Mohon tunggu...
Lily Sugianto
Lily Sugianto Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Jasmerah” sebagai Tanda

10 Juni 2014   05:42 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:27 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jasmerah" - Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah adalah kalimat terkenal yang diucapkan oleh Bung Karno dalam pidato terakhirnya saat memperingati ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966.


Seandainya “Jasmerah” adalah pesan terakhir Bung Karno, pesan seperti apa yang ingin beliau sampaikan kepada anak bangsanya? (1) Apakah cukup dengan memahami “Jasmerah” sebatas teks perjalanan sejarah yang tidak boleh dilupakan an sich atau, (2) sebagai teks politik “Jasmerah” justru memuat pemaknaan tentang bagaimana cara mengada suatu kekuatan represif.

Pada argumen kedua, penulis menyimpulkan bahwa melalui akronim “Jasmerah” Bung Karno sengaja mengajak kita untuk mempelajari lebih dulu konteks historis dari teks tersebut sebelum melakukan penafsiran. Kegiatan mempelajari mensyaratkan adanya proses interaksi (baik social maupun politik) dalam mengidentifikasi pesan. Pada proses identifikasi inilah “Jasmerah” membuka peluang bagi pintu dekonstruksi melalui konsep differance.

Jika differance adalah permainan yang menekankan bagaimana proses oposisi (difference) diproduksi secara sistematis, maka geneologi adalah upaya menelusuri jejak kontinyuitas dan diskontinyuitas historis yang berpusat pada korelasi kekuasaan. Dengan dua pendekatan ini, pembacaan-mendalam terhadap “Jasmerah” memperlihatkan bagaimana penaklukan terhadap anak Bangsa justru terjadi di dua wilayah, kognisi dan teritori. Dengan menggunakan akronim, eufemisme pada kata komunis dan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), Orde Baru berhasil menanamkan pengetahuan bahwa komunisme adalah ancaman bagi stabilitas negara. Dengan memanfaatkan posisi militer untuk menakut-nakuti rakyat sekaligus sebagai character assassination, Orde Baru berhasil menciptakan batas teritori antara ‘siapa kita’ dan ‘siapa mereka’, bahwa penguasa adalah ‘baik’ dan orang yang dicap komunis adalah ‘musuh negara’.

Metode di atas berbanding lurus dengankondisi yang terjadi sekarang, dimana istilah pluralisme ditanamkan sebagai musuh bersama (penaklukan di wilayah pengetahuan) dan dengan memanfaatkan kelompok garis keras berbasis agama yang berfungsi sebagai character assassination sekaligus menakut-nakuti rakyat, kelompok ini berhasil menciptakan batas teritori antara ‘siapa kita’ dan ‘siapa mereka’, bahwa kita adalah kawanan umat beragama, sementara mereka adalah kafir_ musuh bersama.

Agama memang jauh lebih sensitive dan efektif ketimbang isu komunis, apalagi korupsi. Karena itulah kita semua merasakan dampaknya setelah enam belas tahun reformasi. Pengetahuan yang berpusat pada mesin binary ini semakin melebarkan jurang perbedaan dengan menciptakan dikotomi mayoritas-minoritas, dominan-subordinate, laki-laki-perempuan, heteroseksual dan homoseksual. Dengan mengklaim kekerasan yang dilakukan adalah perintah Tuhan, kelompok ini seolah memiliki kekuasaan tanpa batas untuk menentukan mana yang ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’, siapa yang ‘lurus’ dan ‘sesat’, termasuk di dalamnya adalah siapa yang berhak menindas dan siapa saja yang boleh ditindas.

Beberapa hari lalu, salah satu kelompok di atas secara terbuka menyatakan perang melawan pluralisme. Pernyataan ini tentu sah-sah saja jika dikaitkan dengan prinsip kebebasan menyatakan pendapat. Namun yang patut dicermati adalah, apakah makna dalam prinsip tersebut juga mengatur percakapan seperti apa yang masuk dalam kategori pendapat, dan percakapan seperti apa pula yang masuk dalam kategori mengancam dan memprovokasi?

Karena masih ada kelompok-kelompok yang menggugat pluralisme, ada baiknya kita mencari tahu apa itu pluralisme. Menurut Webster’s definisi pluralisme adalah: “a state of society in which members of diverse ethnic, racial, religious, or social groups maintain and develop their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization”.[1]

Agar dapat lebih memahami konteks makna pluralisme secara menyeluruh, Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen meletakkan pluralisme dalam dua tataran yang berbeda: normative dan descriptive. Tataran pertama adalah pemahaman/cara pandang yang sekedar mengakui (advocating) adanya keragaman. Sementara pemahaman pada tataran kedua tidak hanya sekedar memberi pengakuan (acknowledging) semata, tetapi juga terlibat aktif dalam memperjuangkan keragaman. Karena pada tataran descriptive, pluralisme dipahami tidak hanya sebatas fakta social semata melainkan juga fakta historis-politis, yang artinya kondisi awal masyarakat tersebut sudah majemuk yang meliputi tiga ranah, yaitu konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang berlaku (directional pluralism).[2]

Tanpa perlu menggunakan mesin analisis yang super canggih sekalipun kita semua tahu bahwa ketiga ranah yang dimaksud terdapat dalam budaya, sistem social bahkan termaktub dalam ideologi Pancasila, dasar Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, pluralisme bukanlah sesuatu yang terberi (given), tapi merupakan sebuah pencapaian (achievement) yang dititipkan oleh pendiri Bangsa, Bung Karno dan Bung Hatta kepada penerusnya. Pluralisme bukan sekadar toleransi tetapi “the active seeking of understanding across lines of difference.” Bukan pula sekedar relativisme, melainkan “the encounter of commitments.” Dan yang terutama, pluralisme bukanlah usaha menghargai perbedaan dengan cara meninggalkan identitas dan komitmen masing-masing pihak, melainkan upaya menghormati melalui proses dialog yang jujur dan terbuka.[3]

Penafsiran atas “Jasmerah” akhirnya bermuara pada pencapaian tertinggi yang sengaja dititipkan oleh Bung Karno kepada kita semua, untuk kembali merevolusi pikiran, sikap dan mental kita melalui proses- dialog yang jujur dan terbuka agar tercipta pembangunan karakter dan kreativitas bangsa yang mampu bersaing secara global, bukan karakter yang hanya asyik menciptakan teror-teror baru dengan metodologi lama demi secangkir kekuasaan. Selain itu harapan dan doa agar hasil Pilpres 9 Juli mendatang Indonesia memiliki kepemimpinan baru yang sungguh bersedia (bukan sekedar janji) untuk merayakan ke-bhineka-an yang bersandar pada asas penghormatan, pemajuan, pemenuhan serta perlindungan Hak Asasi Manusia.

[1] http://www.merriam-webster.com/dictionary/pluralism

[2] http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/posisi_minoritas.html#_ftn4

[3] http://www.unf.edu/interfaith-center/What_is_Pluralism_.aspx

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun