Mohon tunggu...
BamsBulaksumur
BamsBulaksumur Mohon Tunggu... Dosen - BamsBulaksumur

Peneliti Akuntansi Forensik dan Media Sosial

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana Nasib Upah Buruh dalam Omnibus Law?

21 Maret 2020   18:36 Diperbarui: 21 Maret 2020   20:41 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tuntutan para penolak Omnibus Law Cipta Kerja yaitu menilai bahwa aturan baru ini akan mengurangi kesejahteraan dan perlindungan kaum buruh Indonesia dan akan menghancurkan masa depan anak bangsa. Selain itu, Omnibus Law Cipta dinilai juga dapat menghilangkan upah minimum bagi para pekerja. Nah apakah benar demikian?

Mari kita ulas pelan-pelan, bagaimana nasib upah buruh dalam Omnibus Law. 

Ternyata, informasi diatas merupakan pemikiran sempit dan bahkan merupakan klaim sepihak dari sekelompok orang yang tidak menyukai hadirnya regulasi baru. Atau bisa dikatakan sekelompok orang yang tidak ingin bangsa ini lebih maju, apalagi ingin mensejahterahkan kaum buruh Indonesia.

Padahal dibeberapa negara yang telah menerapkan Omnibus Law justru membuat perekonomian dan kesejahteraan buruh di negara tersebut semakin meningkat maju.

Salah satu poin yang dipermasalahan oleh pihak-pihak yang menolak Omnibus Law adalah akan dihapuskannya upah minimum regional karena akan dibelakukan upah minimum provinsi yang artinya akan membuat buruh dibeberapa daerah akan mengalami penurunan upah. Apakah benar demikian?

Tentu tidak karena penilaian tersebut salah besar. Oke sebelumnya, harus kita pahami terlebih dahulu bahwa hadirnya upah minimun provinsi dalam Omnibus Law itu merupakan jaring pengaman dari pemerintah untuk tetap menjaga batas bawah besaran upah sang pekerja. Artinya upah minimum provinsi akan dijadikan patokan agar para pengusaha tidak semena-mena dalam pembayaran upah dan jangan sampai para pekerja dibayar dibatas bawah UMP.

Akan tetapi, penerapan upah minimum provinsi dalam Omnibus Law itu akan diberlakukan bagi pekerja yang bekerja pada tahun pertama. Sedangkan tahun ke 2 atau bulan ke 13 gaji pekerja tersebut harus dinaikan seperti para pekerja lainnya.

Artinya upah minimum provinsi ini hanya berlaku di tahun pertama dan tahun kedua struktur skala upah akan menggunakan skema yang ada pada masing-masing perusahaan. Artinya, pembayaran upah setelah tahun pertama akan tetap berlaku upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah sektoral kabupaten/kota (UMSK).

Oleh sebab itu, informasi yang mengatakan bahwa semua upah pekerja lama akan disamakan dengan upah minimum provinsi dan dihapuskannya upah minimum regional itu tidak benar.

Kesimpulannya dalam Omnibus Law pembelakukan upah minimum provinsi bagi pekerja di tahun pertama sebenarnya untuk menjamin hak pekerja ini agar tidak dibayar semena-mena oleh perusahaan. Dengan begitu kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja itu tidak lain adalah untuk melindungi hak para pekerja dan bukan sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun