Syiah adalah kenyataan sejarah
umat Islam yang terus bergulir.Lebih
dari 1000 tahun Syiah mengalami
perjalanan sejarah, tidak serta merta hadir
dipanggung perdebatan dan konflik sosial
seperti saat ini. Sepanjang sejarah itu,
konflik Syiah selalu ada dalam dimensidimensi waktu yang berbeda dengan
segala pernik persoalan. Kapan Syiah itu
muncul, juga mengalami pertentangan.
Ada yang menilai bahwa Syiah
sebenarnya adalah kelompok sempalan
Islam buatan orang Yahudi, Abdullah bin
Saba'. Abdullah bin Saba' sang Yahudi
dituduh sengaja membentuk kelompok
baru dalam Islam untuk memecah belah
dan menghancurkan umat Islam
Kelompok yang sependapat Syiah
adalah rekayasa dari Abdullah bin Saba'
yaitu dari kelompok Sunni. Sirajuddin
Abas dalam bukunya I'itiqad Ahulssunnah
Wal-Jamaah mkung ali peristiwa Ghodir
Khumm setelah menjalankan haji terakhir,
nabi memerintahkan pada Ali sebagai
penggantinya dihadapan umat muslim,
dan menjadikan Ali sebagai pelindung
mereka(Tabbathaba'i, 1989).
Akan tetapi yang terjadi tidak
seperti yang diinginkan oleh kelompok
Syiah. Menurut kalangan Syiah, ketika
nabi wafat pada saat jasadnya terbaring
belum dikuburkan, ada kelompok di
luar ahlul bait berkumpul untuk memilih
kholifah bagi kaum muslimin, dengan
alasan menjaga kesejahteraan umat dan
memecahkan problem sosial saat itu.
Mereka melakukan itu tanpa berunding
dengan ahlul-bait yang sedang sibuk
dengan acara pemakaman. Sehingga Ali
dan sahabat-sahabatnya dihadapkan
kepada suatu keadaan yang sudah tidak
mungkin diubah lagi, ketika Abu Bakar
didaulat menjadi khalifah pertama.
(Thabathab'i, 1989: 39)
Ali bin Abi Thalib pada waktu
itu cukup bersabar untuk menunggu
saat yang tepat sampai pada pergantian
kholifah yang ketiga, Usman. Pada
kepemimpinan tiga kholifah tersebut,
kelompok Ali (ahlul bait). (Thabathab'i,
1989: 44)
Kepemimpinan Usman yang
dinilai lemah, membuat banyak
kesulitan yang harus dihadapi Ali ketika
memimpin pemerintahan Islam. Semasa
pemerintahan Ali, pemberontakan demi
pemberontakan terus terjadi akibat dari
intrik yang dilancarkan oleh kelompok
Mua'wiyah. Sampai pada akhirnya Ali
harus mati terbutuh di tangan kelompok
Khawarij. Keinginan yang kuat dari
kelompok Muawiyah untuk menguasai
pemerintahan Islam tidak pernah surut.
Muawiyah terus menjalankan aksiaksinya untuk menyingkirkan kekuasaan
dari Ahlul Bait. Sampai pada akhirnya,
Imam Hasan putra Ali menyerahkan
kekuasaanya pada Muawiyah karena
Hasan tidak menginginkan adanya
pertumpahanasan dan Husain mati
dibunuh dengan kejam, dibantai dengan
seluruh pembantu dan anak-anaknya.
Penderitaan kelompok ahlul ba'it semasa
pemerintahan Muawiyah inilah yang
menguatkan perjuangan kelompok Syiah
menjadi sebuah paham/aliran untuk
terus bertahan menentang penguasa yang
berbuat tidak adil dan aniaya. (Shihab,
2007: 63-69; Thabathabai, 1989: 45-61)
Sejarah pemikiran syiahÂ
Menurut Jalaluddin RahmatÂ
(tokoh Syiah Indonesia), perkembanganÂ
Syiah di Indonesia terdapat empat faseÂ
(periodisasi). Fase pertama, Syiah sudahÂ
masuk keindonesia sejak masa awalÂ
masuknya Islam di Indonesia melalui paraÂ
penyebar Islam awal, yaitu melaui orangorang persia yang tinggal di Gujarat.Â
Syiah pertama kali datang ke Aceh. RajaÂ
pertama Kerajaan Samudra Pasai yangÂ
terletak di Aceh. Marah Silu, memelukÂ
Islam versi Syiah dengan memakai gelarÂ
Malikul Saleh.Tapi kemudian padaÂ
zaman Sultan Iskandar Tsani, kekuasaan
dipegang oleh ulama Sunnah (Sunni).Â
Saat itu orang Syiah bersembunyi, takÂ
menampakkan diri sampai munculÂ
gelombang kedua masuknya Syiah keÂ
Indonesia, yaitu setelah revolusi Islam diÂ
Iran (Viva News, 2012).
Ulama ternama Asal Aceh, AbdÂ
al-Ra'uf Al-Sinkili, adalah pengikutÂ
dan penggubah sastra Syi'ah. PendapatÂ
ini juga dikuatkan dengan temuanÂ
beberapa kuburan yang mencerminkanÂ
kuburan Syiah, terutama di wilayahÂ
Gresik Jawa Timur.Pada Tahap awal iniÂ
Syiah tidak mengalami benturan denganÂ
kelompok lain, karena pola dakwahÂ
yang dilakukan secara sembunyi.Â
Selama periode pertama, hubunganÂ
antara Sunni-Syiah di Indonesia, padaÂ
umumnya, sangat baik dan bersahabatÂ
tidak seperti yang terjadi di negeri-negeriÂ
lain seperti, misalnya, Pakistan, Irak, atauÂ
Arab Saudi. (http://www.abna.ir/print.
asp?lang=1&id=198093)
Karena persebaran Syiah diÂ
Indonesia yang sudah berlangsungÂ
lama, ada beberapa ritual dalam tradisiÂ
Syiah yang mempengaruhi pola ritualÂ
keagamaan di kalangan komunitas IslamÂ
Indonesia. Salah satunya ialah praktikÂ
perayaan 10 Muharram yang biasaÂ
dirayakan oleh pengikut Syiah untukÂ
memperingati terbunuhnya Husein ibnÂ
Ali, cucu Nabi Muhammad. HuseinÂ
terbunuh dalam Perang Kabala pada 10Â
Muharram 61 H.
Jika ditelusuri Tabot atau tabuikÂ
berasal dari kata tabut dalam bahasa Arab
kotak. Kata tabut ini dalam perayaanÂ
diwujudkan dengan peti sebagai simbolÂ
peti jenazahnya imam-imam kaum SyiahÂ
yang telah dibunuh secara kejam semasaÂ
pemerintahan Bani Umayyah. (Dahri,Â
2009; Tempo, Senin, 03 September 2012)
Ritual di kalangan sunni sepertiÂ
tradisi ziarah kubur dan membuat kubahÂ
pada kuburan adalah tradisi Syi'ah.Â
Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk
mazhab Syafi'i padahal sangat berbedaÂ
dengan mazhab Syafi'i yang dijalankanÂ
di negara-negara lain. BerkembangnyaÂ
ajaran pantheisme (kesatuan wujud,Â
union mistik, Manunggal ing KawulaÂ
Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakanÂ
pandangan teologi dan mistisismeÂ
(tasawuf falsafi) yang sinkron denganÂ
aqidah Syiah(Nursaymsuriati, 2011).
Infiltrasi Syiahdalam penyebaran Islam diÂ
Indonesia nampak jelas pada masyarakatÂ
NU sebagai representasi kelompokÂ
Alhusunnah, pengaruh tadisi Syi'ahÂ
pun cukup kuat di dalammya. Dr SaidÂ
Agil Siraj sebagai Wakil Katib SyuriahÂ
PBNU secara terang mengatakan bahwaÂ
kebiasaan Barjanji dan Diba'i adalahÂ
berasal dari tradisi Syiah.Dan bahkan KHÂ
Abdurrahman Wahid pernah mengatakanÂ
bahwa Nahdatul Ulama secara kulturalÂ
adalah Syi'ah. (Abna ir, 2012)
Fase kedua, setelah revolusi Islam diÂ
Iran tahun 1997. Gerakan revolusi mampuÂ
mengubah Iran dari monarki di bawahÂ
Shah Mohammad Reza Pahlevi, menjadiÂ
Republik Islam di bawah pimpinanÂ
Ayatullah Agung Ruhullah Khomeini.Â
Ketika itu orang Syiah mendadak punyaÂ
negara, yaitu Iran. Sejak kemenanganSyiahÂ
pada Revolusi Iran, muncul simpati yangÂ
besar di kalangan aktivis muda IslamÂ
di berbagai kota terhadap Syiah. FigurÂ
Ayatullah Khomeini menjadi idola diÂ
kalangan aktivis pemuda Islam. Bukubuku tulisan Ali Shariati, seperti "tugasÂ
cendekiawan Muslim" menjadi salah satuÂ
"inspirator" Revolusi Iran, dibaca denganÂ
penuh minat. Bahkan tokoh cendekiawanÂ
Muhammadiyah, Amin Rais, denganÂ
sengaja menterjemahkan dari versiÂ
bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.
 Naiknya popularitas Syiah ituÂ
membuat khawatir dan was-was negeriÂ
yang selama ini menjadi "musuh"Â
bebuyutan Iran, yakni Arab Saudi.Â
Melalui lembaga-lembaga bentukanÂ
pemerintah, Saudi Arabia melakukanÂ
upaya untuk menangkal perkembangan
Syiah, termasuk penyebarannya diÂ
Indonesia. Sejumlah buku yang antiSyiah diterbitkan, baik karangan sarjanaÂ
klasik seperti Ibn Taymiyah (1263-1328),Â
atau pengarang modern, seperti IhsanÂ
Ilahi Zahir, seorang propagandis antiSyiah yang berasal dari Pakistan.Â
Dominasi kuat kelompok di luarÂ
Syiah di Indonesia, berdampak padaÂ
reaksi yang ditunjukkan masyarakatÂ
Indonesia. Masuknya faham Syiah diÂ
Indonesia dicounter dengan penyebaranÂ
buku-buku yang berisi informasiÂ
tentang Syiah yang bernada negatif atauÂ
menunjukan sikap penolakan terhadapÂ
Syiah. Beberapa literatur beredar diÂ
masyarakat pasca kemenangan Syiah diÂ
Iran diterbitkan di Indonesia.Â
Meski telah begitu banyak bukubuku diterbitkan, kekhawatiran masuknyaÂ
Syiah tidak juga surut. Pada Rapat KerjaÂ
Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI)Â
tahun 1984, melalui surat ketetapanÂ
tanggal 7 Maret 1984 yang ditandatanganiÂ
oleh Prof. K.H. Ibrahim Hosen,Â
merekomendasikan tentang faham Syi'ahÂ
sebagai berikut: Faham Syi'ah sebagaiÂ
salah satu faham yang terdapat dalamÂ
dunia Islam mempunyai perbedaanperbedaan pokok dengan mazhab SunniÂ
(Ahlus Sunnah Wal Jama'ah) yang dianutÂ
oleh Umat Islam Indonesia. PerbedaanÂ
yang disebutkan dalam ketetapan MUIÂ
tersebut di antaranya: a) Syi'ahmenolakÂ
hadits yang tidak diriwayatkan olehÂ
Ahlul Bait; b) Syi'ah memandang "Imam"Â
itu ma 'sum (orang suci); c) Syi'ah tidakÂ
mengakui Ijma' tanpa adanya "Imam"; d)Â
Syi'ah memandang bahwa menegakkanÂ
kepemimpinan/pemerintahan (imamah)Â
adalah termasuk rukun agama; e)Â
Syi'ah pada umumnya tidak mengakuiÂ
kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq,Â
Umar Ibnul Khatthab, dan Usman binÂ
Affan;
Mengingat perbedaan-perbedaanÂ
pokok antara Syi'ah dan Ahlus SunnahÂ
wal Jama'ah seperti tersebut di atas,
terutama mengenai perbedaan tentangÂ
"Imamah" (pemerintahan)", MajelisÂ
UlamaIndonesia mengimbau kepadaÂ
umat Islam Indonesia yang berfahamÂ
Ahlus Sunnah wal Jama'ah agarÂ
meningkatkan kewaspadaan terhadapÂ
kemungkinan masuknya faham yangÂ
didasarkan atas ajaran Syi'ah. Kata-kataÂ
yang tertuang dalam keputusan MUIÂ
tersebut, dengan jelas sebagai bentukÂ
propaganda anti Syiah.
