Mohon tunggu...
Perdana Harahap
Perdana Harahap Mohon Tunggu... -

Hanya ingin tahu lebih banyak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Ikhlas, Mungkinkah ?

18 September 2011   10:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politikadalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalammasyarakatyang antara lain berwujud prosespembuatan keputusan, khususnya dalamnegara”, setidaknya itulah pengertian politik yang diberikan Wikipedia ketika kita ingin mencari apa pengertian politik di situs mereka. Tapi setiap individu berhak mendefenisikan sesuatu sesuai dengan pengalaman hidup mereka terhadap sesuatu tersebut. Dulu saya mendeskripsikan politik sebagai alat untuk menggapai kekuasaan.

Saya mendeskripsikan politik seperti itu karena ayah saya yang notabene pernah menjabat menjadi seorang direktur di salah satu BUMD sering berpesan “untuk menjadi orang sukses itu tidak cukup hanya pintar, tapi juga harus pandai mengambil hati orang”. Saya yang semakin beranjak dewasa semakin mengerti bahwa deskripsi “pandai mengambil hati orang” tidaklah jauh dari “pandai mencari muka” karena seorang idealis yang berintegritas sering mendapat tentangan dari mereka yang punya kepentingan dan ini bertentangan dengan prinsip ayah saya “pandai mengambil hati orang”, dan politik adalah alat untuk itu. Lobi-lobi politik, money politic, politik balas budi adalah alat yang tepat untuk “mengambil hati orang”.

Mungkin pembenci politik di kalangan generasi muda bukan hanya saya.Di jejaring sosial seperti Facebook amatilah kolom “political view” pada info seseorang terutama generasi muda, maka dapat diperkirakan 80% dari mereka akan menulis hal-hal yang menandakan kalau mereka apatis terhadap benda bernama politik itu. Salah seorang teman saya misalnya mengisi kolom political viewnya dengan tanggapan “lumpur kotor” atau adik sepupu saya yang masih abg mendeskripsikannya dengan “au ah gelap, korupsi mulu!”. Sikap apatis (mungkin jijik) generasi muda pada politik ini tidak lepas dari pengaruh citra bapak dan ibu politikus yang sering kita lihatdi televisi dimana lebih banyak pemberitaan buruk dan kontroversialnya dibandingkan dengan prestasinya. Korupsi, kolusi, nepotisme, lobi-lobi politik, suap, cuci uang, mark up, dan sederet skandal lainnya yang akan menambah digit pada rekening pribadi mereka itu menjadi makanan sehari-hari yang kita saksikan di layar kaca.

***

Politik ikhlas, mungkin sebagian orang dengan sentimentilnya terhadap politik akan berkata “ kemunafikan politik macam apa lagi itu?”. Terus terang tidak ada defenisi baku tentang politik ikhlas ini karena istilah itu hanya karangan saya (tidak menutup kemungkinan ada yang sudah mendahului saya menggunakan istilah ini). Menurut saya politik ikhlas adalah politik yang dijalankan tanpa mengharap imbalan. Awalnya saya melihat politik ikhlas ini dari teman-teman saya yang menjalankan pemerintahan kampus di BEM. Mereka bekerja keras dan tidak jarang dihujat oleh rekan-rekan mahasiswa lainnya tapi mereka tetap ikhlas menjalankan tugas. Tapi setelah dirasa-rasa mereka bukanlah benchmark yang tepat karena mereka bukannya tidak mau imbalan tetapi memang tidak ada yang menawarkan imbalan. Kemudian ingatan saya berputar ke tahun 2004 saat saya masih duduk di bangku SMP, saya teringat seorang tokoh yang saya tonton film biografinya ketika itu, dia adalah Soe Hok Gie.

Gie mungkin seseorang yang tepat untuk dijadikan benchmark politik ikhlas ini. Seorang intelektual muda yang cerdas dan kritis. Dia turut berperan dalam menjatuhkan kekuasaan orde lama yang dirasakannya semakin salah arah. Dengan tulisan-tulisannya dan tindakannya sebagai penggerak mahasiswa untuk turun ke jalan dia membantu menjatuhkan kekuasaan orde lama. Dengan peran besarnya dia seharusnya mampu dan mendapat banyak tawaran untuk menduduki jabatan di jajaran kekuasaan orde baru seperti banyak rekan aktivisnya yang menduduki kursi dewan, tetapi beliau tidak mau dan memilih menjadi seorang intelektual bebas yang mengontrol kinerja pemerintahan. Bahkan dia tidak segan mengkritik pemerintahan orde baru yang dibantunya naik tahta karena pembantaian atas PKI yang semena-mena dan tidak melalui jalur hukum. Gie melakukan semua itu tanpa mengharapkan imbalan dan murni karena rasa kemanusiaan. Single fighter seperti ini mungkin hanya dapat kita saksikan di film-film koboi dimana sang jagoan yang cool dan penyendiri mendatangi sebuah kota yang dijajah penjahat dan menolong warga mengusir para penjahat itu, tapi setelah berhasil alih-alih mengharap imbalan, sang jagoan ngeloyor pergi begitu saja dari kota tersebut.

Politik ikhlas adalah salah satu hal yang hampir mustahil dilakukan manusia, mungkin sama hampir mustahilnya denganmakan malam bersama idola saya Scarlett Johansson. Satu-satunya cara menumbuhkan kesadaran dalam berpolitik ikhlas mungkin adalah dengan mendapatkan pengalaman spiritual mendalam. Pengalaman spiritual tidaklah harus dari agama tertentu apalagi dari seorang dukun yang membuka mata batin anda dan membuat anda bertingkah selayaknya harimau seperti yang saya tonton di televisi tadi malam secara tidak sengaja. Pengalaman spiritual yang saya maksud adalah pengalaman dimana anda melihat suatu keadaan yang anda rasa sangat mengenaskan, menyayat hati,ataupun menggugah hati anda. Gie pernah melihat seseorang yang bukan pengemis makan kulit mangga ketika dia hendak pergi sekolah, kemudian dia memberikan uangnya yang akan digunakanuntuk membayar angkutan kota kepada orang tadi. Perjumpaan Gie dengan orang yamg makan kulit mangga tadi adalah pengalaman spiritual Gie yang mengubahnya menjadi seorang moralis absolut dan membuat dirinya bertekad untuk mengubah kehidupan bangsa ini dengan terlibat dalam politik, inilah yang mendorong Gie menjalankan politik ikhlas tadi.

Pesan saya adalah berpolitik tidak selalu kotor dan identik dengan pemuasan kepentingan pribadi. Gie, Hoegeng, Gandhi dan tokoh humanis lainnya telah membuktikannya. Dengan berpolitik kita berkesempatan memperbaiki negara ini.

Saya tidak muluk-muluk untuk berharap para politikus itu menerapkan politik ikhlas yang saya khayalkan, tetapi saya hanya bisa berharap diri saya sendiri yang kebetulan sedang menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi kedinasan dan akan menjadi salah satu dari birokrat di negara ini dapat melakukannya. Mudah? Jawabnya adalah tidak. Mungkin beberapa orang mampu menahan godaan uang yang siap “menggemukkan” rekening pribadi mereka, tapi apa kita siap diasingkan karena idealisme kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun