Hari ini seperti biasa, setelah selesai dengan urusan pekerjaan kantor di salah satu instansi pemerintah di jalan Gatot Subroto, saya langsung mencegat taksi untuk kembali ke kantor.
Diperjalanan, entah bagaimana awalnya saya mulai berbincang-bincang dengan sang supir taksi. Pembicaraan berawal dari mengkomentari kemacetan Jakarta, berlanjut ke mengkritik pemerintah yang sepertinya masih kurang maksimal dalam menjalankan perannya, sampai akhirnya membahas masalah korupsi yang sepertinya semakin hari semakin merajalela. Membicarakan soal korupsi, tiba-tiba bapak supir taksi nyeletuk, "Kayanya tapi makin lama orang makin ga takut ya pak mau korupsi, harusnya dihukum mati kali ya pak kalo orang korupsi, biar pada takut!". Mendengar hal tersebut saya hanya tertawa.
Tapi kemudian, setelah saya sampai di kantor, saya jadi terus memikirkan perkataan polos bapak supir taksi itu, sepertinya ia sudah gemas sekali dengan perilaku para koruptor yang ia lihat di TV setiap hari dan sudah sangat bingung dengan perilaku mereka yang seolah-olah tidak takut dengan ancaman hukuman penjara apabila mereka sampai tertangkap, sampai-sampai dia berpikiran bahwa lebih baik para koruptor di eksekusi mati saja. Yah, bisa juga sih bapak itu berpikir demikian karena dia melihat para koruptor itu pun sepertinya selama ini tidak pernah dihukum berat, tapi tetap saja saya kaget karena bapak yang sangat santun dan sepertinya baik hati itu sampai tega menyarankan agar seseorang dihukum mati!
Setelah saya pikir-pikir, saya jadi sedikit mengerti dan memahami kegemasan si bapak itu tadi. Hampir setiap hari kita melihat para koruptor hanya divonis dengan pidana penjara ringan. Salah satu lembaga pengamat korupsi yang terkenal kritis bahkan menyatakan bahwa rata-rata vonis untuk perkara korupsi hanyalah 2 tahun penjara, belum lagi ada banyak juga yang malah divonis bebas! Bukan main.
Di sisi lain, para koruptor juga sepertinya sudah dianggap 'tercuci' dosa-dosanya apabila mereka sudah mengembalikan uang negara yang sudah mereka ambil. Saya jadi semakin mengerti, tak heran para koruptor itu tidak pernah kendur semangat dan motivasinya untuk mengkorupsi uang rakyat. Coba saja kita telaah, misalkan saja seorang koruptor berusia 45 tahun menyalahgunakan kewenangannya untuk mencuri uang rakyat sebesar 500 milyar rupiah, lalu beberapa waktu kemudian ia tertangkap dan kemudian dipidana. Dengan rata-rata vonis yang cuma 2 tahun, dan denda maksimal dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang hanya 1 milyar rupiah, maka jika ia ditangkap taruhlah 1 tahun setelah ia melakukan korupsi itu, bayangkan berapa besar keuntungan yang masih bisa ia nikmati!
1 tahun setelah uang diterima, uang yang tadinya hanya 500 milyar rupiah mungkin sudah bisa beranakpinak sampai dengan sepuluh kali lipat dari nominal awal. Itu artinya 5 triliun rupiah bung!
Jika dipotong 500 milyar sebagai uang hasil korupsi, 1 milyar sebagai denda, dan (taruhlah) 4 milyar untuk bayar pengacara ketika sidang. Lalu mungkin ditambah lagi 15 milyar untuk bayar oknum di Kepolisian, 10 milyar untuk oknum di Kejaksaan, dan 20 milyar untuk bayar oknum Hakim yang akan memutus perkara. Masih ada sisa 4,45 triliun yang ada di tabungan si koruptor!
Katakanlah apabila ia tertangkap pada usia 46 tahun (1 tahun setelah dia korupsi uang), lalu dipenjara 2 tahun (sesuai dengan rata-rata vonis menurut lembaga pemerhati korupsi), maka dia akan keluar dari penjara pada usia 48 tahun (bahkan mungkin lebih cepat lagi, jika ia sering mendapatkan pengurangan hukuman) dengan uang 'tabungan pensiun' hampir 4,5 triliun rupiah! FANTASTIS!
Jika anda termasuk orang yang berpikiran bahwa uang bukanlah segalanya dan si koruptor akan tetap menderita setelah keluar penjara karena akan ada sanksi moral dari lingkungan disekitarnya, menurut saya teori anda ini pun saat ini sepertinya kurang tepat. Dari pengalaman saya pribadi, orang-orang sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan asal kekayaan yang dimiliki seseorang selama orang tersebut berkategori 'dermawan'. Saya kenal dengan beberapa orang anak dari orang-orang yang pernah dipidana untuk kasus korupsi (atau tidak pernah dipidana tapi sepak terjangnya sudah menjadi rahasia umum), dan sepertinya kehidupan mereka damai-damai saja. Bahkan guru-guru di sekolah rajin sekali menjilat si anak dan apalagi si bapak (atau ibu) jika kebetulan si orang tua itu sedang datang ke sekolah. Si anak juga sepertinya tidak merasa risi ataupun malu dengan kelakuan orang tuanya, bahkan ada yang dengan jumawa berkata bahwa yang penting keluarga mereka punya uang yang banyak dan ia bisa bebas mendapatkan barang-barang yang ia mau (saya tidak kenal dengan anaknya, tapi kalau tidak salah, seorang anak dari pegawai bank yang terkenal berdada super besar, yang saat ini sudah ditangkap oleh polisi karena menggelapkan uang para nasabah bank-nya, pernah memasang status di jejaring sosial yang isinya cukup 'sensasional' sehingga menghebohkan banyak orang)! Oleh karenanya, tak heran jika para koruptor merasa bahwa lingkungan di sekitar mereka ini sangat supportif terhadap aktivitas korupsi yang ia lakukan. Sekali lagi, bukan main.
Satu lagi sisi bangsa kita yang sepertinya juga turut mendukung para koruptor di dalam menjalankan aksinya, kita ini sepertinya sangat pelupa. Banyak sekali anggota dewan maupun para pemimpin daerah yang pernah terlibat kasus korupsi (bahkan ada yang ketika mencalonkan diri masih berstatus tersangka), tapi masih saja bisa menang telak dalam pemilihan! Saya betul-betul heran untuk yang satu ini, para pemilih itu pelupa berat, sangat pemaaf, atau bagaimana? Karena jujur saja, saya tidak bisa menemukan jawaban yang logis untuk fenomena yang satu ini (ada jawaban yang sedikit su'udzon, tapi sepertinya tidak baik kalau diungkapkan).
Dari fakta-fakta yang saya tulis di atas, sepertinya memang negara ini adalah taman bermain yang sangat cocok untuk tumbuh-kembang para koruptor. Jadi memang sepertinya sah-sah saja bila ada sebagian orang yang merasa perlu ada metode yang sedikit radikal untuk memberantas praktek korupsi yang ada di negara ini. Salah satu contohnya mungkin ya itu, seperti kata-kata bapak supir taksi yang saya tumpangi tadi siang, walaupun saya yakin banyak yang tidak setuju, yang merasa mungkin ada baiknya jika kita meniru RRC.