Setelah gelombang kedua, SyiahÂ
masuk keindonesia pasca RevolusiÂ
Iran, ketertarikan paham pemikiranÂ
Syiah secara falsafi berkembang menujuÂ
pemahaman Fiqhiyah.Â
Fase ketiga, masyarakat IndonesiaÂ
mempelajari fiqih Syiah. Para peminatÂ
Syiah mulai belajar fiqih dari habibhabib yang pernah belajar di Khum,Â
Iran. Gelombang reformasi yang terjadiÂ
pada tahun 1998 sebagai era keterbukaanÂ
dan kebebasan ikut mendorong dayaÂ
ketertarikan masyarakat pada ajaranÂ
Syiah. Karena pemahaman Syiah sudahÂ
masuk ke ranah fiqih, muncullahÂ
perbedaan paham yang mengarah padaÂ
benih-benih konflik secara terbuka.
Fase keempat, orang Syiah mulaiÂ
membentuk ikatan, seperti pembentukanÂ
Ikatan Jemaah Ahlul Bait IndonesiaÂ
(IJABI), berdiri 1 Juli 2000.
Dengan semakin meningkatnyaÂ
penganut Syiah, maka tingkat keteganganÂ
kelompok sunni dengan Syiah semakinÂ
meningkat. Perseteruan pertama terjadiÂ
pada pesantren milik Ustad Ahmad, diÂ
Desa Brayo, Kecamatan Wonotunggal,Â
Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 8Â
April 2000. Ketika itu, massa menyerbuÂ
pesantren seusai salat Jumat, sekitarÂ
pukul 14.00 hingga 16.30. Akibatnya,Â
tiga rumah di Pondok Pesantren Al-HadiÂ
dirusak dan satu dibakar massa.
Konflik kedua muncul diÂ
Bondowoso pada 2006. Sasaran serangan
adalah pesantren milik Kiai MusowirÂ
yang sedang menggelar yasinan padaÂ
malam Jumat. Penyerbuan kemudianÂ
terjadi lagi pada rumah pengurus MasjidÂ
Jar Hum di Bangil, Jawa Timur, NovemberÂ
2007. Massa merusak rumah itu lantaranÂ
menolak kehadiran pengikut Syiah.
Usaha menyerang penganut SyiahÂ
terjadi juga di Jember, Jawa Timur. PadaÂ
bulan Ramadan, Agustus 2012, munculÂ
sejumlah spanduk yang menyebutkanÂ
ajaran habib Syiah adalah sesat. NamunÂ
kain propaganda itu berhasil diturunkanÂ
warga dan petugas Pamong Praja sebelumÂ
memicu konflik. Dan pada tahun yangÂ
sama, kasus Syiah di Sampang mencuat,Â
yang berbuntut dihukumnya TajulÂ
dengan tuduhan penodaan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H