Kehadiran COVID-19 menuntut segala lembaga pendidikan untuk menerapkan sistem online dalam kegiatan belajar-mengajarnya. Tuntutan yang lahir dalam semalam ini mengharuskan tiap komponen dalam pembelajaran wajib melek dengan kecanggihan internet. Banyak pihak sekolah dan universitas berlomba-lomba mengelola media digital agar anak didiknya bisa mengikuti proses daring ini dengan baik dan nyaman.
 Pembelajaran daring yang tidak hanya memvirtualkan bahan mengajar, namun juga cara mengajar,mengumpulkan tugas,mengisi absen hingga melakukan kuit atau ujian. Kemampuan tiap individu untuk memahami kinerja internet yang berbeda satu dengan lainnya,mempengaruhi keefektifan proses pembelajaran dari ini. Disusul polemik utamanya, yakni internet. Apakah semua daerah di indonesia kita ini sidah memiliki fasilitas internet yang lengkap? Bahkan air dan listrik saja masih belum merata dengan sempurna.
Berdasarkan data badan Pusat Statistik tahun 2019, tingkat penetrasi internet di pedesaan rata-rata 51,91 persen, di perkotaan pun rata-rata 78,08 persen (Kompas,2020). Melalui data tersebut pertanyaan diatas sedikit-banyaknya dapat terjawab. Tinkat kecepatan internet di indonesia yang belum cukup mampu menjadi satu dari sekian kekurangan menerapkan pembelajaran daring ini.
Pembelajaran daring (dalam jaringan) yang ditegaskan lagi dalam bentuk e-learning, memaksa peserta didik untuk menjadi pembelajar yang mandiri dan tekun dalam semalam (Indraswara,2020). Para pelajar yang semulanya duduk di bangku dan mendapatkan materi secara tatap muka dengan mengajarnya tentu mengalami kesulitan dalam beradaptas denga pembelajaran daring. Mereka harus belajar secara mandiri dengan berkutat pada layar ponsel atau laptopnya, mengerjakan tugas yang segudang banyaknya, ditambah gangguan sinyal dikala waktu-waktu genting seperti ujian yang menyebabkan seseorang bisa terlambat dalam menggunakan lembar jawaban.
Tetap berada di rumah bagi sebagian pelajar ialah liburan, khususnya bagi anak SD hingga SMA. Semangat belajarnya berkurang, kemampuannya menyerap bahan agar menajdi lebih sedikit bahkan daya saing antar pelajar jadi sekedar mimpi belakang. Belajar dengan menggunakan perangkat lunak seperti ponsel dan laptop juga memiliki banyak sekali penghambat. Diperlukan penyimpanan yang besar sanggup menampung bahan air yang dikirim ataupun persediaan kuota yang banyak. Bahkan masih banyak pelajar yang tak punya akses fasilitas untuk pembelajaran daring.
Kalimat sebelumnya justru melahirkan polemik baru. Tidak semua pelajar berasal dari keluarga menengah ke atas (Sinombor,2020). Tidak semua dari pelajar menikmati arus dugutalisasi yang tercipta searang ini. Tidak semua dari pelajar memiliki gawai atau laptop. Tidak semua pelajar mendapatkan akses internet yang baik. Bahkan, dilansir dari kominfo, sebanyak 12.548 desa di indonesia masih belum dialiri jaringan internet (Rosana & Hidayat, 2020).
Pembelajaran daring bagi sebagian pelajar dirasa cocok karena dirasa lebih irit ongkos. Mereka tetap bisa berda aman dan nyaman dirumah ditambah kondisi rumah yang mendukung proses belajar tertentu membuat sebagian besar lainnya yang bertempat tinggal di lingkungan yang padat, memiliki tingkat fokus untuk mencerna bahan agar dirasa sangat sulit akibat kondisi eksternal yang tidak mendukug. Sehingga, mereka memerlukan ketekunan yang luar biasa untuk memahami materi yang dipelajari.
Selain itu, tiap mengajar ditantang untuk mengasah kreativitas dan kapanilitasnya dalam mengajar. Hal ini dimaksudkan agar bisa membangkitkan niat belajar dari peserta didik.Â
Bermacam metode dilakukan seperti memanfaatkan video-conference,google classroom,atau media lainnya  . Pemanfaatan media seperti foto dan video pun dilakukan sedemikian rupa agar menampilkan bahan ajar yang menarik dan mudahn dipahami. Namun, tidak semua menajar memiliki tanggungjawab yang sama. Banyak dari peserta didik yang juga mengeluhkan pengajar yang hanya memberikan modul pembelajaran tanpa diberikan penjelasan. Justru diberikan tugas.
Lalu, seberapa efektif model pembelajaran online ini berpengaruh bagi proses belajar para peserta didik atau mahasiswa? Dari fenomena yang terlihat, intensitas ketertarikan peserta didik dalam mengiku kuliah onlien sangat kecil. Bahkan, kebanyakan menciptakan kejenuhan dalam proses belajar. Beberapa pelajar merasakan kehilangan momen perjumpaan langsung dengan guru-gurufavorit. sama halnya tidak bertemu dengan teman-teman. Seperti tak ada yang dipelajari selama semester ini. Ini reaksi-reaksi spontan yang disampaikan pelajar terkait sistem belajar virtual online.
Tingkat ketertarikan plajar terhadap pembelajarandaring yang  terhitung sedikit mebuat pelaja sulit produktif sehingga memilih meninggalkan kelas. Padahal, kehadiran merupakan salah satu penilaian dari syarat kelulusan seorang pelajar.Â
Menurut mahasiswa, mereka lebih memilih pulang kampung atau berlibur. Kuliah terasa memberatkan karena memerlukan data dan harus mencari tempat yang dijangkau internet agar bisa terkoneksi. Beban perekonomian pun bertambah karena selain tetap membayar uang kuliah, mahasiswa pun diberatkan lagi dengan membeli paket internet agar bisa masuk ke dalam kelas video-conference dan mengunduh ataupun mengumpulkan tugas perkuliahan.
Hemat penulis, sistem pembelajaran daring di tengah pandemi adalah sebuah solusi dan sekaligus polemik. Mengapa demikian? Dapat dikatakan solusi jika pihak universitas atau sekolah telah memberika input dan praktik skill dalam penetrasi berbagi fasilitas "elearning". Pemantapan dalam soal fasilitas dan kempuan para pengajar menjadi salah satu standar penting dalam perkuliahan daring.Â
Sementara di lain sisi, dapat dikatakan sebagai polemik baru jika proses perkuliahan yang terjadi dalam kebingungan, entah karena sarana maupun skill minimalis dari para dosen. Hal ini diafirmasi oleh banyaknya keluhan dari mahasiswa.Â
Perkuliahan online hanyalah judul belakang. Banyak dosen kebingungan, dalan waktu singkat harus mempelajari macam-macam sarana pembelajaran daring (Indrawara,2020). Karena tuntutan segera melajutkan proses pembelajaran, metode alat dan galat (trial and error) terpaksa di terapkan.
Tanggungjawab utama dari para pendidik ialah bahwa merekatidak hanya sadar akan prinsip-prinsip umum pembentukan pengalaman saat in dengan bentuk konkret hal-hal di sekitarnya yang sanagt kondusif bagi perolehan peserta didik.Â
Namun situasi sekarang sangat memeberi beban pada mahasiswa dan membuat pengalaman perkuliahan menjadi sesuatu yang membosankan, bahkan bisa sampai pada titik kejenuhan dan berdampak pada tidak berkulitasnya pendidikan yang diperoleh. Mahasiswa terengah-engah mengikuti proses pembelajaran. Dalam sekejap tugas menumpuk.
Ketidak siapan lembaga pendidikan dalam menerapka sistem pembelajaran daring menghasilkan iuran yang jauh dari kata berhasil. Tuntutan yang harus diemban dalam semalam ini membuat banyak komponen sepertu peserta didik, pengajar maupun fasilitas tidak bisa berjalan secara maksimal. Ditamah sulitnya pihak sekolah ataupun universitas dalam memaksimalkan fungsi teknologi dalam dunia pendidikan.Â
Rasanya pendidikan gaya lama dengan sistem tatap muka jauh lebih efektif dari pada pembelajaran secara daring dititik dari keefektifan dalam proses belajar-mengajar.
Pembelajaran daring ditengah pandemi COVID-19 sering dikatakan sebagai kurikulum darurat. Kurikulim ini bisa dikatakan sebaga babak baru dalam sistem pendidikan di indonesia. Ketersediaan software (piranti lunak), website, akses internet, listrik, gadget, dan komputer menjadi ciri khas implentasi model ini (Sendler &(Ed),2018). karakteristik proses pendidikan abad ke-21 selalu menemui tantangan dan juga sekaligusmendatangkan peluang baru. Gejala ini hadir sebegai konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Reformasi pendidikan yang berasal dari pengenbangan model kurikulum virtual akan berdampak pada terciptanya sistem pendidikan gaya baru. Lyn Haas menegaskan bahwa pendidikan itu harus bersifat demokratis. yakni; pendidikan untuk semua (Rosyada,2004). Hal ini senada dengan pasal 31 ayat (1) UUD 1945, "Semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan", maka semua mahasiswa dan pengajar seharusnya memperoleh perlakuan yang sama, memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, kemampuan komunikasi global.
Dengan muculnya pandemi COVID-19 ini, semoga tidak hanya membawa kepanikan di lingkup publik, tetapi juga memicubangsa kita, khususnya pemerintah dan kementerian terkait agar lebih memfokuskan anggaran pendidikan tahun ini untuk menciptakan kurikulum virtual yang lebih relavan dangan keadaan tiap daerah; proses belajar mengajar via teknologi daring, diikuti langkah memaksimalka sarana prasarana yang mendukung, menyediakan sekaligus mempercepat jejaring internet, manajerial demokratis yang berdaya asing, sampai pada keterlibatan masyarakat agar turut berkontribusi dalam perbaikan pendidikan secara virtual ke depannya.Â
Pemerataan kulitas dankuantitas di indonesia menjadi kewajiban yang mesti diprioritaskan, sesuai amanat sila ke-5 Pancasila yakni keadaan sosial bagi seuruh rakyat indonesia.Â
Daftar Pustaka
Indraswara, A. (2020). Pendidikan Solidaritas Kemanusiaan. Kompas.
Kompsd.(2020). Kompas Edisi Kamis.
Rosana, F. C., & Hidayat, A. A. N. (2020). Kominfo sebut 12.548 Desa Belum Tersentuh Sinyal Internet. Bisnis Tempo.
Rosyana,D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis. Kencana.
Sendler, & (Ed.), U. (2018). The Internet of Things: Industrie 4.0 Unleashed.
Sinombor,S.H. (2020). Anak-anak dari keluarga Ekonomi Bawah Terkendala Belajar Daring. Kompas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H