Rocky Gerung memang cerdas dan tajam dalam menganalisa sosial politik, tapi untuk memahami perasaan penonton timnas Indonesia, dia dungu. Sepak bola punya dunianya sendiri. Kalau Rocky bilang, gemuruh sambutan terhadap laga timnas di GBK sebagai gemuruh palsu, karena Rocky punya dunia yang beda, dunia panjat gunung. Bagi penonton setia timnas, nggak peduli siapa yang bermain, yang penting nama Indonesia disebutkan dengan echo besar di lapangan, dan yang lebih penting lagi, bendera merah putih berkibar semarak.
Makanya kalau mau menyelami perasaan riang gembira penonton timnas, masuklah dalam dunia sepak bola. Nasionalisme dalam sepak bola juga punya dunianya sendiri yang sulit dipahami oleh sebagian warga negara yang non sepak bola. Hal serupa terjadi di Prancis. Pada tahun 1998 untuk pertama kalinya Prancis mejuarai piala dunia. Bendera Prancis ramai dikibarkan sepanjang jalan sambil mengelu-elukan Zidane yang waktu itu masih berambut dan kawan-kawan. Apakah semua warga Prancis gembira? Nggak juga. Warga Prancis non sepak bola nyinyir juga kaya sebagian orang-orang kita. Mereka mempertanyakan para pemain Prancis yang kebanyakan warga keturunan. Padahal jika dibandingkan dengan pemain naturalisasi kita, Zidane walaupun dia adalah imigran Aljazair, tapi dia lahir di Marseille, Prancis. Thierry Henry, transmigran dari pulau kecil Guadeloupe. Youri Djorkaeff, imigran Armenia. Praktis hanya kurang lebih 5 orang termasuk Didier Deschamps yang pribumi Prancis. Tapi tetap tidak menggoyahkan rasa nasionalisme masyarakat sepak bola Prancis. Walaupun legenda sepak bola Prancis Michel Platini dielu-elukan oleh warga Roma karena menjadi pahlawan Juventus menjuarai piala champion, tapi sebagai pribumi Prancis dia gagal membawa Prancis menjadi juara dunia. Dia dihormati sebagai legenda sepak bola Prancis tapi bukan pahlawan.
Apalagi pemain naturalisasi timnas yang bukan lahir di Indonesia, pasti masyarakat non sepak bola Indonesia  sulit memahami gemuruh penonton sepak bola di GBK yang meneriakan nama Martin Paes yang oleh Rocky dianggap sebagai teriakan palsu.
Rocky menawarkan alternatif pembibitan. Nggak apa-apa kalah terus, tapi pembibitan pemain jalan terus. Sejak PSSI gabung ke Fifa tahun 1952, timnas jadi langganan kalah. Bukan cuma kalah mulu, tapi dijadikan lumbung goal lawan. Tentu saja sejak tahun 1952 pembibitan jalan terus. Siapa sih Presiden yang nggak mau timnasnya tembus ke piala dunia? Tapi hasilnya? Masyarakat sepak bola sebelum datang ke stadion bukan hanya membawa bekal minuman, tapi juga bawa bekal kecewa bakal kalah lagi. Boleh dibilang, masyarakat sepak bola sudah frustasi sebelum bertanding. Bagi masyarakat non sepak bola mah nggak peduli, mau memang kek, mau kalah kek. Nggak ngaruh.
Erick Tohir beruntung punya Presiden yang pencitraan menjadi visi misinya. Maka Erick mengambil jalan pintas yang disebut sebagai program jangka pendek. Sebagaimana halnya pencitraan IKN yang dikebut dan dipaksakan untuk upacara 17an walaupun resiko banyak anggota Paskibaraka dan para pejabat sepulang dari IKN pada diare, Presiden juga ingin melihat pada masa baktinya timnas tembus piala dunia, minimal piala Asia.
Walhasil, untuk pertama kalinya timnas U23 masuk perempat final Piala Asia tahun 2024. Pemain naturalisasinya masih fifty-fifty lah degan pemain lokal. Tapi untuk urusan tembus piala dunia tentu saja tantangannya berbeda. Lebih banyak pemain naturalisasinya. Itu pun para penggemar dan pengamat hanya baru merasakan aroma piala dunia. Belum sampai tahap optimis tembus piala dunia. Hasil seri pun sudah dianggap menang.
Pembibitan itu perlu triger. Kalau timnas kalah mulu, bibit pun layu sebelum berkembang. Seniornya masuk perempat final piala asia saja sudah bikin para bibit, timnas U-19 sukses mengalahkan Argentina. Itulah pentingnya triger.
Nasionalisme palsu itu kalau penonton datang ke stadion dimobilisasi, dikasih bus ber-acc. Mereka datang pakai ongkos sndiri, beli karcis yang lumayan mahal, memenuhi stadion, membawa bendera merah putih, bernyanyi lagu-lagu nasional. Kalau menuruti kemauan Rocky, biarlah kalah terus, biarlah timnas dipermalukan terus menerus di kendang sendiri yang penting pemain timnas pribumi. Maka penjualan karcis itu adalah tiket menuju duka cita berkepanjangan. Itu!
-Balyanur
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H