Saya nggak ikutan ngeshare skrinsyut judul berita, " Mahfud MD Larang Kata Kafir Terucap dalam Masjid. " Â Karena saya tahu, melihat rekam medsos Mahfud MD, nggak mungkin lah dia bicara seperti itu. Saya yakin judul itu nggak sesuai dengan isi. Dan benar saja. Kalau kita baca isi beritanya memang nggak ada. Ucapan Mahfud MD soal kata kafir dalam berita itu adalah soal takfiri. Ini copasan pernyataannya.
"Eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga mengingatkan, masjid tidak boleh menyampaikan hal-hal yang dapat mengadu domba masyarakat. Masjid juga tidak boleh menjadi rumah bagi kelompok takfiri, yakni kelompok yang menganggap semua pihak berseberangan dengan pemahamannya sebagai musuh atau kafir."
Apa yang dimaksud Mahfud MD dengan istilah takfiri? Bisa kita baca dalam cuitan Mahfud MD tanggal 28 Oktober 2019 berikut ini, "Ada jg teman minta izin akan laporkan beberapa akun yg bilang sy melarang bilang kafir di masjid. Itu bohong besar. Sy setiap hr membaca surat Kahfi, Surat Waqiah, dan Kafirun. Di situ ada kata kafir lbh 10 kali. Yg sy soal itu "mengkafirkan" orng yg hny beda pendapat dan madzhab. "
Ya, dari dulu istilah takfiri memang begitu, mengkafirkan sesama muslim. Bukan menyebut orang kafir sebagai kafir. Kalau meyebut kafir sebagi kafir, salahnya dimana? Tapi sayangnya, larangan takfiri terlalu banyak penumpang gelapnya. Dimanfaatkan oleh kafirun dan pendukungnya yang gerah disebut kafir. Serba salah memang. Nggak mau bersyahadat, tapi juga nggak mau disebut kafir.
Hingga akhirnya NU ikut turun tangan dengan merekomendasikan, " Jangan sebut kafir kepada non muslim." NU pun tidak menyebut mengkafirkan non muslim sebagai takfiri. NU lebih menitik beratkan pada soal kesetaraan, "Status non muslim dalam negara bangsa seperti Indonesia adalah warga negara (muwathin) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara lain."
Alasannya, "Mereka tidak masuk dalam kategori-kategori kafir yang ada dalam fikih klasik, yakni mu'ahad (punya perjanjian damai), musta'man (minta perlindungan dan dijamin aman oleh negara), dzimmi (dilindungi karena mengikuti semua aturan), dan harbi (Diperangi karena melawan) "
Cuma persoalannya, dari dulu ketika bicara soal toleransi maka ayat Al-Qur'an  yang digunakan --baik oleh muslim dan non muslim-- adalah akhir surat Alkafirun, " Bagimu agamamu, bagiku agamaku." Sedangkan surah Alkafirun ditujukan pada orang-orang kafir. Maka konsekwensi rekomendasi " Jangan sebut kafir kepada non muslim" adalah jangan lagi menggunakan dalil surah Alkafirun untuk bicara soal toleransi antar umat beragama.
Lagi pula istilah dzimmi dan harbi seperti tertulis dari rekomendasi itu, sering kita dengar didahului dengan kata kafir, kafir dzimmi dan kafir harbi. Kalau mau main logika sederhana dan asal gobleknya begini, mengganti istilah kafir dengan istilah non muslim kan sama saja dengan mengatakan, kafir sama dengan non muslim. Cuma ganti istilah saja.
Bisa jadi Mahfud MD benar. Urusan muwathin atawa warga  negara kan urusan konstitusi. Sedangkan istilah kafir adalah ranah agama. Maka rekomendasi NU itu bisa dibaca sebagai rekomendasi khusus untuk muslim agar tidak menyebut non muslim dengan istilah kafir. Anehnya, kalau ditujukan buat muslim, kenapa justru yang terdepan teriak setuju adalah non muslim? Kan mestinya mereka pasif saja. Ini kan urusan internal umat Islam. Tapi memang sih rekomendasi yang dikeluarkan di tengah panasnya jelang pilpres 2019 itu punya nuansa politik yang kental. Apa boleh buat.