Mohon tunggu...
Wawan Setiawan
Wawan Setiawan Mohon Tunggu... Swasta -

Penulis adalah pengisi kolom info teknologi di portal Tribrata Polda Jateng http://www.tribratanewsjateng.com, narasumber tetap acara Teknovasi (teknologi dan inovasi) SBOteve milik Jawa Pos, dan CEO Internet Service Provider Baliooo.com email: wawan@baliooo.com website: http://www.baliooo.com Kompasiana: http://www.kompasiana.com/baliooo Blog: http://baliooo.wordpress.com Arsip acara televisi Teknovasi (Teknologi dan Inovasi) bisa anda cari di http://www.youtube.com dengan keyword "teknovasi"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Ahok, Susi, dan Sosialisme

17 April 2016   10:13 Diperbarui: 17 April 2016   10:28 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi, Ahok, Susi, dan Sosialisme
Oleh Wawan Setiawan
-----

Dari semenjak pencalonannya menjadi Presiden, saya kira yang berideologi kiri sudah tahu siapa Joko Widodo dan mengapa kita tidak mendukung sepenuhnya.
Joko Widodo yang tak lain juga produk orde baru, tanpa membawa ideologi sosialisme, dan kita memilih karena dipaksa tidak punya pilihan. Joko Widodo ketika itu hanya kita pilih karena "least evil". Tapi entahlah mengapa orang orang Indonesia memujanya dan dari semenjak orde lama memang orang Indonesia lebih suka memuja sosok atau figure daripada pemikiran tokoh yang orisinal.

Ahok, Joko Widodo, bahkan sampai menteri Susi memang menjadi tokoh politik pujaan baru, tapi mereka tidak membawa ide ide yang cemerlang tentang sosialisme gaya baru, jauh dari tokoh Bernie Sanders Amerika misalnya, meski kalah populer dengan Hillary Clinton, Bernie Sanders menunjukan pemikirannya yang sosialis.

Tapi rezim saat ini, yang membuka keran demokrasi yang cukup bagus saya kira bisa dan layak menjadi jembatan menuju era sosialisme. Di saat ini kampanye sosialisme sangat memungkinkan dibanding di saat rezim orde baru.

Penyakit penyakit mendasar seperti inferiority complex layak diganyang di rezim saat ini, penyakit yang ambigu sejak rezim bung Karno, yang Dipa Nusantara Aidit sendiri juga tampak kesulitan mengganyang penyakit inferiority complex ketika dihadapkan dengan Jang Mulia Paduka Bung Karno. Meski menjadi ketua partai dengan massa terbesar menjelang tahun 1965, DN Aidit masih tampak disetir oleh Bung Karno yang memang mengangkatnya untuk menghidupkan lagi PKI pasca tewasnya Tan Malaka dan Musso, yang secara intelektual mandiri dan orisinal tanpa bisa dipengaruhi oleh Bung Karno.

Di rezim saat ini, ide ide sosialisme tampaknya kian muram dari orisinalitasnya, dan diganti dengan pemujaan tokoh tokoh politik yang tanpa membawa ideologi yang jelas. Demokrasi-nya dipenuhi dengan pemujaan dan hater sosok atau figure, bukan pro kontra atau dialektika gagasan gagasan baru yang cemerlang.

Hal ini tidak bisa disalahkan karena orde baru memang membungkam ide ide dan gagasan sosialisme, dan di era ini diuntungkan bahwasanya kita bisa membaca kembali tulisan tulisan Ir. Soekarno, Tan Malaka, DN. Aidit, Hatta, ataupun Sjahrir. Di era orde lama tokoh tokoh politik memang menulis ide dan gagasan, namun rezim saat ini yang memang miskin ide dan gagasan baru menambalnya dengan atas nama rezim Kerja. Ini tidak salah dan saya kira lebih bagus daripada Orde Baru yang membungkam segala ide dan gagasan dan juga sedikit bekerja.

Namun kita harus menyadari bahwasanya suatu rezim meski bekerja tapi tanpa membawa ide ide sosialisme gaya baru yang cemerlang bisa tersesat ke dalam imperialisme gaya baru. Sosialisme itu tidak hanya menyediakan fasilitas gratis dan membela bagi yang tidak mampu, tapi juga empower atau memberdayakan kaum yang termarjinalkan. Mestinya, kita yang sadar sosialisme tidak bisa diam begitu saja ketika gubernur DKI Jakarta Basuki Purnama hanya menukar tempat tinggal kaum tidak mampu. Ini sama sekali bukan sosialisme kalau hanya menukar tempat tinggal dari kawasan kumuh menjadi rumah susun yang lebih bagus,

Ketika rezim Sosialisme Russia berdiri, keberhasilan pertamanya adalah egaliter atau pemerataan pendidikan. Sosialisme dibangun dengan pendidikan yang memberdayakan kaum termarjinal, memberikan akses yang egaliter kepada kaum termarjinal, bukan hanya sekedar menukar nukar apa yang sekarang dipunyai dengan barang baru yang belum dipunyai.

Sayangnya kualitas pendidikan di Indonesia menurut PISA berada di nomor dua dari bawah, memprihatinkan dan menjauh dari cita cita sosialisme dari para pendiri negara.

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun