Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yang penting masih bisa nulis

yang penting menulis, menulis,menulis. balyanurmd.wordpress.com ceritamargadewa.wordpress.com bbetawi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saman dan Bang Samin

3 Desember 2012   02:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:16 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

I.

Di sebuah daerah terpencil di sebuah provinsi di negara kesatuan Republik Indonesia , Saman tercenung membaca berita di Jakarta telah diberikan Kartu Jakarta Pintar. Kartu sakti yang bisa buat membayar SPP dan beli sepatu, buku dan keperluan sekolah lainnnya. Saman seperti juga beberapa teman lainnya sudah putus sekolah karena ketidak adaan biaya.

Saman terheran-heran. Dia menyangka anak-anak di Jakarta kaya kaya seperti yang sering dia saksikan di sinetron. Dia tidak menyangka, ada anak Jakarta yang tidak bisa membeli sepatu buat sekolah. Walaupun Saman miskin dia punya sepatu sekolah yang masih disimpannya.

Dia bertanya pada ayahnya, kenapa di daerahnya tidak ada kartu sakti itu? Ayahnya bilang, APBD provinsinya tidak mencukupi. Saman tidak paham, tapi dia pura-pura paham saja. Saman bertanya lagi,” Pak..saya mau sekolah lagi, bagaimana kalau kita pindah saja ke Jakarta? Masa cuma anak-anak Jakarta saja yang boleh pintar?”

Pertanyaan itu menggantung di langit biru yang menaungi bumi Indonesia yang sangat subur dan kaya ini.

II.

Bang Samin gembira menerima Kartu Jakarta Pintar. Dia membayangkan anaknya akan terus bersekolah, menjadi orang pintar yang nantinya akan dapat membantu perekonomian keluarganya. Tapi ketika dia mencairkan Kartu Pintar itu, kondisi ekonominya benar-benar sedang terpuruk pada titik nadir. Dia sudah tidak berani lagi lewat depan warung sebelah rumahnya. Hutangnya sudah menumpuk. Terpaksa dia berhutang di warung lain yang agak jauh.

Di ruang tengah rumahnya yang sangat sederhana, dia menaruh uang dua ratus lima puluh ribu rupiah di kelilingi oleh anak dan isterinya, seperti sedang membuat ritual tertentu.

“ Akan kita apakan uang ini?” tanya Bang Samin

“ Buat biaya sekolah saya,Pak.” Anaknya menjawab heran.

“ Tapi besok kita puasa. Sudah tidak ada lagi warung yang memberi hutangan.” Istrinya berkata sambil berusaha membendung air mata yang akan keluar.

“ Kalau uang ini kita gunakan buat yang lain, kartu ini akan dicabut.” Anaknya menirukan ancaman Gubernur Jokowi yang berpidato di sekolahnya.

“ Kamu bisa sekolah dengan perut lapar? “ tanya bang Samin.

Tidak ada yang menjawab. Mereka memandang uang itu dengan perasaan masing-masing.

3 Des. 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun