Ada yang menyebut film pendek " Kau Adalah Aku yang Lain " adalah sebagai karya indei. Film yang dibuat khusus untuk ikut festival dengan tema tertentu, bukanlah sepenuhnya indie. Bisa jadi dari segi pembiayaannya adalah indie, tapi karyanya tidak independen, dibuat sesuai "pesanan"  user. Tergantung siapa yang"memesan." Karena film pendek itu diniatkan untuk ikut ajang Police Movie Festival ke-4 yang digelar oleh Polri, maka sineasnya harus memenuhi selera Polri sebagai user.
 Jika sineas punya ide bagus yang mengkritisi kinerja oknum Polri, maka sineas tahu persis ide itu mesti ditenggelamkan ke dasar laut. Sehebat apa pun sineas itu, sebagus apa pun film itu, dijamin  nggak bakalan menang.  Harus ada tokoh hero. Dan hero itu haruslah polisi. Maka tidak mengherankan kalau tokoh hero dalam film pendek " Kau Adalah Aku yang Lain " adalah polisi muda.Dalam film itu dari dialognya malah lebih mirip ustdaz  ketimbang polisi. Semuda itu saja sudah bisa jadi hero, gimana yang tua coba?
 Polisi yang agak tuaan dikit juga kan pernah menjadi pahlawan di media sosial. Dalam film karya jurnalistik, "86" produksi Net TV nampak polisi menasehati beberapa anggota FPI agar tidak melakukan sweeping geng motor. Padahal anggota FPI hanya beberapa orang saja, barangkali sama jumlahnya dengan polisi. Suasananya pun kondusif. Tidak nampak ada ketegangan, tidak ada masa, tidak ada geng motor. Anggota FPI pun tidak nampak melalukan perlawanan.Â
Suasanya penuh kekeluargaan. Anggota FPI dengan suka rela berbalik arah memenuhi saran pak Polisi. Adegan itu cukup membuat pak Polisi diapresiasi di medsos dan mendapat penghargaan oleh institusinya. Padahal kalau anggota FPInya jail, bisa saja mereka mengambil jalan lain dan melanjutkan sweeping geng motor. Artinya, kesadaran anggota FPI juga punya andil menambah pundi  keheroan pak Polisi itu. Tapi karena namanya FPI, tetap saja FPI  dibully habis.
 Kembali ke film pendek " Kau Adalah Aku yang Lain ."  Anto Galon sebagai pembuat film mengaku mendapatkan inspirasi saat ia melintasi jalan yang ditutup karena gelaran pengajian. "Pernah suatu ketika saya lewat di suatu jalan di Jakarta dan tertutup massa pengajian. Terus saya berpikir kira-kira jika yang lewat ambulan gimana ya?" kata pria bernama asli Sugianto ini kepada GATRAnews, Senin (26/6)
 Inspirasi itu jomblo. Selanjutnya dia harus dikawinkan dengan memori dalam diri si penerima inspirasi. Dari perkawian itulah akan lahir ide. Memori itu berupa pengalaman batin, kecerdasan,rasa,  sampai pilihan politik. Media sosial yang fitrahnya memang jail, telah membongkar jati diri Anto Galon yang ditenggarai sebagai Ahoker. Maka tidak heran filmnya agak mirip film pendek yang dulu jadi alat kampanye Ahok-Djarot. Pokoknya ada rasa-rasa nyenggol umat Islam,gitu.
 Kerja memori  seperti ini. Jika sineas adalah muslim alumi 212, maka ketika melihat ada pegajian menutup jalan dan juga membayangkan jika ada ambulan akan lewat, maka ide yang muncul adalah toleransi jamaah pegajian yang ikhlas memberi jalan ambulan.  Jika sineas  muslim dermawan, melihatnya beda lagi. Dia akan merasa bangga dengan jamaah  yang haus ilmu agama membeludak sampai ke jalan, lalu dia  punya ide agar filmnya bisa membuat para dermawan berpikir akan membantu perluasan masjid agar masjid bisa menampung jamaah hingga tidak lagi menutup jalan.
 Pilihan politik Galon dengan user kebetulan nyambung, maka jadilah " Kau Adalah Aku yang Lain "  seperti yang kita saksikan. Sebagai sebuah karya sebenarnya agak mengherankan film itu bisa menang festival. Scenario yang ditulis Galon  mirip penyuluhan KB pada masa orde baru. Walhasil , saat dituangkan dalam bahasa gambar sangat vulgar dan  mirip  sandiwara radio. Membuktikannya gampang saja. Pada bagian ambulan,  coba convert film itu ke format MP3. Dengarkan. Kita langsung faham ceritanya. Satu-satunya bahasa gambar dalam film itu adalah  nomor antrian di Puskesmas.
 Galon memang berusaha mencari alasan agar masuk akal ambulan melewati jalan yang dipenuhi jamaah pengajian. Jembatan rusak, ambulan harus ambil jalan lain. Maunya sih di bagian ini ada ketegangan, tapi karena Galon tidak menyiasati akting pas-pasan para pemerannya dengan visual yang tepat, maka hanya berhenti pada alasan ambulan memutar jalan.
 Karena secara umum film ini berisi indroktinasi, walhasil film ini bukan menggugah kesadaran akan makna agung toleransi, malah mempertajam pertentangan dari dua kubu yang secara tradisi memang bersebarangan. Film yang isinya indroktinasi sering kita jumpai pada masa orba.
 Kalau saja Galon mauberkompromi pada dirinya sendiri. Kompromi antara dirinya sebagai sineas dengan dirinya sebagai pribadi yang punya pilihan politik,  tanpa harus merubah ide dasar film itu, tentu hasilnya tidak sekontroversial seperti sekarang ini. Dan sebagai sebuah karya visual juga bisa dipertanggung jawabkan.