Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yang penting masih bisa nulis

yang penting menulis, menulis,menulis. balyanurmd.wordpress.com ceritamargadewa.wordpress.com bbetawi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kacung Jadi Juragan

25 Mei 2018   07:43 Diperbarui: 25 Mei 2018   08:40 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mobil-mobilan bukan mobil beneran. Kalau kucing-kucingan, main petakumpet. Padahal Kucing nggak pernah main orang-orangan. Kucing kalau mau kawin tidak pernah ngumpet, nggak kaya orang. Cuma malu-malunya itu ngeselin. Malu tapi berisiknya minta ampun, sampe kedengeran seantero kampung. Mau tapi malu, malu tapi diumumkan.

Jhony Iskandar dulu bikin lagu, " Yuk kita main kawin-kawinan, bukan kawin beneran. " Mau beneran, mau bohongan, kalau urusan kawin jangan buat mainan. Bukan cuma nenek yang bilang itu berbahaya, Pak Ustadz bisa menjelaskan lebih rinci dalil-dalilnya.

Kata toleran, toleransi, hampir setiap hari kita dengar, sama seperti masa orba dulu yang gemar bicara pancasila. Apa pun soalnya harus disisipi kata, " Daripada Pancasila dan UUD 45. " Pagi-pagi sambil sarapan, sambil mendengar radio atau nonton tipi, menu sarapan paginya, " Daripada Pancasila dan UUD 45. " Siang, sore, sampai malam kata-kata itu terus mengikuti kita. Perkara apakah Orba mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dengan konsekwen atau tidak, itu soal lain lagi.

Toleransi-toleransian itu beda lagi. Kalau misalnya kau muslim, bersama teman-teman muslim lainnya kau menyelenggarakan acara buka puasa,tempatnya meminjam halaman gereja supaya kau dibilang toleran. Itu namanya toleransi-toleransian, toleransi pencitraan. Apa urgensinya? Beda kalau misalnya, ada acara buka puasa bersama jutaan muslim di Istiqlal. Karena tempatnya nggak muat, meluber sampai ke jalan, dan sampai numpang di halaman Katedral. Itu toleransi beneran.

Lucu-lucuan bukan lucu beneran. Nggak ada niat mau ngelawak, niat nya bisa saja mau mengancam atau mencelakakan orang lain. Misalnya, kau sedang tidur di teras masjid, teman-temanmu mau lucu-lucuan, mengikat satu kakimu ke tiang dengan tali panjang. Saat kau bangun kau jatuh terpelanting, kau bangun lagi kepalamu kejedot tiang. Dengkulmu bonyok, kepalamu benjol segede bakpao. Teman-teman usilmu tertawa terbahak-bahak. Kau tahu teman-temanmu tidak berniat jahat, tapi dengkul bonyok dan kepala benjol nggak ada urusan dengan niat.

Kalau dalam pentas komedi, biasanya peran Kacung buat lucu-lucuan. Dia harus rela kepalanya dikelepak, mukanya ditaburi terigu, atau pura-pura jatuh yang lumayan sakit juga. Pokoknya yang penting, penonton tertawa. Semakin menderita pemeran Kacung, semakin terbahak para penonton.

Perlakuan sutradara Srimulat terhadap peran Kacung, selalu memberi kesempatan Kacung tampil di awal pertunjukan. Sutradara memberi kesempatan Kacung mencitrakan dirinya sebagai juragan. Tamu yang datang menyangka Kacung adalah juragan. Kacung semakin sombong, penonton tertawa terbahak-bahak. Pada puncak kesombongannya, Kacung sampai gelap mata. Juragan keluar dari kamarnya, Kacung menyuruh juragan membuatkan minuman buat tamu. Juragan pura-pura menuruti kemauan kacung. Penonton tertawa sampai mules karena penonton tahu mana yang juragan dan mana yang kacung.

Setelah Kacung menyadari kesilapannya, dia rela dimaki, dikelepak, bahkan dia membenturkan sendiri kepalanya ke tembok. Penonton tambah ngakak. Padahal kalau dipikir, apanya yang lucu? Kacung yang sok jadi juragan , setelah penyamarannya terbongkar, dimaki sebagai kacung kan hal normal saja.

Juragan marah, " Kau cuma kacung di sini ! Lagakmu sok jadi juragan? Mau kepalamu saya adu sama tembok? " Kacung berjalan ke tembok menjedoti kepalanya sendiri. Penonton terbahak-bahak.

Kalau kacung marah dimaki sebagai kacung, penonton nggak bakal ketawa. Bukan sutradara yang menentukan jalan cerita, tapi penonton. Sutradara tidak akan mengambil resiko membohongi penonton sebab hidup dan matinya di atas panggung ditentukan dari jumlah tawa penonton. Dan penonton tahu mana juragan mana kacung.

25052018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun