Berdasarkan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2011, secara khusus pada Pasal 4, disebutkan bahwa setiap calon TKI yang akan diberangkat ke luar negeri wajib terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kesehatan dan psikologi.
Dari sejak saya pertama kali mendengar informasi tentang Perpres ini, saya mendengar ada dua kubu, yang optimis dan pesimis, yang pendapatnya bertentangan dalam menanggapi dikeluarkannya peraturan baru ini. Karena sering dengar, saya jadi tertarik untuk membahasnya disini dan menanyakan pendapat dari rekan-rekan semua.
Dari kacamata seorang optimis, hal tersebut tentu merupakan suatu kabar yang sangat menggembirakan. Karena dengan demikian maka kedepannya setiap TKI yang diberangkat ke luar negeri adalah orang-orang terpilih yang telah terseleksi secara kesehatan dan psikologis. Ditambah dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya, para TKI kini sudah seperti sekelompok pasukan elit yang telah ditempa terlebih dahulu dan telah disertifikasi sebelum diterjunkan ke medan laga. Jika sebelumnya persyaratan lebih banyak bersifat formal dan teknis, kini dengan adanya persyaratan kesehatan dan psikologis tentu akan menelurkan para TKI yang sudah sangat mumpuni untuk bekerja di negeri orang. Hal ini tentu akan mengangkat kredibilitas para TKI itu sendiri, dan pada akhirnya diharapkan dapat meminimalisir stigma-stigma maupun perlakuan kepada para TKI, khususnya yang bekerja di sektor informal, yang selama ini seperti dipandang sebelah mata.
Namun, jika dilihat dari perspektif seorang pesimis, sudah barang tentu pendapat yang keluar adalah peraturan ini tidak akan membawa perubahan menuju kebaikan bagi para TKI dan disinyalir hanya akan menjadi satu lagi lahan pungli terhadap mereka.
Yah, mungkin memang tidak ada yang benar ataupun salah dari kedua pandangan tersebut, tetapi saya tertarik untuk sedikit membahas fakta di lapangan berdasarkan pengetahuan saya yang sedikit tentang hal ini. Sebagai catatan, khusus untuk artikel ini, yang saya maksud dengan TKI adalah TKI yang bekerja di sektor informal yang mayoritas bekerja sebagai PRT.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, sebagian besar masalah TKI yang ada diakibatkan oleh hal-hal berikut ini:
- TKI (meskipun telah mendapat sertifikasi keahlian dan bahasa) ternyata tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan kualifikasi sertifikatnya;
- TKI memiliki dokumen-dokumen yang 'aspal' (asli tapi palsu, biasanya pemalsuan umur);
- TKI ditipu oleh agen 'nakal' yang mengirimnya.
Jadi sebelum kita memikirkan solusi-solusi yang hebat-hebat, seperti membuat persyaratan baru untuk para TKI atau bahkan moratorium, alangkah baiknya jika kita berkonsentrasi terlebih dahulu dan memfokuskan diri untuk mencari solusi dari ketiga permasalahan di atas, karena jika ketiga permasalahan berhasil ditangani, saya yakin jumlah insiden yang menimpa TKI pasti bisa ditekan dalam persentase yang sangat signifikan!
Pertama, terkait dengan fakta bahwa banyak TKI yang dikirim ke luar negeri, namun ternyata tidak memiliki kemampuan memadai, mulai dari hal yang primer seperti dari segi bahasa dan skill kerja sampai kemampuan sekunder terkait dengan pemahaman terhadap budaya sosial di negara tujuan. Sebenarnya jika kita melihat kepada peraturan yang ada, setiap TKI yang dikirimkan ke luar negeri sudah mendapatkan pembekalan yang cukup dan akan dilegitimasi melalui penerbitan sertifikat-sertifikat oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan berdasarkan ketentuan Pemerintah yang berlaku. Lalu bagaimana mungkin ada TKI yang sudah sampai di negara tujuan, yang notabene sudah tersertifikasi dan lulus seleksi di dalam negeri, namun ternyata tidak bisa bahasa setempat, tidak mengerti kultur budaya setempat, dan tidak memiliki kemampuan kerja yang memadai? Jawabannya mudah saja sebenarnya, ada yang salah dengan otoritas yang bertugas memberikan sertifikasi kepada para TKI!
Jika ada TKI yang diketahui telah diberangkatkan ke luar negeri namun ternyata kemudian diketahui bahwa ia tidak memiliki kemampuan yang memadai sebagaimana dicantumkan oleh sertifikat keahliannya, maka tidak perlu berpikir panjang-panjang, langsung saja dipanggil dulu pejabat yang membertugas memeriksa kualifikasi si TKI yang bersangkutan. Patut dipertanyakan keputusannya yang meloloskan sang TKI, karena secara tidak langsung, ia telah menyatakan bahwa TKI yang bersangkutan telah memiliki kemampuan yang memadai. Oleh karena itu, jika dikemudian hari keputusannya itu ternyata terbukti salah, dan si TKI ternyata tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka ia harus bertanggungjawab secara penuh. Hal ini tidak bisa dianggap enteng, karena ketidaksiapan TKI untuk dikirim ke negara tujuan, pada akhirnya dapat menjadi penyebab masalah mulai dari penyiksaan, perkosaan, bahkan pembunuhan!
Terkait dengan hal tersebut, maka Pemerintah sudah selayaknya untuk bersikap lebih tegas dan lebih teliti dalam mengawasi dan menseleksi para pejabat yang akan bertanggungjawab dalam proses sertifikasi TKI. Pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas, termasuk sanksi pidana, bagi para pejabat yang terbukti telah lalai meluluskan TKI yang tidak kompeten. Mengingat implikasi yang dapat ditimbulkan, mulai dari dapat menyebabkan insiden kekerasan terhadap para TKI, kematian, maupun dapat memberikan dampak negatif dalam hubungan antar dua negara, maka sangat tidak proporsional apabila kelalaian pejabat yang bersangkutan hanya dihukum dengan tindakan administratif.
Guna menanggulangi permasalahan ini, ada baiknya Pemerintah mendata pejabat-pejabat 'penjaga pintu', yaitu pejabat yang bertugas meloloskan seorang TKI untuk dapat diberangkatkan ke luar negeri. Dengan demikian, jika seorang TKI terlibat masalah Pemerintah bisa dengan cepat mengetahui siapa pejabat yang bertanggungjawab meloloskan TKI yang bersangkutan dan dapat dengan cepat dimintai keterangan serta pertanggungjawabannya.
Masalah kedua, adalah banyak agen TKI yang berusaha untuk mengirimkan TKI mereka secepat mungkin, agar bisa sesegera mungkin mendapatkan komisi dari usaha mereka tersebut. Tindakan mereka ini terkadang juga sejalan dengan keinginan dari sang TKI itu sendiri, yang pastinya ingin segera diberangkatkan agar dapat secepatnya mengirimkan uang gaji mereka ke kampung. Namun, dalam hal ini seharusnya pihak agen dapat memberikan pemahaman kepada pihak TKI, bahwa setiap prosedur harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan bukan hanya untuk kepentingan formalitas dokumen akan tetapi lebih kepada mempersiapkan mereka agar dapat bekerja dengan baik dan meminimalisir kemungkinan terjadinya insiden-insiden sesampainya mereka di negara tujuan.
Jika para TKI menjalani pelatihan dengan baik, dan diberangkatkan dengan kemampuan yang memadai, maka pada akhirnya para TKI juga yang akan menikmatinya karena mereka tidak akan kesulitan dalam bekerja dan akan terhindar dari perlakuan tidak enak oleh para majikan yang kesal karena TKI yang mereka pekerjakan ternyata tidak memiliki kemampuan kerja yang cukup.
Terhadap permasalahan ini, Pemerintah juga sebaiknya lebih ketat mendata dan mengawasi para perusahaan yang menjadi agen dalam pemberangkatan TKI. Pemerintah juga sebaiknya menunjuk pejabat yang bertanggungjawab untuk mendata dan mengawasi para agen agar para agen menjadi semakin berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Jika dikemudian hari ada agen yang terbukti telah memalsukan dokumen TKI, atau berusaha mencari jalan pintas untuk mengirimkan TKI maka pejabat yang bersangkutan harus memberikan tindakan tegas terhadap agen yang bersangkutan, termasuk dengan sanksi pidana, agar menjadi contoh bagi agen yang lain. Namun jika pejabat yang bersangkutan lalai atau gagal mengontrol para perusahaan agen, atau bahkan terbukti 'bermain mata' dengan agen, maka harus ditentukan sanksi tegas yang akan dijatuhkan kepada pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian, baik agen maupun pejabat akan kapok!
Ketiga, banyak juga ditemui bahwa pihak agen menipu TKI dengan mengatakan akan memberikan pekerjaan sebagai PRT atau pelayan restoran namun pada kenyataannya TKI dijadikan sebagai subjek human trafficking. Terhadap permasalahan yang satu ini, lagi-lagi Pemerintah harus memberikan sanksi tegas kepada para agen yang terbukti melakukan penipuan terhadap para TKI. Pemerintah juga sebaiknya proaktif dalam memberikan informasi kepada para calon TKI, sehingga TKI tahu kemana ia harus pergi apabila ia ingin diberangkatkan sebagai TKI. Dengan demikian, para agen nakal akan semakin sulit untuk menjaring mangsanya. Kuncinya adalah sanksi yang tegas dan penegakan yang konsisten, sehingga para agen yang hendak berbuat 'nakal' akan berpikir matang-matang sebelum melakukan aksinya.
Lebih lanjut, Pemerintah mungkin juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap TKI yang telah dikirim ke luar negeri, yaitu dengan cara menempatkan pengawas TKI pada negara-negara tujuan guna menjaga komunikasi dengan para TKI serta memantau kondisi mereka secara intensif, sehingga kondisi TKI dapat selalu terpantau dan Pemerintah dapat segera melakukan investigasi apabila ada TKI yang setelah beberapa waktu tidak melakukan komunikasi dengan pengawasnya.
