Pada tahun 2020 lalu, kita cukup dikejutkan oleh banyak hal mulai dari mewabahnya pandemi virus corona (covid-19) hingga munculnya beberapa rancangan kebijakan publik yang cukup fenomenal salah satunya yaitu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau disingkat RUU P-KS. Saya katakan cukup fenomenal sebab Rancangan Undang-Undang ini sejak awal kemunculannya di publik telah menuai banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan. Argumentasi yang cukup kencang terkait RUU ini adalah RUU ini dianggap tidak sesuai dengan norma-norma agama bahkan cenderung liberalis. Rancangan Undang-Undang tersebut akhirnya diputuskan untuk ditarik dari daftar prolegnas prioritas tahun 2020 oleh DPR RI, walaupun menurut berita terakhir, RUU P-KS telah masuk kedalam daftar prolegnas tahun 2021 ini.
Sangat disayangkan memang. Padahal RUU P-KS ini sudah sangat urgent untuk segera disahkan. Hal ini dikarenakan Indonesia saat ini telah masuk dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Menurut CATAHU Komnas Perempuan setiap tahunnya kasus kekerasan seksual pada perempuan (sebagai mayoritas korban) masih diatas 4.500 sekian kasus "yang dilaporkan" dan mirisnya lagi anak-anak baik perempuan maupaun laki-laki juga menjadi mayoritas korban dari tindak kekerasan seksual. Bahkan berdasarkan hasil penelitian dari Value Champion salah satu perusahaan riset di Singapura, Indonesia berada pada peringkat kedua sebagai negara yang tidak aman bagi perempuan dikawasan Asia Pasifik dan salah satu faktor yang menjadikan Indonesia menempati posisi kedua tersebut adalah lemahnya undang-undang tentang keselamatan perempuan.
Bagi saya, jika dilihat dari sudut pandang politik sebenarnya kasus kekerasan seksual yang terus terjadi selama ini menunjukkan bahwa Negara belum secara optimal menjalankan kewajibannya bahkan melakukan pembiaran pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan sebagai bagian dari warga negaranya. Negara belum sepenuhnya hadir untuk mengatasi problem ini. Dengan disahkannya RUU P-KS ini menurut saya Negara dapat menunjukkan komitmennya dan menjalankan kewajibannya untuk menjamin pemenuhan hak-hak asasi manusia terhadap perempuan yaitu hak atas rasa aman, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak mendapatakan perlakukan yang sama didepan hukum dan hak untuk memperoleh keadilan. Dan untuk mewujudkan hal tersebut sangat mustahil tanpa adanya sebuah payung hukum atau regulasi yang benar-benar komprehensif mengatur tentang kekerasan seksual terlebih lagi yang mampu mengakomodasi kebutuhan dari korban kekerasan seksual.
UU PKDRT dan KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana) yang juga telah lebih dulu mengatur terkait kekerasan terhadap perempuan juga belum mampu secara keseluruhan mengakomodasi variasi jenis kekerasan seksual saat ini dan kebutuhan korban. Oleh karena itu RUU P-KS yang didalamnya mengedepankan aspek pencegahan yang dilakukan bersama (stakeholder), perlindungan, dan pemulihan/rehab bagi korban menurut saya sangat urgent untuk segera disahkan dalam rangka menciptakan kehidupan yang aman dan adil bagi setiap orang terutama korban kekerasan seksual baik perempuan maupun laki-laki baik orang dewasa maupun anak-anak.
(Penulis : Mahasiswa Prodi Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya)
Referensi :
Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
Naskah akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
Tiyas, Intan Kusumaning. 2020. Kertas Kebijakan INFID "RUU Penghapusan Kekerasan Seksual : Jalan Keadilan Bagi Korban". INFID
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H