekal itu, makanya semua itu telah membutakan hatimu. Kaupun jadinya tidak bisa lagi melihat karunia Gusti Allah selama ini."
"Bicara memang mudah. Coba saja jika kau ada di posisi seperti itu?.