Dalam hal ini Pemerintah dapat bekerjasama dengan organisasi-organisasi pemerhati ketenagakerjaan untuk menyediakan orang-orang yang kompeten dan juga dengan KBRI setempat untuk membantu masalah sarana dan prasarana. Saya kira hal tersebut tidak akan sulit dan tidak mahal untuk dilakukan. Pemerintah bisa memberikan jatah 1 meja di KBRI, untuk pejabat pengawas TKI yang dimaksud. Kemudian si pengawas khusus bertugas untuk menjaga komunikasi dan menerima pengaduan dari TKI terhadap masalah yang menimpa mereka. Pengawas juga bertugas untuk menghubungi TKI apabila TKI yang bersangkutan tidak melaporkan kondisi mereka pada waktu yang telah ditentukan. Jika menjalankan hal ini, paling tidak kita bisa meminimalisir situasi dimana TKI disekap dan disiksa sampai berbulan-bulan oleh majikannya. Jika sampai masih ada TKI yang tertimpa kejadian seperti itu, maka si petugas pengawas yang harus bertanggungjawab, artinya ia telah lalai didalam menjaga komunikasi dan mengawasi kondisi TKI yang ada didalam wilayah tanggungjawabnya. Jumlah petugas dapat ditentukan dengan asas proporsional berdasarkan jumlah TKI dan tingkat kasus yang ada. Sebagai contoh, untuk negara-negara yang banyak terjadi insiden kekerasan terhadap TKI, seperti Malaysia (39%) dan Arab Saudi (38%)*, maka jumlah petugasnya harus lebih banyak dan kemampuannya harus lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain.
Terkait dengan hal ini, kalau tidak salah Satgas TKI berencana untuk menempatkan pengacara di negara tujuan, langkah ini patut dipuji dan diapresiasi. Namun sekali lagi, perlindungan terhadap TKI harus dilakukan dari sejak sebelum mereka diberangkatkan. Pengacara berfungsi untuk membantu TKI ketika ia terkena masalah di negara tujuan, masalah mana yang biasanya timbul karena TKI tidak memiliki kemampuan kerja dan bahasa yang memadai. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, karena selama kita masih mengirim TKI yang kemampuannya kurang memadai, maka persoalan baru akan terus timbul! Harus ada kejelasan terkait pihak yang bertanggungjawab jika ada TKI yang tidak memiliki kemampuan memadai namun tetap dikirim ke luar negeri, dengan demikian bisa diawasi dan diberikan tindakan tegas jika terbukti lalai dalam menjalankan tugasnya!!
Marilah kita mencontoh negara tetangga kita Filipina yang dapat dikatakan cukup berhasil didalam mengorganisir para tenaga kerja mereka di luar negeri. Jika dilindungi dan diawasi dengan baik, maka kedepannya kita bisa mengirim lebih banyak lagi TKI ke luar negeri. Hal ini bukan saja akan mendatangkan pendapatan bagi negara melalui remitansi  yang tahun lalu saja bisa mencapai US$ 6.734.931.811.24**, namun juga dapat mengurangi beban Pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran di dalam negeri. Jika pengangguran berkurang, maka tingkat kriminalitas secara otomatis akan turun dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan naik. Jika sudah begitu, semua pihak akan senang!
Kembali lagi ke masalah pemberlakuan Perpres  No. 64 Tahun 2011, jika melihat kepada fakta-fakta di atas, maka kita cenderung akan berpikir pesimistis bahwa keadaan akan berubah menjadi lebih baik, karena peraturan tersebut tidak menjadi solusi atas permasalah-permasalahan utama yang telah dijabarkan di atas. Namun demikian, kita tidak bisa berpikir pesimis, karena bersikap pesimis tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus tetap optimis bahwa ketentuan yang baru ini, sekecil apapun, akan turut membantu mengurangi permasalah terkait TKI di negara tujuan, dan bukannya hanya menjadi satu lagi tempat pungli bagi para TKI sebelum mereka dikirim untuk menjadi sapi perah di negara orang.
Yah, ini hanya pendapat saya sebagai orang awam, mungkin saja rekan-rekan Kompasioner yang lebih ahli dan tahu lebih banyak terkait hal ini dapat memberikan pendapat yang lebih tepat. Mohon maaf jika ada opini saya yang salah, saya selalu terbuka terhadap kritik dan masukan. Yang penting kita selalu menghargai perbedaan dan kebebasan berpendapat, selama hal tersebut dilakukan dalam koridor etika sopan-santun.
Hanya dengan terus bersikap proaktif dan kritis, kita bisa membuat perubahan dan membangun negeri ini!
"It's not the violence of the few that scares me, but it's the silence of many!" ~Edward R. Murrow
*Berdasarkan data dari Migrant Care (http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=content&op=viewcontent&contid=11)
**Berdasarkan data BNP2TKI (http://bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/5226-bnp2tki-remitansi-tki-hingga-juni-2011-capai-lebih-rp-285-triliun.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H